Enam tahun silam, dunia Tama hancur berkeping-keping akibat patah hati oleh cinta pertamanya. Sejak itu, Tama hidup dalam penyesalan dan tak ingin lagi mengenal cinta.
Ketika ia mulai terbiasa dengan rasa sakit itu, takdir mempertemukannya dengan seorang wanita yang membuatnya kembali hidup. Tetapi Tama tetap tidak menginginkan adanya cinta di antara mereka.
Jika hubungan satu malam mereka terus terjadi sepanjang waktu, akankah ia siap untuk kembali merasakan cinta dan menghadapi trauma masa lalu yang masih mengusik hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pria Mabuk di Pintu Apartemen
Matanya bertemu dengan lutut gue, dan alisnya mengkerut saat dia perlahan-lahan condong ke depan dengan ekspresi marah.
Dia mengangkat tangan dan menyentuh lutut gue dengan jarinya, seolah-olah dia belum pernah melihat lutut. Dia menurunkan tangannya, menutup mata, dan kembali tidur bersandar di pintu.
Bagus.
Amio baru akan kembali besok, jadi gue menelepon nomornya untuk memastikan apakah pria ini seseorang yang perlu gue khawatirkan.
“Tia?” tanya Amio tanpa salam terlebih dahulu.
“Yaps,” jawab gue. “Gue udah sampai dengan selamat, tapi gue enggak bisa masuk karena ada orang mabuk di depan pintu. Gimana, nih?”
“Lantai delapan belas?” tanya Amio. “Lo yakin lo di apartemen yang benar?”
“Yakin.”
“Lo yakin dia mabuk?”
“Yakin.”
“Aneh,” katanya. “Dia pakai apa?”
“Kenapa lo kepo banget dia pakai apa?”
“Kalau dia pakai seragam pilot, dia mungkin tinggal di gedung ini. Apartemen ini kerja sama dengan maskapai tempat gue kerja.”
Pria ini enggak pakai seragam apa pun, tapi gue rasa celana jeans dan kaos hitamnya sangat pas di tubuhnya.
Dan itu terlihat seksi.
“Enggak ada seragam,” jawab gue.
“Bisa lewat, gak, tanpa bangunin dia?”
“Gue harus geser dia. Dia bakal jatuh ke dalam kalau gue buka pintunya.”
Amio diam beberapa detik sambil berpikir.
“Coba lo turun ke bawah dan cari penjaga gedung, cari Kapten,” katanya. “Gue udah bilang ke dia kalau lo bakal datang malam ini. Suruh aja dia bantuin lo buat masuk ke apartemen.” imbuh Amio.
Gue ambil napas dalam-dalam, karena gue lelah menyetir selama enam jam, dan balik ke bawah lagi bukanlah sesuatu yang gue mau sekarang.
Gue juga enggak habis pikir, karena makhluk reinkarnasi itu justru orang terakhir yang mungkin bisa membantu gue dalam situasi ini.
“Jangan matiin teleponnya, tunggu gue sampai masuk di apartemen lo.”
Gue lebih suka rencana ini. Gue taruh telepon di antara telinga dengan bahu gue dan mencari kunci yang dikirim Amio di tas selempang. Pelan-pelan gue memasukkan kunci ke dalam lubang kunci dan mulai membuka pintu, tapi pria mabuk itu mulai jatuh ke belakang setiap kali pintu terbuka sedikit.
Dia mengeluh dengan mata tertutup.
“Sayang banget dia mabuk,” kata gue ke Amio. “Dia enggak jelek-jelek amat.”
“Tia, cepat masuk dan kunci pintunya biar gue bisa tutup telepon lo.” bentak Amio.
Gue memutar mata. Dia masih saja jadi Abang yang sok mengatur kayak dulu. Gue sudah tahu kalau pindah bareng sama dia bakal enggak bagus buat hubungan kita. Tapi, gue enggak punya waktu, jadi ya, enggak ada pilihan lain.
Gue sih berharap, semoga sekarang keadaan bakal berbeda. Amio sudah dua puluh lima tahun dan gue dua puluh tiga tahun. Kalau kita enggak bisa akur daripada waktu kita kecil, ya, berarti kita masih punya banyak PR buat tumbuh dewasa.
Gue rasa, itu tergantung sama Amio dan apakah dia berhasil berubah sejak terakhir kali kita tinggal bareng.
Dulu dia punya masalah sama siapa saja yang gue pacari, semua teman gue, setiap keputusan yang gue buat, bahkan kampus yang gue pilih. Walaupun, gue enggak pernah sih, ambil pusing sama pendapatnya.
