Sequel " SEMERBAK WANGI AZALEA"
Zara Aisyah Damazal masih menempuh pendidikan kedokteran ketika dia harus mengakhiri masa lajangnya. Pernikahan karena sebuah janji membuatnya tidak bisa menolak, namun dia tidak tau jika pria yang sudah menjadi suaminya ternyata memiliki wanita lain yang sangat dia cintai.
" Sesuatu yang di takdirkan untukmu tidak akan pernah menjadi milik orang lain, tapi lepaskan jika sesuatu itu sudah membuatmu menderita dan kau tak sanggup lagi untuk bertahan."
Akankah Zara mempertahankan takdirnya yang dia yakini akan membawanya ke surga ataukah melepas surga yang sebenarnya sangat di cintainya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon farala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 10 : Godaan iman
Zara duduk di sebuah bangku yang berada di taman rumah sakit. Suasana sangat teduh meski matahari sedang terik teriknya. Brawijaya Hospital sekarang sangat di kenal dengan istilah green hospital. Semenjak Abi Adam yang mengambil alih Brawijaya, rumah sakit mewah tersebut di sulap sedemikian rupa sehingga bisa menyatukan perpaduan antara unsur kesehatan dan lingkungan yang sangat asri. Belum banyak rumah sakit yang bisa mengusung konsep green hospital karena terkendala keterbatasan lahan.
Zara sedang mengerjakan laporan mingguannya. Hari ini dia harus konsultasi ke konsulen untuk bisa mendapatkan nilai di stase THT yang sebentar lagi akan berakhir.
Pekan depan, stase mayor menunggunya. Dia akan bergabung dengan Zayn di departemen bedah.
Zara sangat serius memandangi macbook nya dan mengetik banyak kata di sana, hingga dia tidak menyadari jika ada seseorang yang sudah duduk di sebelahnya.
" Kau pulang jam berapa?" Ezar melontarkan pertanyaan kemudian meneguk air mineral untuk melegakan tenggorokannya.
Zara menoleh ke samping, dia terkejut, Ezar duduk hanya berjarak beberapa centi darinya. Dan jantungnya kembali berdetak dengan cepat. Ezar sudah seperti mengajak Zara berlari mengelilingi Brawijaya Hospital hingga memacu kerja jantungnya untuk memompa dengan lebih kuat lagi.
Karena terkejut, macbook Zara hampir saja terjatuh. Beruntung tangan Ezar dengan cepat menyelamatkan benda mahal tersebut.
" Kau belum jawab pertanyaan ku."
" Oo..sekitar jam lima dok." Kata Zara.
" Ibu menyuruh kita berkunjung ke rumah."
" Baiklah."
" Kau sudah makan?"
" Aku puasa dok."
" Oh..maaf."
" Kalau begitu saya pamit dulu, saya harus Konsul ke dokter Saddam." Pamit Zara sembari membungkukkan tubuhnya lalu dengan segera berlalu meninggalkan Ezar.
Ezar menatap kepergian Zara dengan tatapan penuh tanda tanya.
" Dia kenapa? Aneh sekali. Ini juga masih jam makan siang. Kau cari dokter Saddam keliling rumah sakit pun tidak akan kau temukan." Kesal Ezar, kemudian ikut beranjak dan memilih kembali ke ruangannya.
Sore hari, Ezar sudah menunggu Zara di parkiran rumah sakit. Sembari memainkan ponselnya, sesekali ia melihat pintu keluar.
Dan tak lama, Zara muncul dari balik pintu kaca. Dari dalam kendaraannya, Ezar terus memandangi Zara yang berjalan ke arah mobil putih yang terparkir tidak jauh dari mobilnya.
Ezar lupa mengatakan pada Zara jika mereka akan berangkat bersama ke rumah Pradipta.
Klakson berbunyi mengagetkan Zara yang baru saja membuka pintu mobil. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu di lihatnya Ezar yang sedang berada di balik kemudi memberikan isyarat pada Zara.
