Di SMA Gemilang, geng syantik cemas dengan kedatangan Alya, siswi pindahan dari desa yang cantik alami. Ketakutan akan kehilangan perhatian Andre, kapten tim basket, mereka merancang rencana untuk menjatuhkannya. Alya harus memilih antara Andre, Bimo si pekerja keras, dan teman sekelasnya yang dijodohkan.
Menjadi cewek tegas, bukan berarti mudah menentukan pilihan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cemburu Diam-Diam
Bab9
Alya menggigit bibirnya, mencoba mencari keberanian untuk bertanya. “Paman, aku... sebenarnya aku ingin tahu sesuatu,” katanya akhirnya.
Pamannya menoleh dengan tatapan penuh perhatian. “Apa itu, Alya?”
Namun, sebelum Alya sempat melanjutkan, tak terasa mereka sudah sampai di depan gerbang sekolah. “Nanti saja, Paman. Aku harus pergi sekarang,” katanya terburu-buru sambil membuka pintu mobil dan keluar.
Pamannya mengangguk, meskipun tampak sedikit bingung. “Baiklah. Jaga dirimu dan semoga harimu menyenangkan,” katanya sebelum Alya menutup pintu dan berjalan menuju gerbang sekolah.
Sesampainya di sekolah, Alya merasa ada sesuatu yang berubah. Dia bisa merasakan tatapan penuh perhatian dari Arga dan Andre, yang masing-masing terlihat lebih perhatian dari biasanya. Arga, dengan tatapan teduhnya yang selalu memberi rasa nyaman, menyapanya dengan senyum hangat. “Pagi, Alya. Baru datang ya?” katanya sambil mengiring langkah Alya menuju kelas.
Alya merespons seperlunya, canggung juga dengan basa-basi seperti itu. Namun, Alya merasa Arga anaknya baik, tidak pantas juga diabaikan.
“Oh ya, Alya. Hari ini akan ada pembagian kelompok inti. Nanti kamu pikirkan mau masuk kelompok siapa.”
“Boleh milih sendiri gitu?”
“Boleh. Cuma untuk ketuanya sudah ditentukan oleh guru. Biasanya mereka yang dilihat bisa mengkoordinir teman-temannya dengan baik dan tentunya lebih memiliki prestasi.”
Alya mangut-mangut mendengar penjelasan dari ketua kelas. Sementara itu Andre yang sudah mengenakan setelan basket juga menyapa Alya. Dia mau ke lapangan, kebetulan melewati jalan menikung
“Hei, Alya! Mau ikut main basket?” tanya andre, basa-basi sekaligus bercanda.
“Hehe, makasih. Semangat ya,” ucap Alya dengan senyum tulus.
Andre melakukan gaya selebrasi kemenangan, dia tersipu disemangati oleh Alya. Yang melihat hal itu menyoraki Andre. Alangkah hangatnya interaksi siswa-siswa di sana, andai tidak ada geng syantik. Tidak ada ketegangan dan persaingan pribadi.
“Wokeh, aku pergi ya. Sampai berjumpa lagi, tapi tanpa ada dia. Hehe,” canda Andre kemudian berlalu dengan siulan bahagia b
Alya tersenyum dan mengangguk, ternyata ketua tim basket bisa bercanda juga. Kita Alya dan Arga sudah benar-benar di dalam kelas, tapi Arga duduk di bangkunya sendirian, meski pun ingin tetap berbincang dengan Alya. Namun, dia punya perasaan juga, tidak mau disebut pria tidak tahu diri.
Di kelas juga Alya melihat Bimo yang sudah berada di bangkunya , dia yang selalu ada di sisinya. Bimo, dengan sikapnya yang tenang dan penuh perhatian, selalu membuat Alya merasa nyaman. Namun, mengapa dia hari ini tidak menyapa Alya? Tumben sekali. Akan tetapi Alya tidak berburuk sangka, mungkin Bimo sedang sibuk. Kelihatannya memang seperti sedang mengerjakan tugas.
‘Bimo ngerjain tugas apa ya? Perasaan gak ada PR atau mau ada ulangan. Serius banget kelihatannya,’ batin Alya. Dia terus memerhatikan Bimo dari bangkunya.
Namun, tiba-tiba terlintas kembali pikiran tentang perjodohan itu terus menghantui Alya. Dia mulai berpikir apakah di antara tiga cowok itu ada jodohnya? Arga yang tenang dan bertanggung jawab, Andre yang penuh semangat dan karisma, atau Bimo yang sederhana namun selalu ada untuknya? Atau mungkin, orang itu adalah seseorang yang sama sekali belum pernah ditemuinya?
