Kumpulan Cerita Pendek Kalo Kalian Suka Sama Cerpen/Short Silahkan di Baca.
kumpulan cerita pendek yang menggambarkan berbagai aspek kehidupan manusia dari momen-momen kecil yang menyentuh hingga peristiwa besar yang mengguncang jiwa. Setiap cerita mengajak pembaca menyelami perasaan tokoh-tokohnya, mulai dari kebahagiaan yang sederhana, dilema moral, hingga pencarian makna dalam kesendirian. Dengan latar yang beragam, dari desa yang tenang hingga hiruk-pikuk kota besar, kumpulan ini menawarkan refleksi mendalam tentang cinta, kehilangan, harapan, dan kebebasan. Melalui narasi yang indah dan menyentuh, pembaca diajak untuk menemukan sisi-sisi baru dari kehidupan yang mungkin selama ini terlewatkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elfwondz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CEO Baru, Tantangan Lama.
Hening menyelimuti ruang rapat lantai 28 gedung megah di pusat kota itu. Sebuah papan besar dengan logo "Arunika Enterprises" tertempel di salah satu sisi ruangan. Arunika, perusahaan teknologi yang dulu dianggap tak terkalahkan, kini tengah berada di persimpangan krisis. Di ujung meja oval yang panjang, kursi kosong berlapis kulit hitam menghadap ke arah seluruh jajaran direksi. Semua orang menunggu dalam diam, seolah merasa bahwa kehadiran sosok yang akan duduk di kursi itu akan menjadi momen penentu, membawa mereka keluar dari kegelapan atau menjerumuskan lebih dalam.
“Dia terlambat,” gumam Toni, kepala divisi keuangan, setengah berbisik kepada rekannya, Citra, yang duduk di sebelahnya. Wajahnya cemas, alis berkerut.
“Ini hari pertamanya. Tidak bisa dianggap bagus kalau terlambat di hari pertama,” Citra menimpali, meski nadanya tak sepenuhnya menyiratkan kritik, tapi lebih ke arah kekhawatiran.
Seketika, pintu ruangan terbuka. Semua mata langsung tertuju ke sana. Masuklah seorang wanita muda dengan langkah tegas. Sepatu hak tingginya berderap di lantai marmer. Gaun hitam yang elegan membalut tubuh rampingnya, menambah kesan otoritatif. Rambut hitam legamnya diikat rapi, dan matanya yang tajam menyapu seluruh ruangan. Dialah Raina Baskara, CEO baru Arunika yang didatangkan dari salah satu perusahaan teknologi terkemuka di Eropa.
“Maaf membuat kalian menunggu,” suaranya tenang, namun mengandung kekuatan yang tak terbantahkan. “Kita punya banyak yang harus dibicarakan.”
Raina duduk di kursi CEO dengan anggun, menata dokumen-dokumen di depannya sejenak, lalu memandang tajam ke arah seluruh anggota direksi yang duduk di sekeliling meja. Tak ada basa-basi dalam tatapan itu, hanya determinasi.
“Tentu saja, kalian semua sudah tahu mengapa saya di sini,” dia memulai, suaranya dingin tapi tegas. “Arunika berada di titik kritis. Dalam enam bulan terakhir, perusahaan ini kehilangan hampir 30% nilai sahamnya. Kompetitor kita bergerak lebih cepat, lebih agresif, sementara kita stagnan. Saya di sini untuk membalikkan keadaan. Tapi mari kita perjelas satu hal sejak awal—saya tidak akan mengikuti jejak pendahulu saya. Gaya kepemimpinan saya berbeda.”
Ruangan itu hening. Tak ada yang berani berbicara. Mereka tahu, Raina bukan orang yang mudah dihadapi. Reputasinya di Eropa dikenal keras—seorang eksekutif yang siap merombak total budaya perusahaan demi mencapai hasil.
"Jadi, mari kita mulai dengan mendengar dari kalian. Apa yang salah? Mengapa perusahaan ini di ambang kehancuran?"
Toni, yang biasanya percaya diri, terlihat gugup. Dia membersihkan tenggorokannya sebelum angkat bicara. "Yah, kita mengalami kesulitan dengan peluncuran produk baru. Ada banyak kendala teknis, dan tim R&D kita tidak cukup cepat menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasar."
"Masalah internal lainnya?" Raina bertanya, pandangannya masih fokus ke arah Toni.
"Ada isu manajemen," jawab Citra cepat. "Beberapa divisi kurang terkoordinasi. Banyak inisiatif yang gagal karena komunikasi buruk antar tim. Kami juga kehilangan beberapa klien besar."
Raina mengangguk pelan, wajahnya tetap datar. "Jadi, kita menghadapi masalah kepemimpinan di seluruh tingkatan. Ini bukan hal baru. Ini tantangan lama yang sudah mengakar di perusahaan ini. Dan saya tidak punya waktu untuk bersikap lunak."
Seketika, suasana di ruangan itu berubah. Beberapa direktur mulai gelisah di kursi mereka. Mereka tahu, pernyataan Raina bukan sekadar peringatan; itu adalah deklarasi perang.