Jarak dan waktu yang memisahkan kita selama beberapa tahun terakhir ini bikin dia enggak terlalu menggerecoki, tapi tinggal bareng dia lagi bakal jadi ujian terberat buat gue.
Gue lilitkan tali tas selempang di pundak, tapi malah menyangkut di pegangan koper, jadi gue biarkan saja tas selempang gue jatuh ke lantai.
Tangan kiri gue masih erat menggenggam gagang pintu, menahannya, biar orang gila ini enggak jatuh ke dalam apartemen.
Gue tempeli kaki gue ke bahunya, dorong dia dari tengah-tengah pintu.
Dia enggak bergerak sama sekali.
"Miooo. Arghh. Dia berat bangeeeet. Bentaran, gue harus tutup telpon biar bisa pakai kedua tangan."
"Jangan ditutup! Taruh aja HP lo di kantong, tapi jangan dimatiin."
Gue lihat ke baju dan legging yang gue pakai. “Enggak ada kantong, nih. Masuk ke Bra aja, ya.”
Amio langsung bikin suara muntah waktu gue cabut HP dari telinga dan menyelipkannya ke dalam Bra.
Gue cabut kunci dari lubangnya dan menjatuhkannya ke tas, tapi malah meleset dan jatuh ke lantai.
Gue bungkuk buat tarik cowok mabuk ini biar bisa menggeser dia dari pintu.
“Oke, brooo,” hentak gue sambil susah payah menariknya dari tengah pintu. “Maaf ganggu tidur lo, tapi gue mesti masuk ke apartemen ini.”
Gue tiba-tiba berhasil menyangga dia di kusen pintu biar enggak jatuh ke dalam apartemen, terus gue dorong pintunya dan balik buat mengambil barang-barang gue.
Sesuatu yang hangat melilit pergelangan kaki gue.
Gue langsung diam.
Gue lihat ke bawah.
"Lepasin gue!" teriak gue sambil tendang tangan yang menggenggam pergelangan kaki gue dengan kuat, sampai gue yakin cakarnya bakal meninggalkan lebam di kaki cantik gue.
Cowok mabuk itu sekarang melihat gue, dan genggamannya bikin gue jatuh ke belakang, ke dalam apartemen waktu gue coba tarik kaki gue dari dia.
"Gue harus masuk ke sana," gumamnya. Pas banget pantat gue menyentuh lantai. Dia mencoba dorong pintu apartemen dengan tangan yang satunya, dan langsung bikin gue panik.
Gue tarik kaki gue biar sepenuhnya masuk ke dalam, dan tangannya ikut sama gue. Gue pakai kaki yang satunya lagi buat tutup pintu, dan itu seketika menghantam pergelangan tangannya.
"Argghh!" teriaknya. Dia coba tarik tangannya yang terjepit, tapi kaki gue masih menahan pintu. Gue lepaskan dorongan secukupnya biar dia bisa tarik tangannya, terus langsung gue tendang pintunya sampai tertutup rapat.
Gue berdiri lekas mengunci pintu, dan pasang rantai pengaman secepat mungkin.
Begitu detak jantung gue mulai tenang, tiba-tiba ada suara yang berteriak di dalam dada gue. Suara itu benar-benar berteriak dari dalam hati gue. Suara pria yang begitu dalam.
Suara itu seperti lagi teriak, "Tia! Tia!"
Amio.
Gue langsung lihat ke dada gue dan tarik HP dari Bra, terus gue angkat ke telinga.
"Tia! Jawab gue!"
Gue meringis, terus menjauhkan HP beberapa inci dari telinga gue.
"Gue baik-baik aja," jawab gue dengan napas terengah-engah. "Gue udah ada di dalam. Gue kunci pintunya."
"Ya ampun!" sahutnya dengan lega. "Lo bikin gue hampir mati. Apa yang barusan terjadi?"
"Dia mau masuk. Tapi, gue udah kunci pintunya."
Gue menyalakan lampu ruang tamu dan cuma butuh tiga langkah sebelum gue berhenti.
Bagus, Sintia.
Gue pelan-pelan balik badan ke arah pintu setelah sadar dengan apa yang telah gue lakukan.
"Aduh, Miooo?" Gue berhenti sejenak. "Sial, barang-barang gue ketinggalan di luar. Gue mau ambil, tapi cowok mabuk itu kayaknya dia benar-benar mau masuk ke apartemen lo, deh, entah kenapa, jadi gue enggak akan bukain pintu itu lagi. Gimana?"
Amio diam beberapa detik. "Apa yang lo tinggalin di lorong?"