Perjuangan dan kesabaran seorang Langit Maheswara, berakhir sia-sia. Wanita yang selalu dia puja, lebih memilih orang baru. Niat hati ingin memberikan kejutan dengan sebuah cicncin dan juga buket bunga, malah dirinya yang dibuat terkejut saat sebuah pemandangan menusuk rongga dadanya. sekuat tenaga menahan tangisnya yang ingin berteriak di hadapan sang kekasih, dia tahan agar tidak terlihat lemah.
Langit memberikan bunga yang di bawanya sebagai kado pernikahan untuk kekasihnya itu, tak banyak kata yang terucap, bahkan ia mengulas senyum terbaiknya agar tak merusak momen sakral yang memang seharusnya di liputi kebahagiaan.
Jika, dulu Ibunya yang di khianati oleh ayahnya. maka kini, Langit merasakan bagaimana rasanya menjadi ibunya di masa lalu. sakit, perih, hancur, semua luka di dapatkan secara bersamaan.
Ini lanjutan dari kisah "Luka dan Pembalasan" yang belum baca, yuk baca dulu 🤗🥰🥰
jangan lupa dukungannya biar Authornya semangat ya 🙏🤗🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni mardiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Trauma
Raja mulai mencari tahu siapa perempuan yang di maksud Langit, sedangkan Langit sendiri sibuk dengan pekerjaannya. Tetapi, sekeras apapun dia mengalihkan pikirannya pada pekerjaan, bayangan Kejora tetap saja memenuhi pikirannya. Hatinya mengatakan untuk membantu Kejora, tetapi Langit tidak mau ikut campur lebih jauh karena memang mereka tidak mengenal satu sama lain.
"Ya Allah, berisik banget ni kepala." Langit mengacak-acak rambutnya sendiri, dia sangat dilema sekarang.
"Potong aja biar gak berisik lagi," Sahut seseorang masuk ke dalam ruangan meeting.
Langit menatap sekilas kearah pintu yang terbuka, dia memutar bola matanya malas melihat siapa yang datang. Fernando, Langit bisa menebak kehadiran pria seumuran ibunya itu hanya akan mengolo-olok dirinya, sedari dia kecil Fernando yang kerap di panggil Om Tupai itu selalu saja membuat perkara dengannya, entah itu menjahilinya, meledek, ah apapun itu yang membuatnya puas.
"Sayup-sayup ku mendengar ~ berita yang di layangkan ~ engkau akan di nikahkan ~ begitu mudah dirimu, melupakan segalanya dengan aku yang kau cinta ~ hooo..." Nando menyanyi dengan suara sumbangnya melirik kearah Langit, puas sekali dia melihat wajah yang sudah kusut itu semakin kusut dengan kedatangannya.
"Kenapa setan bisa masuk ke sini ya? Padahal tempatnya udah bikin syukuran, pasti ini setannya bebal deh." Gerutu Langit.
"Di tinggal nikah, emangnya enak? Hahahaha, makanya jangan terlalu bucin sama cewek, effort yang berlebihan juga gak baik. Bro, udah gue bilangin tuh betina gak baik, masih aja gak percaya. Asal loe tahu ya bestie, Jennie tuh cuman manfaatin loe doang." Ucap Nando menyilangkan tangannya dengan senyum miringnya, sebenarnya Nando juga terkejut mendengar berita yang seharusnya sudah viral di jagat maya. Akan tetapi, dia lebih memilih memastikan terlebih dahulu pada orangtua Jennie yang tak lain teman Nando semasa kuliah dulu.
"Aduh bahasanya udah kayak sama seumuran aja, inget umur! Udah tua juga, bau tanah sengketa." Kesal Langit.
"Ck, Ck. Umur hanyalah angka, broh." Decak Nando dengan wajah tengilnya.
"Meskipun di tinggal nikah, seenggaknya Langit masih waras, enggak kaya situ." Sindir Langit.
"Sialan." Umpat Nando.
Nando pun kalah telak, kini giliran Langit yang tertawa lebar. Tiba-Tiba saja tawa Langit terhenti, Nando adalah orang yang mudah bergaul di kalangan pebisnis, bisa jadi dia mau membantu Langit mencari tahu siapa Wilyatama.
"Om Tupai, Langit mau nanya nih?" Tanya Langit.
"Nanya apa? Buruan dah, gue kan kesini cuman mau bahas rencana pembangunan hotel di surabaya, waktu gue terlalu berharga kalau cuman buat dengerin cerita lu cil." Balas Nando sambil menyodorkan berkas di tangannya.
'Isshhh, kalau bukan orangtua. Eeugghhh, udah gue cekek lu' Batin Langit.
"Tahu Hendra Surya Wilyatama gak? Kayak pernah denger, tapi gak tahu orangnya yang mana? Siapa tahu Om kenal?" Tanya Langit dengan wajah seriusnya.
"Ngapain lu nanyain si bajingan?" Tanya Nando dengan wajah masamnya.
"Jawab aja kalo tahu, Langit butuh infonya demi keselamatan seseorang." Jawab Langit.
