Seorang kultivator Supreme bernama Han Zekki yang sedang menjelajah di dunia kultivasi, bertemu dengan beberapa npc sok kuat, ia berencana membuat sekte tak tertandingi sejagat raya.
Akan tetapi ia dihalangi oleh beberapa sekte besar yang sangat kuat, bisakah ia melewati berbagai rintangan tersebut? bagaimana kisahnya?
Ayo baca novel ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon M. Sevian Firmansyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Setelah pertemuan panas dengan Zhao Wei dari Sekte Langit Timur, suasana di Sekte Nusantara jadi berubah. Bukan sepi atau gentar, justru ada rasa waspada yang menyelimuti semua orang—campuran ketegangan dan tekad yang entah kenapa, malah bikin mereka makin terpacu. Zekki tahu benar bahwa ancaman kali ini bukan main-main. Sekte Langit Timur, dengan segala keangkuhan dan kekuatan mereka, pasti bakal terus berusaha menghancurkan sekte kecil ini. Kalau nggak mereka lawan, habis sudah.
Di balik sikap tenangnya, Zekki memutar otak. Dia sadar, murid-muridnya masih jauh dari siap untuk menghadapi ancaman besar. Fei Rong dan Mei Lin memang punya semangat, tapi itu saja nggak cukup. Mereka harus berkembang lebih cepat, lebih kuat, dan belajar mengendalikan kemampuan mereka dengan lebih baik. Jadi, Zekki memutuskan, mereka semua perlu menjalani latihan khusus—latihan yang bakal bikin mereka berkeringat, ngos-ngosan, bahkan mungkin ingin menyerah… tapi itu harga yang harus dibayar.
Pagi itu, di halaman latihan, Zekki memanggil semua muridnya. Fei Rong, Mei Lin, Li Shen, dan Yuna sudah berdiri di sana, menunggu instruksi. Wajah mereka penuh rasa penasaran bercampur tekad.
“Mulai hari ini, kita akan menjalani latihan khusus,” kata Zekki, tatapannya tegas dan serius. “Latihan ini… yah, nggak akan mudah. Mungkin kalian akan merasa lelah, bahkan sampai ke titik di mana kalian pengen menyerah. Tapi kalau kita ingin bertahan dari sekte-sekte besar itu, kita harus jadi lebih kuat dari sekarang.”
Fei Rong langsung tersenyum lebar, matanya berbinar penuh semangat. “Aku siap, Tuan Zekki! Apapun latihannya, aku pasti bisa!” katanya, seolah tanpa ragu sedikit pun.
Di sebelahnya, Mei Lin ikut mengangguk, meski wajahnya tampak agak tegang. “Aku juga… akan berusaha sekuat tenaga, Tuan Zekki,” ucapnya pelan, tapi jelas terdengar tekad di suaranya.
Li Shen dan Yuna saling pandang sambil tersenyum melihat semangat kedua murid baru mereka. Zekki merasakan kehangatan dalam hati—mereka mungkin masih muda dan belum berpengalaman, tapi kemauan mereka untuk belajar dan tekad untuk jadi lebih kuat adalah fondasi yang kokoh. Itu yang membuatnya percaya, Sekte Nusantara punya sesuatu yang lebih dari sekadar kekuatan fisik.
Zekki memulai latihan dengan teknik dasar pertarungan tangan kosong. Kedengarannya memang simpel, tapi justru teknik ini penting untuk melatih refleks dan kelincahan tubuh. Fei Rong dan Mei Lin diminta untuk berlatih saling berhadapan, melempar serangan ringan tapi cukup cepat, yang bertujuan untuk mengasah daya tahan dan ketangkasan mereka.
Fei Rong mencoba menyerang Mei Lin berkali-kali, tapi gadis itu dengan lincah menghindari serangannya. Lama-lama, Fei Rong jadi semakin bersemangat, dia malah seperti menantang. “Ayo, Mei Lin! Jangan cuma menghindar! Lawan aku, dong!” serunya sambil tersenyum lebar.
Mei Lin mengangkat alis, tersenyum tipis, lalu dengan cepat melancarkan serangan balik yang mengejutkan. Tinju kecilnya menghantam bahu Fei Rong, membuatnya terdorong mundur beberapa langkah. Fei Rong terdiam sejenak, wajahnya sedikit terkejut, lalu dia malah tertawa.
Zekki, yang mengawasi mereka, mengangguk sambil tersenyum tipis. “Jangan terlalu agresif, Fei Rong,” katanya mengingatkan. “Dalam pertarungan, keseimbangan antara serangan dan pertahanan itu penting. Kalau kau terlalu menyerang tanpa berpikir, kau malah membuka celah untuk lawan.”
