Arnav yang selalu curiga dengan Gita, membuat pernikahan itu hancur. Hingga akhirnya perceraian itu terjadi.
Tapi setelah bercerai, Gita baru mengetahui jika dia hamil anak keduanya. Gita menyembunyikan kehamilan itu dan pergi jauh ke luar kota. Hingga 17 tahun lamanya mereka dipertemukan lagi melalui anak-anak mereka. Apakah akhirnya mereka akan bersatu lagi atau mereka justru semakin saling membenci?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2
Gita sudah tidak tahan lagi mendengar semua perkataan Arnav. Dia keluar dari pub itu dan menaiki motornya.
"Gita!" Gibran berlari keluar dari pub dan segera menyusul Gita.
Arnav meletakkan uang di atas meja untuk membayar minumannya kemudian dia juga keluar dari pub itu. Dia masuk ke dalam mobilnya dan melajukan mobilnya dengan kencang menuju rumahnya sebelum Gita mendahuluinya.
Setelah sampai di depan rumahnya, dia menghalangi Gita masuk ke dalam rumahnya.
"Arnav, aku mau ambil Arvin!"
Arnav menahan tangan Gita dan mendorongnya hingga terjatuh. "Biarkan dia sama aku."
"Tapi aku yang mengandung dan aku yang melahirkan Arvin. Bahkan Arvin masih minum ASI, dia pasti terbangun dan menangis."
Arnav masih kekeh. Dia masuk ke dalam rumah dam menutup pintu rumah itu.
"Arvin ...." Gita menangis pilu di teras depan rumah Arnav.
"Arnav, apa yang kamu lakukan, biarkan Gita masuk." Arsen, ayahnya Arnav mendengar pertengkaran mereka. Dia membuka pintu itu dan melihat Gita yang masih terduduk di lantai teras rumahnya.
"Gita." Naya, ibunya Arnav, membantu Gita berdiri dan menuntunnya duduk di kursi. "Ada masalah apa? Kalian bicarakan baik-baik, jangan seperti ini."
Gita hanya menangis terisak. Iya, dia tahu itu bukan rumahnya, makanya Arnav bisa mengusir seenaknya. Meskipun memiliki mertua yang baik, tapi dia tidak sanggup jika terus seperti ini. "Ibu, biarkan aku membawa Arvin dari rumah ini. Aku minta maaf, aku sudah tidak sanggup mempertahankan pernikahan ini."
"Arvin akan tetap di sini!" sahut Arnav yang kini berdiri di ambang pintu. "Aku akan segera mengurus surat perceraian kita dan mengambil hak asuh Arvin!"
"Arnav! Kamu jangan keterlaluan seperti itu! Kamu bicara baik-baik sama Gita!" kata Arsen
"Tolong Ayah jangan ikut campur dengan rumah tanggaku. Keputusanku sudah bulat." Arnav kembali masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu itu rapat. Dia beringsut di belakang pintu sambil menatap putranya yang masih tertidur dengan nyenyak sambil memeluk guling kecilnya.
Hatinya terasa sangat sakit. Sebenarnya dia juga tidak ingin perpisahan ini terjadi tapi dia sudah menyerah dan sudah merasa gagal menjadi seorang suami.
Ego mereka masih sama-sama tinggi meskipun mereka sudah berumur matang. Arnav tetap kekeh dengan pendiriannya dan tidak mau mendengarkan penjelasan Gita.
Sedangkan Gita juga kekeh dengan keinginannya. Dia masih duduk di teras rumah Arnav, tak peduli dengan angin malam yang terasa dingin menerpa tubuhnya.
"Gita, kamu tidur di kamar tamu saja. Besok kamu bicarakan lagi dengan Arnav," kata Naya. Dia tidak tega melihat menantunya yang terus duduk di teras rumah sambil menangis.
Gita menggelengkan kepalanya. "Kak Arnav sudah mengusirku, itu berarti aku tidak boleh di rumah ini. Aku titip Arvin ya, Bu. Aku ...." Gita menghentikan perkataannya. Sebenarnya dia tidak rela jika harus meninggalkan Arvin.
Tanpa berkata apa-apa lagi, dia berdiri dan berjalan ke motornya. Dia menaiki motornya dan beberapa saat kemudian, Gita melajukan motornya meninggalkan rumah Arnav
Tepat saat Gita pergi, Arnav keluar dari rumah. Dia menyusul Gita dengan mobilnya, tapi kecepatan mobil itu berkurang saat motor Gita dihentikan oleh seorang pria. Dia jelas mengenal siapa pria itu. Ya, pria itu adalah Gibran. Ternyata Gibran sudah mengikuti Gita sampai sejauh ini. Tanpa pikir panjang dia memutar balik mobilnya. Sekarang tidak ada lagi keraguan di hatinya untuk menceraikan Gita.
