Hanung Rahayu, seorang gadis periang dengan paras menawan. Sejak kematian sang ayah, Hanung tinggal bersama Ibu tiri dan ketiga adiknya.
Ibu Jamilah, Ibu tiri Hanung dulunya adalah abdi dalem di sebuah pondok pesantren yang ada di kotanya. Ketika Bu Nyai datang melamar Hanung untuk putranya, Ibu Jamilah menyerahkan keputusan sepenuhnya di tangan Hanung.
Dengan rela Hanung menerima lamaran tersebut, tanpa tahu calonnya seperti apa. Akankah Hanung mundur dari pernikahan? Bagaimana Hanung menjalani kehidupannya kedepan?
Note: Jika ada kesamaan nama, dan setting, semuanya murni kebetulan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. Les Libur
Selama satu minggu ini, Hanung selalu melaksanakan sholat istikharah untuk meminta petunjuk kepada Allah.
Diawal, Hanung ragu dengan jawaban yang akan ia berikan. Dengan pertimbangan dirinya yang belum siap dan calon yang tidak ia kenal, Hanung ingin menolak lamaran Bu Nyai. Tetapi kemudian ia mengulur kembali pemikirannya, mengingat status Bu Nyai dan hubungan beliau dengan Ibu Jam yang pernah menjadi abdi dalem.
Setelah tarik ulur dan sholat istikharah, Hanung tiba pada satu keputusan yaitu menerima lamaran Bu Nyai. Bukan semata-mata karena hubungan Bu Nyai dengan Ibu Jam atau terpaksa. Hanung menerimanya dengan ikhlas karena dalam sholatnya, hatinya tidak memiliki keraguan lagi. Dirinya yang mengatakan belum siap menikah, ternyata memiliki keberanian untuk menjalaninya. Untuk keinginannya berkuliah, ia bisa mengutarakan nya nanti.
"Mbak Hanung, les nya diliburkan saja. Hari ini sama besok." kata Ibu Jam yang sedang menyuapi Nada.
"Iwan mau mengabari anak-anak tidak, Bu?" Hanung menghentikan kegiatan cuci piringnya.
"Nanti Ibu yang suruh. Kamu dua hari ini bantu Ibu bersih-bersih dan menyiapkan jamuan."
"Iya, Bu."
"Kamu sudah siap memberikan jawaban?"
"Sudah, Bu."
"Tumben tidak menjawab "InsyaAllah"?"
"Kata Ibu, InsyaAllah itu seperti berjanji. Jika janji itu Hanung ucapkan dan Allah tidak berkehendak, maka Hanung menanggung hutang. Jadi, Hanung menjawab sesuai yang ada." Ibu Jam terdiam.
"Apa Mbak Hanung selama ini merasa terpaksa mengikuti ajaran Ibu?" tanya Ibu Jam lirih.
"Mengapa Ibu berpikir seperti itu?"
"Mbak Hanung terbiasa bebas dengan didikan Ayah yang lebih mengutamakan pendidikan. Dan sejak Ibu masuk kerumah ini, Mbak Hanung dituntut Ayah untuk belajar agama dengan Ibu."
"Bu.. Kalau Hanung terpaksa, ajaran Ibu tidak akan ada yang nyangkut dikepala Hanung. Justru Hanung bersyukur, Ayah mendapatkan istri seperti Ibu yang bisa membawa Ayah ke jalan-Nya." Hanung menggenggam tangan Ibu Jam.
Ibu Jam tidak mengatakan apa-apa, beliau justru menitikkan air mata. Hanung dengan sabar menunggu sampai Ibu Jam tenang. Nada yang melihat sang Ibu menangis pun ikut menangis.
"Cup.. Cup.. Cup.." Ibu Jam menenangkan Nada dan setelah tenang, Ibu Jam kembali menyuapi Nada.
"Ibu juga bersyukur bisa bertemu dengan Ayah. Ibu dulu sempat ingin menjanda saja, membesarkan Iwan sendiri. Tetapi Bu Nyai menyadarkan Ibu, kalau peran seorang Ayah juga diperlukan Iwan saat itu. Makanya Ibu setuju saat suami dari Umi Laila mengenalkan Ayah."
"Senyum, Bu. Jangan menangis lagi!" seru Hanung sambil menyerahkan tisu.
Keduanya pun tertawa bersama. Hanung yang pernah takut memiliki Ibu tiri, justru dekat dibandingkan dengan Ibu kandungnya yang sekarang ini entah dimana.
"Misalkan nanti Mbak Hanung menikah, apa tidak sebaiknya mengabari Ibu Rati?"
"Bagaimana mau mengabari, Bu? Hanung saja tidak tahu kontaknya dan dimana beliau sekarang."
"Coba dilihat di ponsel Ayah. Siapa tahu masih ada kontaknya disana. Ponsel Ayah masih Ibu simpan di laci kamar."
"Nanti saja ya, Bu?" Ibu Jam mengangguk.
Beliau tidak ingin memaksa karena beliau tahu, bagaimana terpuruknya suami dan anak tirinya saat ditinggalkan Rati. Suaminya telah menceritakan semuanya, maka dari itu nama Rati jarang disebut saat beliau masih hidup.
"Mbak Hanung!" seru seorang anak di depan rumah.