Mau tidak mau Zara menuruti keinginan Ezar.
" Tinggalkan saja mobilmu, besok baru di bawa pulang."
" Tapi nanti ada yang melihat dok, aku jadi tidak enak kalau dokter mendapatkan gosip yang aneh aneh."
" Tidak usah pedulikan. Tidak ada juga yang berani melakukannya."
Ezar kemudian melajukan kendaraannya membelah jalan ibu kota yang sudah padat merayap .
" Mungkin tidak akan keburu, sebaiknya kita makan malam di restoran saja."
" Di rumah saja dok, ibu pasti sudah masak."
" Tapi kamu lagi puasa.."
Zara mengangkat air minum yang dia simpan di dalam tasnya. " Ini ada."
" Tapi itu tidak membuatmu kenyang."
" Kan di batalkan dulu puasanya, rumah ibu juga tidak begitu jauh, jadi insyaallah bisa tiba tepat waktu."
" Terserah kamu saja." Ezar mengalah.
Zara tersenyum sembari memegang erat botol air minum kemasan yang baru dia beli tadi sebelum pulang.
Dan Ezar kembali di buat terkesima dengan senyum menawan Zara.
" Aku ingin kau rubah panggilan mu begitu kita tiba di rumah. Aku tidak ingin ibu curiga dengan kehidupan rumah tangga kita." Ujarnya mengalihkan perhatian.
Zara terlihat manggut manggut tanda mengerti dengan maksud Ezar.
Mobil masuk melewati pintu gerbang yang sangat mewah. Ibu Sindy menyambut kedatangan menantunya dengan suka cita. Ezar bisa melihat sebahagia apa ibunya begitu bertemu dengan Zara.
Ibu Sindy memeluk dan menciumi hampir seluruh wajah zara. Hal yang membuat Ezar kaget, karena dia saja yang sebagai anak kandung tidak pernah mendapatkan ciuman seperti itu dari ibunya sendiri. Dan datang Zara yang bahkan jarang bertemu dengan ibunya, tapi lihatlah perlakuan ibu Sindy pada menantunya.
Ezar seperti di anak tirikan, semenjak ada Zara di rumahnya, dia di kucilkan. Faiz, adik yang selalu mengganggunya kini juga berpihak pada Zara.
Perlakuan berbeda jelas terlihat jika Ghina yang bertamu ke rumahnya. Ibu Sindy hanya menemani Ghina bicara seperlunya saja. Apalagi faiz, dia sangat tidak suka melihat Ghina yang menurutnya sering berpakaian tidak sopan.
Setelah makan malam, keluarga Pradipta berkumpul bersama di taman belakang. Faiz yang biasanya lebih senang bermain game dan menghabiskan waktunya di kamar berjam jam juga tak mau ketinggalan.
" Kalian nginap ya." Pinta ibu Sindy.
" Lain kali saja bu."
" Tidak bisa Ezar, selama kalian menikah, kalian belum pernah menginap di sini."
Zara menatap Ezar yang juga sedang menatapnya. Dari ekspresinya, Zara meminta pertolongan dari Ezar, agar dia mau menolak ajakan ibu Sindy.
Tapi, jawaban Ezar sungguh di luar prediksi. Dengan lantangnya dia mengiyakan setelah sempat menolaknya mentah mentah.
" Baiklah, hari ini aku dan Zara juga sangat lelah. Bagaimana sayang?"
Zara terbatuk, tersedak ludahnya sendiri. Kata apa itu? Sayang? Dari kamus mana Ezar menemukannya?
" Bagaimana nak?" Tanya ibu Sindy memastikan.
Dengan terpaksa, Zara mengiyakan." I..iya bu, terserah mas Ezar saja." Kata Zara yang di apresiasi Ezar dengan senyuman. Bahkan hatinya berdesir hebat ketika Zara memanggilnya ' mas '.
Jadilah mereka menginap.
