Naina dijual ibu tirinya untuk menikah dengan pria yang tersohor karena kekayaan dan buruk rupanya, juga menjadi pemegang rekor tertinggi karena setiap tahunnya selalu menikahi ratusan wanita. Selain itu, Minos dikenal sebagai psikopat kejam.
Setiap wanita yang dinikahi, kurang dari 24 jam dikabarkan mati tanpa memiliki penyebab kematian yang jelas. Konon katanya para wanita yang dinikahi sengaja dijadikan tumbal, sebab digadang-gadang Minos bersekutu dengan Iblis untuk mendapatkan kehidupan yang abadi.
“Jangan bunuh aku, Tuan. Aku rela melakukan apa saja agar kau mengizinkanku untuk tetap tinggal di sini.”
“Kalau begitu lepas semua pakaianmu di sini. Di depanku!”
“Maaf, Tuan?”
“Kenapa? Bukankah kita ini suami istri?”
Bercinta dengan pria bertubuh monster mengerikan? Ugh, itu hal tergila yang tak pernah dibayangkan oleh Naina.
“... Karena baik hati, aku beri kau pilihan lain. Berlari dari kastil ini tanpa kaki atau kau akhiri sendiri nyawamu dengan tangan di pedangku?”
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 5 - Kamar Ditinggalkan
Malam panjang masih belum usai, awan kelabu pada bentangan gulita malam menutup bintang gemintang, menyaput bulan purnama hingga sinar birunya tak lagi nampak. Binatang malam penghuni hutan saling bersahut, menyergap kesunyian.
Api biru tanpa tungku dan tanpa kayu sebagai perantara, menggolakkan api dalam bak mandi, membuat benda lonjong yang sudah diisi air dan taburan kelopak bunga mawar biru mengambang di udara, apinya mengitari bagian sisi bak mandi. Menguarkan harum yang khas.
Dan pria yang sudah berendam dalam bak mandi selama kurang lebih satu jam lamanya, berpikir untuk beranjak. Kelopak mata dengan kibaran bulu mata yang panjang mulai mengerjap, alis tebalnya menyatu, gemerlap sorot matanya yang indah bersinar dalam ruangan remang.
Mulutnya bergumam lembut, tetapi mengeluarkan suara yang dalam dan sedikit serak, “Demi bulan purnama biru, aku sungguh merindukan wujud ini.”
Tubuhnya telanjangnya yang terendam mulai terangkat naik, menampilkan perut kotak-kotak, postur tubuhnya gagah seperti binaragawan. Rambut hitam gondrongnya menutupi sebagian wajah, sempurna berdiri barulah tangannya menyugar seksi rambutnya ke belakang.
Kepalanya bergerak ke kanan-kiri, airnya menyiprat-nyiprat. Lalu kaki jenjangnya mulai menuruni bak mandi, menyentuh lantai kotor penuh debu yang entah sudah berapa lama tak disapu. Tubuh polosnya yang masih basah itu berjalan santai, berderap menuju cermin.
Saat mematut diri di depan cermin yang kotor, tangannya terulur untuk mengusap debu yang membuat cerminnya nampak kotor. Sudah lama sekali dirinya tidak bercermin, dan sekarang dengan wujudnya yang ‘sempurna’ dia tersenyum penuh percaya diri di depan cermin tersebut.
“Tuan, kau tampan sekali.”
Mata ungu indahnya berpindah, menatap ke samping dari pantulan cermin. “Aku tidak butuh pujian seperti itu,” desisnya pelan. “Cepat ambilkan pakaian untukku!”
Burung gagak itu mengangguk patuh. “Baik, Tuanku.”
***
Sementara itu, Naina tengah termenung di pojokan kamar. Terduduk lesu, punggungnya bersandar pasrah pada dinding yang dingin dan lembab. Tak jemu mengabsen langit-langit kamar yang ditempati, dan pandangannya selalu tertuju pada jendela yang tertutup.
Sebelum sampai di kamar ini, Naina bingung harus apa setelah mendadak diminta pergi oleh Tuan Minos. Pergi yang dimaksud pun pastinya bukan berarti Naina diperbolehkan meninggalkan kastil ini, dan karena itulah ia jadi serba salah.
“Untuk sementara waktu kau boleh menempati kamar ini dan silakan kenakan pakaian apapun yang ada di lemari untuk mengganti pakaianmu yang lebih terlihat seperti lap kotor.”
Begitu kata Tora yang menuntunnya sampai di kamar ini. Dan sejak menginjakkan kaki, Naina belum banyak melihat-lihat seluruh barang yang tertata ataupun pakaian apa saja yang ada dalam lemari, hanya termenung dalam belenggu, masih mencoba menerima takdir yang mengantarkannya pada kehidupan baru ini.
“Ah, pikiranku kacau sekali.” Naina mengacak-acak rambutnya kasar, mengusap wajahnya yang penuh dengan keringat dingin berulang kali, sampai akhirnya memilih beringsut dari posisi duduk.
Naina menarik kakinya menuju jendela yang masih tertutup, cahaya dari luar sedikit menyelinap masuk melalui celah-celah. Tangannya mendorong penutup jendela, dan pandangannya seketika disuguhi oleh bulan purnama yang menggantung di kaki langit, bulat sempurna dan sinarnya lembut menyinari hamparan hutan yang rimbun.
