Lahir, dan besar, di negara yang terkenal karena budaya tolong menolong terhadap sesama, tanpa sengaja Reina menolong seseorang yang sedang terluka, tepat ketika salju tengah turun, saat dirinya berkunjung ke negara asal ayah kandungnya.
Perbuatan baik, yang nantinya mungkin akan Reina sesali, atau mungkin justru disyukuri.
Karyaku yang kesekian kalinya, Jangan lupa mampir dan tinggalkan jejak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hermawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejutan Tak Terduga
Reina sengaja berangkat lebih pagi, karena subuh tadi, tiba-tiba dia menginginkan sesuatu.
Bahkan penjaga kantor, baru saja membuka rolling door. Reina sempat berbincang sejenak, sembari meletakkan tas di laci meja kerjanya, dan absen menggunakan finger print, waktu menunjukan pukul tujuh lewat dua puluh lima menit.
Setelan, dia bergegas menuju warung kaki lima, yang kemarin dia datangi, tak lupa membawa gawai, dan dompetnya.
Gerobak yang di cat cokelat itu, telah ramai pengunjung, Reina mengerucutkan bibirnya, ternyata sudah cukup mengantri, tapi demi memenuhi keinginannya, dia rela berbaur dengan beberapa orang, yang mengerumuni pedagang tersebut.
Perjuangannya mengantri, lebih dari setengah jam, terbayarkan. Reina mendapatkan satu porsi makanan yang sedari subuh, membayangi pikirannya.
Reina lebih memilih membawanya ke kantor, mengingat tempat makan di sana, sangat penuh, dengan para pekerja, yang tengah mengisi perut mereka masing-masing.
Setibanya di kantor, sudah ada beberapa rekannya yang datang, mereka sempat berbincang sejenak, menanyakan perihal pekerjaan.
"Tumben Lo makan bubur ayam, bukannya Lo nggak suka?" tanya Nidia, yang baru saja datang, usai terlebih dahulu menempelkan jari telunjuknya pada mesin absen.
"Lagi pengen aja," sahut Reina.
Nidia duduk tepat di depan mejanya, dia meletakan kotak bekal, "Lo mau nyoba nggak, Emak gue masak ikan woku," tawarnya.
Begitu Nidia membuka kotak bekalnya, Reina langsung membungkam mulutnya sendiri, mual itu datang, dia langsung bangkit, dan melangkah cepat ke toilet.
Reina memuntahkan kembali, makanan yang baru saja masuk ke perutnya, dia sampai lemas.
"Kenapa sih Lo?" tanya Nidia khawatir, gadis itu sampai menunggu di depan pintu toilet.
"Nggak tau nih, perut gue enek banget," sahut Reina, seraya membasuh mulutnya, di wastafel depan toilet.
"Begadang lagi semalam?" tanya Nidia lagi, keduanya kembali ke meja.
"Nggak, semalam gue tidur cepat," sahutnya.
"Mumpung belum mulai jam kerja, sini gue kerokin, kita numpang di ruangan mbak Lina aja yuk," tawar Dwi, "Muka Lo pucat banget, Rei!" wanita beranak satu itu, sampai bangkit, lalu menghampirinya.
"Nggak usah mbak, entar gue beli tolak ang*n aja, kalau sampai siang begini, pas istirahat, baru deh, gue minta kerokan," tolak Reina halus, dia tak ingin merepotkan rekannya.
"Pulang kerja, gue anterin ke dokter ya!" tawar Lidia.
Rekan kerja Reina tau, jika dirinya sebatang kara di ibu kota, sehingga mereka mengkhawatirkannya.
"Iya Mpok,"
Reina tak lagi melanjutkan sarapannya, dan Nidia membawa kotak bekal, menuju mejanya sendiri.
***
Sudah tiga hari Reina merasakan keanehan, pada dirinya. Jika mencium aroma daging, dan ikan, dirinya langsung merasakan mual. Padahal dua makanan tersebut, adalah lauk favoritnya. Tak sampai di situ, Reina juga menyukai makanan, yang sebelumnya kurang dia sukai.
Pun tubuhnya yang seolah tak berenergi, lemas, sehingga dirinya malas melakukan rutinitas pribadinya, kecuali menulis novel pada salah satu aplikasi.
Hari Minggu, Nidia menghubunginya, mengajaknya nonton bioskop, di salah satu mall, di kota penyangga, meski rasanya malas, karena tak enak menolak, dengan terpaksa Reina menyanggupi ajakan tersebut.
Mereka bertemu janji, di stasiun, lalu menaiki kereta listrik, menuju kota penyangga. Meski mall di ibu kota banyak, tapi karena Nidia mengatakan, jika dirinya akan membeli sesuatu di sana.
Selain menonton bioskop, mereka juga berbelanja keperluan bulanan, di supermarket yang masih satu tempat, dengan bioskop. Juga membeli baju yang kata Nidia, sudah diincar dari bulan lalu.