Dan sekarang, Zara berdiri menatap ranjang king size yang sangat indah namun begitu menakutkan baginya.
Kejadian di atas tempat tidur beberapa waktu lalu masih membekas di ingatannya. Mungkinkah sekarang dia trauma dengan tempat ternyaman bagi semua orang itu?
" Kenapa berdiri di situ?" Tanya Ezar yang baru saja keluar dari kamar mandi membuyarkan lamunan Zara. Rambut basah yang sementara dia lap dengan handuk menjadi pemandangan terindah bagi Zara untuk hari ini.
" Oo..iya, ja- jadi saya harus ke mana?" tanya Zara dengan begitu polosnya.
Ekspresi Zara membuat Ezar harus menahan tawanya. Semakin hari ia mengenal zara, semakin bertambah pula kekaguman Ezar. Bayangkan saja, Zara tidak melakukan apapun, hanya berdiri sembari memasang ekspresi lucu, tapi Ezar sudah memiliki keinginan yang sangat besar untuk kembali mencicipi bibir indah itu.
" Kau tidak ingin mengganti bajumu? Tanya Ezar mengalihkan kerja otaknya agar tidak melulu memikirkan hal hal yang bisa meningkatkan hasratnya.
" Mau, tapi...." Kalimat Zara menggantung di udara.
" Tapi apa?"
" Saya tidak punya baju ganti, lagian tidak tau juga mau menggantinya di mana. Biar saya pakai yang ini saja dok." Kata Zara akhirnya pasrah. Padahal, ingin sekali dia membuka bajunya dan mengganti baju rumahan yang selalu dia lakukan setiap hari.
" Kau boleh pakai bajuku, di lemari banyak, pilih saja yang kau suka."
Zara masih berdiri mematung belum juga beranjak.
" Kenapa?"
" Bagiamana mengatakannya? Aku butuh pakaian dalam, jilbab dan baju panjang, tapi pasti dia tidak memilikinya."
" Kau malu?"
Zara mengangguk pelan.
Ezar berjalan ke arah lemari pakaiannya, mencari pakaian yang cocok di kenakan Zara.
" Pakai ini. Ganti di kamar mandi." Ujar Ezar memberikan kaos berwarna hitam pada Zara.
Mau tidak mau Zara mengambilnya.
Namun, Ezar sudah mengganti pakaian santai, Zara belum juga ke kamar mandi.
" Apa lagi yang kau tunggu?" Ezar sudah naik di tempat tidur.
" Boleh matikan lampunya?"
" Ckckck.. Kau ini merepotkan sekali, apa susahnya ke kamar mandi, ganti pakaian lalu keluar, selesai. Jangan membuatku tertawa Zara, bahkan kau telanjang di depan ku pun aku tidak akan tergoda."
" Baiklah." Zara akhirnya masuk ke dalam kamar mandi.
Dan sesuai permintaan Zara, Ezar mematikan lampu kamar.
Setengah jam berlalu, Zara keluar.
Ezar sudah menarik selimut dan menutupi sebagian tubuhnya.
Zara melangkah perlahan, mengendap endap seperti seorang pencuri.
Sofa panjang di depan tv menjadi tujuan Zara. Tentu dia tidak akan berani mendekati tempat tidur saat Ezar sudah terlelap di sana. Dan komitmen mereka untuk tidur terpisah tetap menjadi prioritas Zara.
Ezar menyaksikan pergerakan Zara di tengah pencahayaan yang sangat minim.
Lalu apa yang Ezar liat?
Rambut panjang tergerai indah, baju yang sangat pas di tubuh Ezar terlihat kebesaran saat Zara yang memakainya.
Baju kaos itu panjangnya sebatas paha Zara, jadi Ezar bisa dengan leluasa memandangi tubuh istrinya.
Glek.....
Ezar menelan ludahnya kasar.
" Tidak tergoda kau bilang...dasar munafik." Batin Ezar gusar.
...****************...
dasar, ezar si mesum😂