Nando menghela nafasnya panjang, kalau bukan atas permintaan bestienya tidak akan mau dia membahas seseorang yang di benci.
"Hendra anaknya Wilyatama dan juga Sri Handayani, itu tuh yang punya bisnis batu bara. lu inget kan cil, pas bini gue hilang di hotel Cendrawasih? Nah tuh orang pelakunya, gue bikin remek mukanya. Makanya begitu lu tanya, gue gedeg banget denger namanya, obses banget dia ama bini gue." Gerutu Nando.
"Jadi dia orangnya? Bukannya dia udah nikah dan punya anak? Kok kelakuannya gitu?" Tanya Langit penasaran.
"Kagak tahu gue, emang dasarnya aja pria brengsek. Tar dulu deh, kata lu ini ada sangkut pautnya sama keselamatan seseorang, siapa? Cerita dong?" Tanya Nando dengan wajah keponya.
Langit pun menceritakan apa yang sudah dia ketahui, dia juga menceritakan bagaimana mulanya dia bertemu dengan Kejora sampai akhirnya dia membawa gadis itu ke apartemennya.
"Bajingan! Jangan loe biarin tuh gadis balik ke neraka, kasihan banget sampe dianggap babu sama keluarga sendiri. Gue paling gak bisa denger anak gadis tersiksa batinnya kayak gitu, jadi keinget anak gue yang cewek." Ucap Nando.
Langit dan Nando pun melanjutkan obrolannya, mereka kadang tertawa dan kadang juga saling saling mengejek, dari dulu kedekatannya tak pernah retak. Kedatangan Nando sangat menghibur Langit, semua kesedihan Langit seakan menguap begitu saja.
******
Di Apartemen Langit.
Kejora terbangun dari pingsannya, dia menyipitkan matanya kala sinar matahari menusuk ke celah gorden kamar yang di tempatinya. Dengan tubuh yang terasa retak, Kejora berusaha mendudukkan tubuhnya dan mengedarkan pandangannya.
"Dimana aku?" Gumam Kejora melihat interior kamar yang berbeda, bukan kamarnya dan juga bukan kamar Ayra, lalu kamar siapa yang sedang dia tempati.
Sontak Kejora menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya, dia takut ada yang membawanya ketika dia tak sadarkan diri. Seingatnya, dia duduk di Danau untuk menenangkan pikirannya yang sangat berkecamuk dengan berbagai hantaman tombak besar yang menyakiti sudut hatinya dan mengguncangkan kewarasannya. Kejora mendapati pakaiannya sudah di ganti, matanya membulat sempurna, apakah dia di lecehkan? Apa jangan-jangan...
Cekleekkk...
Suara pintu terbuka, Kejora beringsut ke belakang sambil meremas ujung selimutnya. Bi Asih datang dengan nampan berisikan bubur Ayam yang tercium harum di indra penciuman Kejora, di nampan tersebut juga ada potongan buah dan juga air minum.
"Non, udah bangun ya?" Tanya Bi Asih sambil meletakkan nampannya di atas nakas.
"Ibu siapa? Kenapa saya ada disini?" Tanya Kejora.
"Panggil saja Bi Asih, Bibi pembantu yang bertugas membersihkan Unit apartemen ini. Tadi Tuan saya meminta pada saya untuk menjaga non, begitu Tuan bawa nona ke kamar dia langsung ke kantor, non makan dan istirahat ya biar sakit Maghnya gak kambuh lagi. Tadi Dokter juga kasih obat, jangan lupa di minum ya." Ucap Bi Asih dengan ramah.
"Tapi, saya gak di apa-apain kan Bi? M-maksud saya, baju saya kok di ganti? Emmm..." Tanya Kejora dengan kikuk.
"Oalahhh, enggak kok. Majikan saya katanya tadi nemuin non pingsan, jadi dia bawa kesini karena jaraknya lebih deket. Untuk perihal baju, itu Bibi yang ganti soalnya baju non tadi kotor. Tadi juga Tuan udah panggil Dokter pribadinya, kata Dokter non kurang istirahat, asam lambungnya naik, jadinya pingsan." Jelas Bi Asih lagi.
Kejora menghela nafasnya lega, dia takut ada yang membawanya dan melecehkannya. Sungguh dia memiliki trauma dengan tempat baru, karena dulu dia hampir di lecehkan oleh seseorang yang ternyata orang itu di bayar oleh ibunya sendiri untuk mendapatkan uang. Kejam sekali bukan, alasan di baliknya itu sangat di luar dugaan, bukan hanya untuk mendapatkan uang semata. Tetapi, sebagai media juga untuk membuat hubungan Kejora dan Kekasihnya itu hancur, ibunya mempromosikan kakaknya dan menjelekkan dirinya dengan mengirimkan gambar dimana dia hampir di lecehkan. Kekasihnya percaya, hingga akhirnya dia menggantung hubungannya dan menjalin kembali cinta dengan kakaknya sendiri, padahal mereka sudah jauh melangkah menuju pelaminan.