...***...
"Kamu mau kemana?" tanya Gibran. Sejak dari pub dia terus mengikuti Gita hingga akhirnya dia melihat Gita menaiki motornya sendiri di tengah malam itu.
"Mau pulang ke rumah," jawab Gita disela isak tangisnya. Meskipun pulang ke rumah bukan solusi yang tepat untuk mengatasi masalahnya. Pasti dia juga akan membuat kedua orang tuanya sedih.
"Ya sudah, aku ikuti kamu dari belakang. Ini sudah tengah malam, bahaya kalau kamu pulang sendiri."
Gita menoleh ke belakang karena sepertinya dia mendengar suara mobil. Samar-samar dia melihat mobil dengan warna yang sama seperti milik Arnav. Tapi apakah mungkin itu Arnav yang mengikutinya.
Gita kembali meluruskan kepalanya. Dia hanya menunduk menatap stang motornya. Dia sudah menyerah dan tidak mau berusaha lagi. Sebenarnya bukan perpisahan itu yang membuatnya sangat sedih, tapi Arvin. Bagaimana jika dia tidak bisa menemui Arvin lagi?
Gita menghapus air matanya. Jika gugatan cerai itu memang benar-benar akan dilayangkan Arnav, dia akan meminta hak asuh Arvin agar jatuh ke tangannya.
"Gita, angin malam tidak baik untuk kesehatan kamu. Kamu mau pulang atau kembali ke rumah suami kamu?"
"Pulang." Gita kembali melajukan motornya menuju rumah orang tuanya. Di belakangnya masih ada Gibran yang terus mengikutinya dan memastikan keselamatannya sampai rumah.
...***...
Semua sudah berakhir, hakim sudah mengetuk palu. Arnav dan Gita sudah resmi bercerai. Gita masih duduk di tempatnya sambil menangis karena hak asuh Arvin telah jatuh ke tangan Arnav.
"Arnav, aku mau bertemu dengan Arvin!" kata Gita. Dia menahan tangan Arnav yang akan pergi dari ruang persidangan itu.
"Tidak! Hak asuh sudah jatuh ke tanganku."
"Arnav, kamu pasti curang kan? Arvin masih belum genap dua tahun bagaimana mungkin hak asuh jatuh pada kamu." Gita masih tidak terima dengan keputusan itu.
Arnav tak menimpali perkataan Gita, dia melepas tangan Gita dan pergi begitu saja.
"Arnav!" Gita urung mengejar langkah kaki Arnav. Dia tidak mungkin terus meminta dan memaksa Arnav untuk bertemu Arvin karena dia tahu Arnav sangat keras kepala.
Gita berjalan perlahan keluar dari kantor pengadilan agama itu. Dia kini duduk di bangku taman. Air mata itu seolah tidak bisa berhenti mengalir. Jika dia hanya berpisah dengan Arnav, mungkin dia tidak akan sehancur ini tapi dia kini juga berpisah dengan Arvin, anak pertamanya yang sangat dia sayangi.
"Arvin, maafkan mama Sayang." Gita tak peduli dengan hujan yang mulai turun dan mengguyur tubuhnya. Kepalanya terasa semakin berat hingga akhirnya dia jatuh pingsan.
...***...
Gita membuka kedua matanya di rumah sakit. Dia melihat tangannya yang telah terpasang infus dan ada Gibran di dekatnya.
"Kamu yang bawa aku ke sini?" tanya Gita.
"Iya. Aku tadi datang ke persidangan kamu. Kenapa kamu tidak bersama orang tua kamu"
Gita menggelengkan kepalanya. "Aku sudah dewasa, bisa melakukannya sendiri. Terima kasih kamu sudah menolongku."
Gibran menganggukkan kepalanya lalu dia memberikan selembar kertas hasil pemeriksaan dari dokter. "Kamu baca hasilnya."
Gita memegang kertas itu dan membaca hasil dari pemeriksaan Dokter. "Aku hamil? Tidak mungkin!" Seketika kertas itu jatuh ke lantai. Bagaimana mungkin dia baru mengetahui kehamilannya di saat semua sudah berakhir.