Fei Rong mengangguk, tampak paham, meski sedikit tersipu. “Baik, Tuan,” gumamnya, berusaha menahan semangatnya.
Setelah mereka berlatih teknik dasar itu selama beberapa jam, Zekki melanjutkan dengan sesi meditasi yang lebih mendalam. Meditasi ini bukan cuma buat menenangkan pikiran, tapi juga buat mengasah kemampuan mengendalikan energi dalam tubuh. Dengan meditasi yang terfokus, mereka bisa mengumpulkan energi spiritual lebih cepat, yang nantinya akan berguna untuk mengaktifkan teknik-teknik tingkat tinggi.
Yuna membantu membimbing Mei Lin dalam meditasi. Dia duduk di sebelah Mei Lin, suaranya lembut saat memberi arahan. “Tarik napas dalam-dalam… biarkan aliran energi itu mengalir di tubuhmu… tenangkan pikiran, jangan biarkan ada yang mengganggu…” bisiknya dengan lembut.
Mei Lin menutup mata, mendengarkan dengan seksama instruksi Yuna. Perlahan, dia mulai merasakan aliran energi di tubuhnya, sesuatu yang terasa lebih nyata dari biasanya. Sesekali matanya berkerut, tapi dia terus mencoba.
Di sisi lain, Fei Rong terlihat agak kesulitan. Sifatnya yang ceria dan bersemangat bikin dia sulit untuk benar-benar fokus. Beberapa kali dia membuka matanya, melirik ke sekeliling. Setiap kali dia melakukannya, Zekki menghela napas sambil menegur dengan lembut, “Fokus, Fei Rong. Jangan biarkan pikiranmu melayang-layang. Ingat, kalau kau tidak bisa mengendalikan pikiran, kau tidak akan bisa mengendalikan energi.”
Fei Rong mengangguk, mencoba lebih keras untuk tetap tenang. Setelah beberapa kali gagal, akhirnya dia mulai merasakan sesuatu… meski masih samar.
Setelah meditasi, Zekki memperkenalkan teknik pengendalian energi tingkat lanjut. Kali ini, latihan mereka adalah membentuk bola energi kecil di telapak tangan. Terlihat sederhana, tapi bagi pemula, ini tantangan besar. Mereka harus memusatkan energi pada satu titik dan mempertahankannya agar stabil.
“Bayangkan energimu seperti aliran air,” kata Zekki sambil memperagakan. “Kumpulkan di pusat tubuhmu, lalu salurkan perlahan ke telapak tanganmu. Rasakan energi itu, bentuk menjadi bola kecil.”
Fei Rong menutup mata, mencoba sekuat tenaga mengikuti instruksi Zekki. Dia merasakan sedikit aliran energi di lengannya, tapi saat mencoba membentuk bola, konsentrasinya pecah, dan energi itu lenyap.
“Ah, gagal lagi!” serunya frustrasi, tapi matanya masih penuh tekad.
Di sebelahnya, Mei Lin juga mencoba dengan tekun. Dia menarik napas, memfokuskan energi perlahan-lahan ke telapak tangannya. Butuh beberapa menit, tapi akhirnya bola energi kecil mulai terbentuk, meski goyah dan nggak stabil.
Zekki tersenyum puas. “Bagus, Mei Lin. Kau sudah mulai memahami dasarnya. Latih terus untuk menjaga stabilitasnya.”
Fei Rong, yang melihat keberhasilan Mei Lin, merasa sedikit iri, tapi itu hanya membuatnya lebih semangat. “Aku juga bisa! Pasti bisa!” katanya penuh tekad, kembali mencoba dengan lebih fokus.
Sore itu, setelah berjam-jam latihan, Zekki mengumpulkan mereka semua di aula utama untuk memberi nasihat dan penyemangat.
“Kalian sudah bekerja keras hari ini, dan aku bangga pada kalian,” kata Zekki, menatap mereka satu per satu. “Tapi perjalanan kita masih panjang. Ancaman dari sekte-sekte besar akan terus ada. Mereka nggak akan berhenti sampai kita benar-benar lenyap, jadi kita harus selalu siap.”
Li Shen, yang biasanya tampak santai, kali ini terlihat serius. “Aku tahu, Zekki. Jalan ini memang nggak mudah, tapi aku percaya, bersama-sama kita bisa menghadapi apa pun,” katanya mantap.
Yuna ikut mengangguk, tatapannya penuh tekad. “Apa pun yang terjadi, aku akan selalu ada di sini, bersama kalian semua. Kita ini keluarga.”