Puas berbelanja, mereka makan bersama, di food court, memesan salah satu makan yang paling ramai pengunjung.
"Rei, gue mau nanya, tapi gue minta, Lo jangan marah ya, jujur gue nggak ada maksud apa-apa, dan selama sebulan kenal, gue tau Lo cewek baik-baik," cetus Nidia, ketika mereka baru saja memulai menikmati makanan pesanannya.
"Nanya aja kali, tenang gue nggak bakal marah," sahut Reina santai.
Nidia merasa ragu, tapi rasa penasarannya, membuatnya memberanikan diri, "Lo hamil ya?"
Seketika Reina tersedak, mendengar perkataan gadis berpotongan rambut sebahu, dihadapannya.
Nidia bangkit, dan menepuk punggung temannya, tak lupa memberikan minuman, "Kenapa sih Lo? Sampai keselek segala," katanya khawatir.
Di rasa tenang, Reina meminta Nidia untuk menghabiskan makan terlebih dahulu.
***
Sepanjang perjalanan pulang, keduanya sama sekali tak membahas hal yang sempat membuat Reina tersedak, mereka lebih memilih membahas barang belanjaan.
Tempat tinggal keduanya, tak berdekatan, bahkan berlawanan arah, sehingga mereka berpisah ketika sampai di stasiun tujuan.
Sepanjang sore hingga malam, Reina diam di kamar kosnya, dia tengah memikirkan pertanyaan dari Nidia.
Reina ingat, jika bulan ini, dia belum menstruasi, lebih tepatnya, sudah lewat lebih dari seminggu.
Apa yang harus dia lakukan?
Reina jadi teringat, saat dirinya berada di negara asal ayahnya, ketika dirinya yang memiliki rasa kemanusiaan tinggi, justru menolong orang yang seharusnya, dia hindari.
Reina ikhlas menolong siapapun, selama dirinya mampu, dan sedikitpun tak mengharapkan imbalan.
Tapi lelaki bertato naga, yang dia tolong, justru melecehkannya. Reina kembali mengatai dirinya sendiri, seharusnya dia menerima saja perhiasan, yang lelaki itu berikan.
Sekali lagi semuanya sudah terlanjur, dia harus menanggung akibat, perbuatan jahat lelaki itu padanya.
***
Pagi-pagi sekali, dirinya mendatangi salah satu rumah sakit, yang jaraknya lumayan jauh dari kosannya, guna pemeriksaan, karena kondisi tubuhnya, benar-benar sudah tak nyaman. Tak lupa memberitahukan pada atasannya di kantor, bahwa dirinya izin datang terlambat.
Reina masih mencoba berpikir positif, mungkin dugaannya salah, bisa jadi karena hormonnya bermasalah.
Tapi ucapan dokter umum yang memeriksanya, menghancurkan pikiran positifnya. Dokter mengatakan, untuk dirinya berkonsultasi pada dokter kandungan.
Reina kembali menghubungi atasannya, dia mengatakan, jika dirinya izin tidak bekerja, tadi dia sempat meminta surat izin sakit pada dokter yang memeriksanya, dan memfotonya, lalu mengirimkannya pada atasannya.
Selama dua jam, Reina hanya berdiam diri, di ruang tunggu, dikarenakan dokter kandungan baru praktik nanti.
Poliklinik semakin ramai, para pasien yang hendak kontrol, sudah menduduki kursi ruang tunggu.
Ada beberapa pasangan suami istri yang datang, dan duduk tak jauh darinya. Pun Reina juga bisa mendengar percakapan mereka, yang sebagian membicarakan tentang perkembangan janin pada kandungan masing-masing.
Reina sama sekali tak iri, dia benar-benar tak iri dengan hubungan suami-istri itu, dia bahkan tak berniat menjalin hubungan dengan lelaki manapun. Dia tak ingin merasakan patah hati.
Sebagai pasien yang datang pertama kali, Reina mendapatkan, urutan nomor satu sehingga begitu dokter kandungan tiba, namanya dipanggil terlebih dahulu.
Dokter berjenis kelamin laki-laki itu, menanyakan ini itu padanya, dan Reina menjawab jujur apa adanya.
Usai sesi tanya jawab, Reina dipersilahkan menuju ranjang periksa, untuk melakukan USG.
Sensasi dingin Reina rasakan, begitu gel dioleskan pada perut bawahnya, dan alat berbetuk bulat panjang, ditempelkan di sana.
"Anda bisa lihat, sudah ada dua kantong. Selamat, kemungkinan bayi anda kembar,"
Ucapan dokter, bagai petir di siang bolong, yang membuat tubuhnya, seketika tegang.
kak knp bukam Ryu aja yg ngidam biar tau rasa...
tp yaa sdhlah, Next kak💪🏻💪🏻🥰🥰