Hanung keluar dan membukakan pintu. Terlihat beberapa anak kelas 4 berdiri disana dengan seragam sekolah.
"Kenapa tidak berangkat kesekolah?" tanya Hanung sambil menyambut salam dari mereka.
"Sengaja mau mampir. Ini ada titipan dari Ibu untuk Mbak Hanung." Masing-masing anak menyerahkan kantong plastik kepada Hanung.
"Kenapa repot-repot?" Hanung sampai kewalahan memegang beberapa kantong tersebut.
"Tidak repot, Mbak Hanung." jawab mereka kompak.
"Sampaikan ucapan terimakasih Mbak Hanung pada Ibu-ibu, ya?" Semua anak mengangguk antusias.
"Oh iya, Mbak Hanung bisa minta tolong?"
"Tentu saja! Apa itu, Mbak?"
"Tolong kabarkan ke teman-teman yang lain kalau les hari ini dan besok libur. Mbak Hanung ada urusan."
"Berarti anak kelas satu sampai kelas 6, Mbak?" Hanung mengangguk.
Anak-anak pun berunding. Mereka membagi pekerjaan, siapa yang akan mengabarkannya di kelas 1 sampai 6 dengan hompimpa. Setelah terbagi dengan adil, mereka pun mengatakan siap.
"Terima kasih, ya? Sampaikan juga, lusa saat masuk les Mbak Hanung akan membagikan hadiah bagi yang mendapat nilai ulangan diatas 70."
"Benar, Mbak?" seru anak-anak.
"Iya."
"71, masuk tidak?" tanya salah seorang anak.
"Masuk. Yang penting diatas 70 karena itu batas KKM."
"Asyik!"
Setelah itu mereka pun menyalami Hanung kembali dan pamit berangkat sekolah. Hanung melambaikan tangannya dan mengatakan agar mereka hati-hati.
Hanung membawa kantong plastik ke dapur dan membongkar nya. Beberapa berisi sayuran dan beberapa berisi sembako. Hanung memilahnya dan menyimpan. Ibu Jam yang sudah selesai menyuapi Nada pun membantu Hanung sampai semuanya tersimpan rapi.
Keesokan harinya, Ibu Jam dan Hanung sudah sibuk didapur sejak bakda subuh. Mereka membagi tugas, Ibu Jam bagian memasak dan Hanung bagian menyiapkan bahan. Pertama mereka membuat kue bolu tape dan nagasari. Kemudian memasak gulai daun singkong, ayam ungkep dan sambal.
Karena tidak tahu kapan tamu mereka akan datang, ayam ungkep dan tahu tempe tidak mereka goreng semuanya. Yang mereka goreng hanyalah yang mereka makan untuk sarapan. Selesai sarapan, Iwan berangkat sekolah dan Hanung mencuci piring dan alat bekas masak. Lalu ia lanjut mencuci pakaian, sedangkan Ibu Jam bergelut dengan Jamal dan Nada.
"Assalamu'alaikum, Bu Nyai." sapa Ibu Jam saat menerima telepon dari Bu Nyai.
"Wa'alaikumussalam, Jam. Saya dan suami sampai sana sekitar pukul 11 karena Abi ada tausiyah di Masjid Agung jam 8 ini."
"Iya, Bu Nyai. Santai saja, tidak perlu buru-buru."
"Terimakasih, Jam. Nanti saya kabari lagi kalau sudah mau berangkat."
"Baik, Bu Nyai."
Setelah panggilan berakhir, Ibu Jam menyampaikan kepada Hanung kedatangan Bu Nyai. Hanung mengangguk dan segera menyelesaikan semua pekerjaannya sebelum Bu Nyai datang nanti.
Di sisi lain.
"Sudah dikabari Jamilah nya?" Tanya Pak Kyai Kholiq.
"Sudah, Bi. Nanti Adib mau dibawa sekalian atau kita yang khitbah dulu?"
"Kita bawa sekalian saja. Biarkan Hanung memutuskan setelah melihat Adib. Apapun keputusan Hanung, kita harus menghormatinya."
"Umi takut, Bi."
"Untuk apa takut? Ada Allah bersama kita."
"Allah memang bersama kita, Bi. Tetapi untuk urusan Adib, Umi sudah menelan pil pahit terus-menerus."
"Umi, tidak ada usaha yang sia-sia. Kemarin itu Adib ditolak, mungkin memang bukan jodohnya. Berdoa saja, pilihan Umi kali ini tidak salah." Pak Kyai menepuk pundak Bu Nyai dengan lembut.
Sebelum memilih Hanung, Bu Nyai telah sepakat dengan Umi Kalsum istri dari Kyai Jabar untuk menjodohkan anak mereka. Tetapi ketika Ning Anis pulang dari menuntut ilmu dan melihat Gus Zam, Ning Anis menolak perjodohan karena merasa tidak bisa menjalani pernikahan dengan Gus Zam disaat hari pernikahan sudah ditetapkan.
Dan saat melihat Hanung bersama Umi Siti di dapur, Bu Nyai terpikirkan untuk melamarnya untuk Gus Zam. Beliau hanya berharap, anak keduanya memiliki hak yang sama dengan anaknya yang lain dalam pernikahan.
padahal udah bagus lho