Fei Rong dan Mei Lin, yang masih muda dan belum banyak pengalaman, merasa terinspirasi dengan kata-kata mereka. Meski kekuatan mereka masih jauh dari sempurna, sekte ini sudah jadi tempat di mana mereka merasa dihargai dan aman. Tempat di mana mereka bisa tumbuh tanpa rasa takut.
Fei Rong, yang biasanya penuh canda, tiba-tiba serius. “Aku janji, Tuan Zekki. Aku akan terus berlatih. Aku ingin bisa melindungi sekte ini, sama seperti kau melindungi kami.”
Mei Lin menatap Zekki, matanya menunjukkan tekad yang sama. “Aku juga, Tuan Zekki. Mungkin sekarang aku masih lemah, tapi aku akan berusaha sekuat tenaga. Sekte ini… adalah satu-satunya tempat yang percaya padaku.”
Zekki terdiam, merasa terharu. Dia menepuk bahu mereka satu per satu, sambil tersenyum lembut. “Bagus, Fei Rong, Mei Lin. Hati kalian adalah kekuatan terbesar kalian. Percayalah, kekuatan sejati datang seiring waktu dan ketekunan. Jangan pernah menyerah, dan ingat, kita di sini untuk saling mendukung.”
Malam itu, mereka semua duduk bersama di halaman sekte, menatap langit yang penuh bintang. Suasananya tenang, hanya terdengar suara angin yang berhembus. Dalam hening itu, masing-masing dari mereka merenung, memikirkan perjalanan yang sudah dilalui dan apa yang akan datang.
Li Shen memecah keheningan dengan tertawa kecil. “Kalian tahu nggak? Waktu pertama kali aku gabung di Sekte Naga Emas, aku cuma disuruh nyapu halaman selama sebulan penuh. Katanya biar belajar rendah hati. Tapi sebenarnya aku cuma dijadiin tukang sapu!” katanya sambil tertawa, nada suaranya penuh kelakar.
Fei Rong tertawa keras, membayangkan Li Shen yang besar dan tangguh menyapu halaman. “Wah, Kak Li mulai kariernya dari tukang sapu, ya? Lucu juga!”
Li Shen mengangguk sambil tersenyum. “Betul! Tapi aku belajar banyak dari situ. Dan sekarang, aku bersama kalian di Sekte Nusantara ini. Tempat ini lebih berharga dari semua itu.”
Zekki tersenyum melihat mereka. Di momen-momen seperti ini, dia merasa damai—sebuah kedamaian yang jarang ada di dunia kultivasi yang keras dan penuh ambisi. Sekte Nusantara mungkin masih kecil, tapi ikatan yang mereka miliki adalah kekuatan sejati mereka.
Yuna, yang sedari tadi hanya diam, akhirnya bicara. “Kalian tahu, aku selalu bermimpi hidup di tempat di mana orang-orang saling mendukung tanpa harus takut pada kekuasaan. Dan sekarang, aku di sini bersama kalian.”
Zekki menatap Yuna, merasa bersyukur memiliki sahabat-sahabat seperti mereka. “Terima kasih, Yuna. Aku juga merasa beruntung punya kalian semua di sini.”
Fei Rong mengangkat tangannya, menyela dengan semangat. “Ayo, kita buat janji bersama! Bahwa kita akan bertahan apa pun yang terjadi! Kita akan buat Sekte Nusantara jadi kuat, bukan karena kekuasaan, tapi karena persaudaraan!”
Mereka semua saling pandang, tersenyum, lalu mengangguk setuju. Dalam keheningan malam itu, mereka membuat janji yang sederhana tapi kuat: Sekte Nusantara akan jadi tempat di mana mereka bisa tumbuh, belajar, dan melindungi satu sama lain.
Malam itu, bintang-bintang di langit tampak lebih cerah, seolah ikut menyaksikan janji yang mereka buat. Jalan mereka masih panjang dan penuh tantangan, tapi bersama-sama, mereka yakin bisa menghadapi apa pun yang datang.
Dengan janji itu, Sekte Nusantara melangkah maju, lebih kuat dan lebih bersatu dari sebelumnya. Mereka siap menghadapi dunia, karena mereka tahu bahwa kekuatan sejati bukan hanya soal otot atau teknik, tapi juga tentang persahabatan, kepercayaan, dan tekad untuk saling melindungi.
datng duel pergi datang duel pergi hadehhhhhh
apa gak da kontrol cerita atau pengawas
di protes berkali kal kok gak ditanggapi
bok ya kolom komentar ri hilangkan