“Langkah pertama yang akan saya ambil adalah melakukan restrukturisasi besar-besaran. Beberapa dari kalian mungkin tidak akan suka dengan ini, tapi jika ingin bertahan di sini, kalian harus siap untuk beradaptasi dengan cara kerja baru. Toni,” Raina beralih kepada kepala keuangan itu, “kamu akan memimpin audit internal. Kita butuh gambaran jelas tentang apa yang salah secara finansial.”
Toni mengangguk, meski terlihat ada ketidaknyamanan dalam raut wajahnya. "Baik, Bu."
“Citra,” Raina menatap perempuan itu berikutnya, “koordinasi antar tim akan menjadi tanggung jawabmu. Mulai besok, aku ingin laporan mingguan tentang perkembangan dari setiap divisi, dan kita akan mengadakan pertemuan tim lintas divisi secara teratur.”
Citra terlihat gugup, tapi dia mengangguk. "Saya akan segera mengatur jadwalnya."
Sebelum diskusi berlanjut, tiba-tiba pintu ruang rapat terbuka lagi, kali ini dengan keras. Semua mata beralih ke arah pria yang baru saja masuk dengan napas tersengal-sengal. Seorang pria paruh baya dengan kemeja yang sedikit kusut—Wira, kepala divisi R&D. Raina memandangnya tajam, tidak senang dengan keterlambatannya.
“Maaf, saya terlambat,” ujar Wira sambil berusaha mengatur napasnya.
“Keterlambatan di sini tidak bisa ditolerir, Pak Wira,” ucap Raina dingin. “Tapi mari lupakan itu untuk sementara. Aku dengar R&D kita sedang dalam masalah besar.”
Wira terdiam sejenak, lalu mengambil tempat duduk di ujung meja. "Ya, Bu Raina, produk terbaru kami masih dalam tahap pengembangan. Kami menemukan beberapa masalah dengan teknologi AI yang sedang kami kembangkan. Butuh waktu lebih lama dari yang diperkirakan."
“Berapa lama lagi?” Raina menatapnya tajam, seolah tidak mau mendengar jawaban yang salah.
"Minimal tiga bulan lagi," jawab Wira dengan suara yang hampir berbisik.
“Tidak bisa tiga bulan. Kita tidak punya waktu sebanyak itu.” Suara Raina makin tegas. “Kita butuh hasil dalam satu bulan. Timmu harus bekerja lembur jika perlu.”
Wira mencoba membantah, “Tapi teknologi ini sangat kompleks, dan kalau kami tergesa-gesa, hasilnya mungkin tidak stabil…”
Raina memotongnya tanpa ragu. "Aku tidak peduli seberapa kompleksnya. Apa pun risikonya, kita harus meluncurkannya lebih cepat. Kompetitor kita tidak menunggu kita menyelesaikan masalah. Pasar tidak menunggu."
Semua orang di ruangan itu menahan napas. Instruksi Raina jelas: tidak ada toleransi untuk kegagalan atau keterlambatan. Apa pun yang terjadi, produk itu harus keluar dalam waktu satu bulan.
Seminggu kemudian,
Suasana di kantor Arunika semakin tegang. Semua orang bekerja di bawah tekanan besar. Setiap hari, Raina mengadakan rapat kecil dengan setiap kepala divisi, menuntut pembaruan dan solusi cepat. Rasa takut dan stres semakin terasa, tapi tak ada yang berani berbicara. Sebuah insiden besar akhirnya terjadi ketika salah satu prototipe dari tim R&D mengalami kerusakan parah, menyebabkan kerugian jutaan rupiah.
Wira, yang selama ini sudah berada di bawah tekanan besar, akhirnya meledak di depan Raina. "Saya tidak bisa bekerja seperti ini! Anda menuntut hal yang mustahil! Jika kami terus dipaksa bekerja seperti ini, kita hanya akan mengalami kegagalan lebih besar!"
Raina hanya memandangnya dingin. “Kalau kamu merasa tidak mampu, mungkin kamu bukan orang yang tepat untuk memimpin divisi itu.”
Kata-kata itu langsung memotong keberanian Wira. Ia terdiam, wajahnya memucat. Semua orang tahu apa arti ucapan Raina. Satu kesalahan lagi, dan Wira mungkin akan diberhentikan.
Namun, di balik tekanan besar itu, Raina juga menghadapi dilema yang tak pernah dia ceritakan kepada siapa pun. Di Eropa, dia dikenal sebagai eksekutif tanpa ampun, tapi dalam hati kecilnya, Raina merasa resah. Ada saat-saat di malam hari ketika dia bertanya-tanya apakah gaya kepemimpinannya ini benar-benar solusi terbaik. Apakah perubahan drastis ini hanya akan mempercepat kehancuran Arunika?
Raina kembali menatap keluar jendela kantornya, menyaksikan langit yang mulai gelap. Tantangan lama ini bukan hanya milik perusahaan. Ini juga merupakan pertarungan internal bagi dirinya sendiri—antara idealisme yang dia yakini dan realitas kejam dari dunia bisnis. Dalam diam, dia tahu, apa pun hasilnya, ini akan menjadi ujian terbesar dalam kariernya.