“Setidaknya dari banyak kejadian yang terjadi hari ini, aku masih bisa memandang rembulan sebagai penyejuk mata. Sedikit bisa melupakan tentang ketakutan apa yang harus aku hadapi di esok hari, dan soal kematian yang selalu aku sadari semakin dekat,” monolognya dengan tatapan yang setia memandangi benda bulat bersinar.
Cukup puas dengan rembulan yang kini sudah tertutup oleh awan, Naina bergerak mundur, hendak mengabsen apa yang ada dalam kamar ini. Sejenak pikirannya bertanya-tanya, dulunya kamar ini ditempati oleh siapa?
Jelas ini adalah kamar perempuan. Isi lemarinya penuh dengan gaun-gaun cantik dan dominan berwarna merah. Tapi bukankah Tuan Minos membenci warna merah?
Di gerobokan laci penuh dengan pernak-pernik, lebih banyak diisi oleh tusukan-tusukan rambut dengan motif dan hiasan bermacam-macam. Sudah terbayang dalam pikiran Naina, pasti pemilik kamar ini adalah seorang perempuan cantik dan anggun.
Mengambil salah satu gaun dari dalam lemari, Naina mendadak ingin mengenakannya. Gaun merah maroon yang tidak terlalu banyak hiasan tapi tetap terlihat mewah, tidak memiliki tali sehingga saat terpasang pada tubuhnya bagian dada nampak sedikit ketat.
Berlarian kecil menuju cermin, Naina bergerak memutar. Melihat setiap lekuk tubuhnya yang sudah terbalut oleh gaun cantik, senyum terukir di wajahnya, sedikit memberi nyawa pada kulit pucatnya.
Tapi sesaat Naina terdiam. Senyum itu meluruh begitu saja, menghapus sorot mata senang sesaat yang mencuat. Kini ekspresi bingung dengan dahi yang mengerut menghiasi wajahnya, mendadak ia teringat kembali kejadian yang telah dilaluinya hari ini.
“Banyak sekali yang ingin aku tanyakan. Tentang hewan-hewan aneh dengan ukuran dan bentuk abnormal yang bisa berbicara, dan juga boneka jerami yang bergerak seperti diberi nyawa. Juga segala hal yang ada di dalam kastil ini, terutama tentang sosok Tuan Minos, semuanya masih misteri. Lebih-lebih lagi dia membahas soal sihir, bukankah sihir itu mitos?”
Naina melepaskan napas panjang, kepalanya yang tak gatal berulang kali ia garuk. Pantatnya ia hempaskan pada tepian ranjang, kasurnya tidak begitu empuk dan terasa dingin sekali.
Lalu tubuhnya pelan-pelan mulai merebah, tak berselang lama alam mimpi sudah menjemputnya. Dengkuran halus keluar dari celah mulutnya yang terbuka, pikirannya yang lelah membuatnya mudah larut ke dalam alam bawah sadar.
***
Pagi dengan sinar hangatnya menyambut, mentari merekah berpadu dalam jingga kemerahan yang mulai menguning. Burung-burung kecil ke sana kemari hinggap, cicit-cicitnya macam riak air, tapi tak mampu membangunkan gadis bersurai panjang yang masih meringkuk di atas kasur dengan pulas.
Sedang Tuan Minos, dengan rupa yang sudah kembali seperti semula, pagi-pagi buta langsung blingsatan. Semalaman tadi ia tidak tidur, pikirannya bercabang-cabang, terlebih di sisa malam panjang itu wujud yang dirindukannya tidak bisa bertahan lama.
“Dia tidak kabur, 'kan? Kemana perginya dia?”
Tora yang baru saja menghampiri Tuannya, langsung dicecari pertanyaan. Ia pikir Tuan Minos tidak akan memikirkan gadis itu setelah mengusirnya tanpa sebuah alasan.
“Dia tidak mungkin kabur, Tuan. Dengan penuh kebingungan malam tadi, aku mengantarkannya untuk tidur di kamar. Aku—”
“Kamar yang mana?!” serobot Tuan Minos, tak bisa menahan untuk mendengar penjelasan gagak itu hingga usai.
Tora yang baru menyadari bahwa saat ini dirinya sudah melakukan kesalahan, mendadak aliran darahnya terhenti. Ia tak sanggup bersitatap dengan Tuannya. Takut-takut saat akan menjawab.
“Ma-maaf, Tuan. Karena tidak ada kamar lain yang layak untuk dipakai. Aku terpaksa—”
“Dasar bodoh!” hardik Tuan Minos kembali memotong ucapan. Tubuh jangkungnya lantas melesat, berniat menemui gadis itu.
Setelah menuruni tangga, melintasi lorong, dan melewati beberapa ruangan terbengkalai, akhirnya Tuan Minos sampai pada kamar yang selama ini dirinya berusaha hindari. Bahkan ia tak ingat kapan terakhir kali menginjakkan kaki ke dalam sana.
Tak mau berbasa-basi, pintu yang tertutup dihadapannya langsung digedor-gedor. Dadanya kembang kempis, penuh dengan amarah yang memburu.
“Cepat buka pintu ini atau aku dobrak dan menarikmu secara paksa dari sana!” perintah yang diiringi ancaman terdengar amat menikam, merusuh keindahan dan ketenangan pagi ini.
***