Alya menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Dia tahu bahwa dia harus fokus pada pelajarannya, tetapi pikiran tentang masa depannya terus mengganggu. Di dalam kelas, dia duduk di tempat biasanya, namun perhatiannya terus terbagi antara pelajaran dan pertanyaan yang belum terjawab.
Saat jam istirahat tiba, Alya duduk bersama Lita di kantin. Lita yang selalu ceria dan penuh semangat, melihat ada yang berbeda dari sahabatnya. “Alya, kamu kenapa? Kamu kelihatan agak murung hari ini,” tanya Lita dengan nada prihatin.
Alya tersenyum lemah. “Aku baik-baik saja, Lit. Hanya lagi banyak pikiran,” jawabnya.
Lita menatap Alya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. “Kalau kamu butuh teman curhat, aku selalu ada, ok. Jangan sungkan,” katanya sambil menepuk punggung Alya.
Alya merasa sedikit lebih baik mendengar kata-kata Lita. “Terima kasih, Lita. Aku beruntung punya teman sepertimu,” katanya.
Namun, dalam hati, Alya tahu bahwa dia harus mencari jawabannya sendiri. Dia harus menemukan siapa yang dimaksud oleh paman dan bibinya, dan apa yang sebenarnya terjadi di balik rencana perjodohan itu. Dengan tekad yang semakin kuat, Alya berjanji pada dirinya sendiri untuk mencari tahu kebenarannya, apa pun yang terjadi.
Di kantin sekolah, suasana selalu ramai dengan suara obrolan dan tawa siswa-siswi. Alya dan Lita duduk di meja dekat taman, menikmati suasana pagi sambil menyantap sarapan.
“Alya, kamu harus main ke rumahku, deh. Udah hampir dua bulan kita sekolah bareng, tapi kamu belum pernah ke rumahku,” kata Lita sambil mengaduk jus jeruknya.
Alya tersenyum. “Iya, Lit. Aku juga pengen main ke rumahmu. Mungkin weekend ini kita bisa atur waktunya.”
Saat mereka asyik mengobrol, tiba-tiba Andre datang dengan seragam basketnya yang masih lengkap. Keringat masih mengalir di dahinya, menandakan bahwa dia baru saja selesai latihan.
“Hai, Alya, Lita! Aku tadi lihat kalian dari lapangan, jadi langsung ke sini. Boleh gabung, kan?” Andre tersenyum lebar.
“Tentu saja, Andre! Duduk aja,” jawab Lita sambil memberi isyarat pada kursi kosong di sebelahnya.
Andre duduk dan mengelap keringat di dahinya dengan handuk kecil. “Alya, gimana kabarmu? Masih kepikiran soal kemarin?” tanyanya dengan nada perhatian.
Alya mengangguk pelan. “Aku baik-baik aja, Andre. Terima kasih, selalu perhatian, tapi jangan berlebihan gitu. Jadi gak enak akunya.”
Andre mencoba mencairkan suasana dengan cerita lucu dari latihan basket pagi itu. Alya tertawa mendengar ceritanya, dan Andre merasa senang melihat Alya tersenyum lagi.
Tak lama kemudian, Arga datang membawa dua kotak susu. “Hei, kalian ngumpul di sini, ya? Aku boleh gabung juga?” tanyanya sambil menempatkan susu di meja.
“Masuk aja, Arga. Lebih ramai lebih seru,” jawab Lita.
Arga duduk di sebelah Andre dan menyodorkan kotak susu pada Alya. “Nih, Alya. Buat kamu. Aku lihat kamu suka susu coklat, jadi beliin deh,” katanya dengan senyum ramah.
“Hah? Tahu dari mana?” Alya merasa heran.
“Tapi bener, kan?” Arga meyakinkan, bukannya menjawab pertanyaan Alya.
Ya sudahlah, Alya tidak perlu memperpanjang tentang dari mana Arga tahu kesukaannya susu coklat. Yang pasti, Alya merasa nyaman dengan kehadiran mereka, meskipun dalam hatinya masih ada kebingungan tentang perjodohan yang mungkin melibatkan salah satu dari mereka. Mereka terus mengobrol tentang berbagai hal, dari pelajaran hingga rencana akhir pekan.
Sementara itu, di pojok kantin, Bimo sedang membantu ibunya melayani pembeli. Dari kejauhan, dia bisa melihat Alya yang dikelilingi oleh Andre dan Arga. Hatinya merasa cemburu, tapi dia tahu bahwa dia tidak bisa berbuat banyak. Bimo hanya bisa menahan perasaannya dan mencoba tetap fokus pada pekerjaannya.
“Kenapa kamu kelihatan sedih, Bimo?” tanya ibunya yang menyadari perubahan raut wajah anaknya.
“Ah, enggak apa-apa, Bu. Hanya lagi mikir aja,” jawab Bimo sambil memaksakan senyum.
Bersambung...