SPIN OFF PENGANTINKU, LUAR BIASA!
Tiger Sebastian, Ketua Mafia yang kejam, ambisius, pekerja keras dan pantang menyerah. Ia selalu bisa mendapatkan apa pun keinginannya dengan cara apa pun. Satu prinsipnya, nyawa harus dibayar dengan nyawa.
Status Cassanovanya harus berakhir karena dipaksa keluarganya menikahi Jihan, wanita yang hamil karena pernah dilecehkannya.
Tiger marah, kecewa namun tak bisa mengelak. Dia sama sekali tidak percaya bahwa itu adalah darah dagingnya. Jihan sudah kehilangan mahkotanya saat Tiger melakukannya.
Sesal membuncah ketika Tiger mengetahui kebenarannya. Namun terlambat, Jihan sudah pergi meninggalkannya. Yang mana, sudah mulai tumbuh benih-benih cinta di hatinya. Dia terus berusaha keras untuk menemukan istrinya.
Di tengah pencarian, Tiger juga mendapat serangan-serangan dari para musuhnya. Hingga tragedi besar terjadi.
Mungkinkah Tiger dan Jihan bisa bersatu kembali menjadi satu keluarga yang utuh? Yuk intip kisah mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sensen_se., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10. PENELUSURAN
Markas Blackstone....
Penjagaan tampak begitu ketat mulai dari pintu gerbang yang kokoh dan menjulang tinggi, suasana pun berubah tegang karena kedatangan sang ketua ke markas. Apalagi wajahnya saat ini terlihat kelam dan menyeramkan.
Selain emosi yang membuncah karena ada yang berani mengacaukan areanya, kekesalananya juga disebabkan karena Jihan yang berbicara seenaknya melalui telepon.
Satu orang yang sengaja dibiarkan selamat oleh Tiger, kini duduk meringkuk di hadapan Tiger. Tangan dan kakinya terikat kuat di sebuah kursi meski darah berceceran karena timah panas yang bersarang di sana, cairan merah itu terus mengalir deras menodai lantai berwarna putih.
Beberapa anak buah Tiger menodongkan senjata pada orang tersebut. Segala penutup muka sudah dibuka dengan paksa.
"Siapa yang mengutus kalian?" tanya Tiger penuh intimidasi. Tubuhnya sedikit mencondong ke depan membuat lelaki di hadapannya sedikit gusar dan bergetar.
Diam, hening, hanya deru napas kasar yang terdengar. Bahkan mungkin detak jantung lelaki itu juga bisa terdengar pula. Hawa dingin bagai di musim salju menguar di ruangan luas kedap suara.
Tatapan Tiger layaknya pisau tajam yang siap merobek mangsanya. Seringai kejam dan dingin pun semakin terlihat. Ia kembali merebahkan punggungnya, lalu menjentikkan jemarinya.
"Bawa ke sini!" titah Tiger masih menatap pria itu.
Seorang anak buahnya meletakkan sebuah koper berukuran besar di meja. Tiger menepuk-nepuk permukaan benda persegi itu. Lalu membuka kunci di sisi paling depan.
"Semua ini akan menjadi milikmu. Tapi katakan sejujurnya, siapa dalang penjarahan kapal saya?!" ucap Tiger menyodorkan koper tersebut tepat pada pria di depannya.
Pria itu sedikit menaikkan pandangannya. Ia bisa melihat tumpukan uang seratus ribuan yang menggunung. Lidahnya kelu, tenggorokan yang kering berusaha menelan saliva.
"Berapa yang kamu inginkan? Ini 10 Milyar. Apa perlu saya tambah lagi?" tawar Tiger dengan santai namun tetap saja terdengar menyeramkan karena saat ini dia sedang bermain dengan senjata api di tangannya.
Tubuh pria itu menegang, keringat dingin mengguyur seluruh tubuhnya. Bibirnya gemetar dengan warna yang pucat.
"Atau ...." Tiger menjeda ucapannya, satu tangannya menengadah hingga salah satu anak buahnya memberikan tablet yang layarnya cukup lebar.
"Kau memilih mereka kehilangan nyawa?" tunjuknya pada layar tersebut. Yang menunjukkan penyekapan anak dan istrinya. Mereka diikat dengan mulut yang disumpal. Sebuah pistol berada di pelipisnya.
Kedua mata pria itu membelalak lebar, dadanya bertalu dengan sangat kuat. "Ja ... ja ... jangan, Tuan! Jangan!" ucapnya penuh ketakutan.
Tiger tersenyum miring, lalu memutar bola matanya malas. "Lalu? Siapa bosmu?" ulang Tiger bernada ancaman.
Tegukan ludah laki-laki yang terikat itu terdengar sangat kasar. Seluruh tubuhnya terasa dingin, kedua tangannya terkepal dengan kuat.
"B-Blackblood," ungkap lelaki itu terbata-bata setelah beberapa saat.
"Oh! Klan Blackblood!" gumamnya dengan seringai tajam.
"Baiklah, terima kasih informasinya. Selamat jalan ke neraka bersama para keluargamu," ucap Tiger lalu menembaknya beberapa kali dengan sadis.
Semua anak buahnya hanya bisa menahan napas melihat kekejaman sang bos yang sama sekali tidak memiliki toleransi. Ia menoleh pada salah satu anak buahnya, "Habisi keluarganya. Hilangkan jejak!" tegasnya dengan tatapan mengerikan.
"Baik, Tuan!" sahutnya patuh lalu segera menghubungi rekannya yang stanby di sana.
Usai menyelesaikan semuanya, Tiger bergegas ke kantor utamanya. Ia sudah gerah karena belum mandi sejak bangun tidur lagi. Meskipun begitu, tak sedikitpun mengurangi pesonanya.
Terbukti ketika dia melenggang santai di area kantor, banyak pasang mata wanita yang terlihat begitu memujanya. Meski dia sama sekali tidak peduli. Tubuh kekar dan gagahnya membuat siapa pun ingin merasakan hangat dekapannya.
Tiger segera mandi setelah sampai di kantornya. Kejadian pagi ini sungguh menguras emosinya. Air dingin membasahi kepala hingga mengalir di seluruh bagian tubuhnya. Usai beberapa saat, dia keluar dari kamar mandi dan menuju ruangan kecil khusus untuk mengganti baju.
Kini napasnya bisa berembus lega. Ia segera membuka laptopnya untuk melakukan penelusuran pada klan yang dimaksud tadi.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Berhenti! Berhenti!" seru Jihan menepuk-nepuk kursi kemudi sehingga membuat Rico terkejut dan langsung menginjak rem mendadak.
"Rico! Bisa nggak sih kalem gitu nyetirnya!" cebik Jihan kesal.
"Maaf," gumam lelaki itu melirik dari pantulan cermin.
Jihan segera turun dari mobil. Kini ia berhenti di alun-alun yang berada di pusat kota. Jihan berjalan tertatih menuju sebuah kursi panjang di bawah pohon rindang.
Tangannya merentang di puncak sandaran kursi, kepalanya mendongak sembari menghirup napasnya dalam-dalam. Senyum tipis terukir di bibir merah mudanya.
Rico yang berada di belakangnya seketika ikut tersenyum. Ada sesuatu yang menggelitik hatinya melihat kecantikan alami dari perempuan itu. Tangannya menjulur hendak meraih daun kering yang jatuh di rambut panjang Jihan.
Seketika kedua matanya terbuka saat merasakan sentuhan di kepala. Ia melihat siluet bayangan Rico yang membelakangi sinar matahari.
Senyum Jihan memudar seketika, "Ngapain kamu senyum-senyum gitu?" celetuk Jihan menaikkan sebelah alisnya.
"Ah, enggak. Lucu aja, tadi nangis-nangis tiba-tiba senyum!" sahut pria itu.
Jihan menegakkan tubuhnya, ia lalu menepuk bangku kosong di sebelahnya. "Duduk sini, Ric!"
Rico membeku di tempat, ia menatap ragu perempuan itu. Jihan menoleh ke belakang lalu menarik lengan Rico agar duduk di sebelahnya. Mau tidak mau pengawal itupun menurut.
"Ric! Kamu bawa uang?" tanya Jihan.
Kening Rico seketika mengernyit, ia mengangguk, "Bawa, kenapa?" tanyanya penasaran.
"Kalau begitu beliin aku eskrim itu yang di sana. Aku pengen banget. Uuhh kayaknya seger deh," ucapnya menelan ludah sembari menautkan kedua tangan di depan wajah cantiknya.
Rico menggerakkan bola matanya, mengarah pada tempat yang ditunjuk oleh Jihan. Ia bisa melihat banyak pedagang yang berjualan di sana.
"Oke!" Tanpa bertanya lagi Rico segera beranjak dan berjalan ke sana. Jihan bertepuk tangan kegirangan. Ia kembali menikmati udara segar yang menguar di tempat terbuka itu. Rasanya sangat menenangkan juga menyenangkan bisa keluar dari kandang.
'Bocah!' gumam Rico di sela langkahnya.
Laki-laki itu berjalan dengan tegap dan waspada. Dia menghampiri pedagang eskrim. Tak berapa lama, dia kembali lagi tanpa membawa pesanan Jihan.
"Loh, mana eskrimnya, Ric?" tanya Jihan menegakkan duduknya. Raut wajahnya tampak kecewa saat tak melihat eskrim keinginannya.
Rico menunjuk dengan dagunya, kedua tangannya masuk ke dalam saku celana, "Tuh!" ucapnya.
Jihan memutar tubuh dan ia terkejut saat bersitatap dengan sang penjual eskrim beserta gerobaknya. "Ya ampun! Rico! Kasihan bapaknya kamu suruh jalan ke sini!" pekiknya.
"Tidak apa-apa, Neng. Rezeki nggak boleh ditolak," sahut penjual itu.
Sejak pernah merasakan hidup susah, Jihan mudah tersentuh dengan hal-hal kecil. Masa lalunya mampu merubah keangkuhan dan kesombongannya.
"Semua sudah saya bayar, pilih saja sesukamu!" jawab Rico meraih ponselnya.
"Astaga! Gila kamu ya. Masa iya aku habisin semua ini." Jihan menggelengkan kepala, tidak habis pikir dengan pengawalnya itu.
"Kasih aja semua rasa, Pak!" titah Rico yang segera diangguki oleh sang penjual.
Mendadak Jihan merasakan sedikit pusing, ia meluruskan kembali duduknya seolah pasrah dengan apapun yang dilakukan oleh Rico. Tiba-tiba Jihan tersentak saat Rico berjongkok di depannya.
"Hei! Mau ngapain kamu!" sentak Jihan melebarkan mata, bergerak cepat merapatkan kakinya menekan gaun di pahanya agar tidak ada celah sedikitpun.
Bersambung~
Heh ngapain ric? 🤨