Rahasia kelam membayangi hidup Kamala dan Reyna. Tanpa mereka sadari, masa lalu yang penuh konspirasi telah menuntun mereka pada kehidupan yang tak seharusnya mereka jalanin.
Saat kepingan kebenaran mulai terungkap, Kamala dan Reyna harus menghadapi kenyataan pahit yang melibatkan keluarga, kebencian, dan dendam masa lalu. Akankah mereka menemukan kembali tempat yang seharusnya? Atau justru terseret lebih dalam dalam pusaran takdir yang mengikat mereka?
Sebuah kisah tentang pengkhianatan, dendam, dan pencarian jati diri yang akan mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
NARASI Episode 17
Calista merasa tidak puas dengan jawaban Amanda. "Apa maksudmu? Kau tidak bisa mengatakan hal seperti itu tanpa menjelaskan lebih lanjut."
Amanda tersenyum tipis, lalu berjalan mendekati Calista. "Kau anak yang pintar, Calista. Jika kau benar-benar ingin tahu, kau harus mencari jawabannya sendiri."
Calista mengerutkan kening, hatinya dipenuhi kecurigaan. "Aku tidak suka permainan seperti ini, Amanda. Jika kau tahu sesuatu tentang kakakku, katakan saja."
Amanda menatapnya dalam-dalam, lalu menepuk pundak Calista pelan. "Percayalah, lebih baik kau tidak tahu segalanya. Terkadang, kebenaran hanya akan menyakiti."
Calista mengepalkan tangannya. "Aku tidak peduli seberapa menyakitkan itu. Aku hanya ingin tahu yang sebenarnya."
Amanda menghela napas, lalu kembali duduk di tepi ranjang. Ia menatap Calista seolah sedang mempertimbangkan sesuatu. "Baiklah. Aku akan memberimu sedikit petunjuk."
Calista menahan napas, menunggu kata-kata Amanda.
"Apa yang kau pikirkan tentang keberangkatan Faris ke luar negeri?" tanya Amanda.
Calista terdiam sejenak. "Aku... awalnya percaya dia benar-benar pergi. Tapi sekarang, aku mulai ragu. Sepertinya dia tidak pernah benar-benar meninggalkan negeri ini."
Amanda tersenyum samar. "Kau cukup cerdas untuk menyadarinya. Tapi itu baru permulaan."
Calista merasa jantungnya berdegup lebih kencang. "Apa maksudmu? Apa ada hal lain yang ia sembunyikan? Dan kenapa kau tidak mengatakan yang sebenarnya padaku?"
Amanda hanya tersenyum tipis. "Aku sudah memberimu cukup petunjuk, Calista. Jika kau cerdas, kau pasti bisa menemukan jawabannya sendiri."
Calista menghela napas panjang, matanya menajam. "Kau berbicara seolah-olah aku ini anak kecil yang harus menebak-nebak. Jika kau tahu sesuatu tentang Faris, kenapa tidak langsung mengatakannya?"
Amanda menyilangkan tangan di dadanya. "Karena ada hal-hal yang lebih baik kau temukan sendiri daripada mendengarnya dari orang lain. Kadang, mengetahui kebenaran secara langsung akan membuatmu lebih kuat."
Calista menatapnya penuh kecurigaan. "Atau mungkin, kau hanya takut mengatakan sesuatu yang bisa membahayakan dirimu sendiri?"
Amanda menegang sejenak, tapi ia segera kembali tersenyum, meskipun kali ini ada sedikit ketegangan di wajahnya. "Percayalah, Calista. Aku tidak akan mengatakan sesuatu yang bisa merugikan siapa pun, termasuk diriku sendiri."
Calista mengepalkan tangannya. Ia tahu Amanda menyembunyikan sesuatu. Tapi sepertinya, memaksanya bicara sekarang tidak akan berhasil.
"Baiklah," kata Calista akhirnya. "Kalau kau tidak mau bicara, aku akan mencari tahu sendiri."
Amanda hanya tersenyum tipis. "Semoga beruntung, Calista."
Tanpa berkata lagi, Calista berbalik dan keluar dari kamar Amanda dengan pikiran penuh teka-teki. Jika Faris memang tidak benar-benar pergi ke luar negeri, lalu ke mana dia selama ini?
Dan lebih penting lagi, apa yang sebenarnya sedang disembunyikan Amanda?
Dan ia akan mencari tahu, apapun risikonya.
******
Indira menatap kosong ke arah rumah-rumah tetangga dari atas balkon. Angin malam berhembus pelan, mengibarkan ujung gaunnya, tetapi pikirannya jauh melayang, lebih dingin dari udara di sekitarnya.
Ia menghela napas panjang, mencoba menghilangkan kepenatan yang menghimpit dadanya. Banyak hal yang berputar di kepalanya. Tentang Faris, tentang Calista, dan tentang semua kebohongan yang perlahan mulai terkuak.
"Apa yang sebenarnya terjadi di dalam rumah ini?" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar.
Indira tahu, ada sesuatu yang tidak beres. Ia bisa merasakannya, seperti bayangan gelap yang mengintai di sudut-sudut rumahnya. Dan entah mengapa, ia merasa semuanya berpusat pada Faris.
Tatapannya mengeras.
Tiba-tiba suara ponselnya berdering nyaring terdengar menggema di kesunyian malam.
Indira segera mengangkat panggilan itu, menempelkan ponsel ke telinganya.
"Halo?" suaranya terdengar waspada.
Di seberang, suara seorang wanita terdengar, dingin dan penuh tekanan. "Indira, kau harus lebih berhati-hati. Seseorang sedang mempermainkan keluargamu dari dalam."
Jantung Indira berdegup kencang. "Siapa ini? Apa maksudmu?"
Suara di telepon itu hanya tertawa pelan sebelum menyambung, "Buka matamu, Indira. Orang yang kau percayai mungkin bukan seperti yang kau kira."
Panggilan terputus begitu saja, meninggalkan Indira dalam kebingungan dan kecemasan yang semakin dalam.
"Siapa dia…?" gumamnya pelan, mencoba mencerna kata-kata yang baru saja didengarnya.
Siapa wanita itu? Dan apa maksudnya dengan seseorang sedang mempermainkan keluarganya dari dalam?
Pikirannya langsung melayang pada Faris, Calista… dan mungkin juga Seno. Tapi siapa di antara mereka yang menyembunyikan sesuatu darinya? Ataukah ini tentang seseorang di luar lingkaran keluarganya?
Indira mengepalkan tangannya. Ia tidak bisa mengabaikan peringatan itu begitu saja. Jika ada yang berniat menghancurkan keluarganya, ia harus mencari tahu siapa dalangnya sebelum semuanya terlambat.
Indira menatap sekeliling sejenak, apakah ada seseorang yang sedang mengawasi dirinya.
Hanya ada kekosongan, jalanan yang sunyi senyap.
Ia pun beranjak dari tempatnya berdiri, melangkah masuk ke dalam kamar dengan hati-hati.
Cahaya lampu temaram membuat bayangan tubuhnya jatuh ke lantai dengan samar. Di atas ranjang, Seno sudah terlelap, napasnya teratur dan wajahnya terlihat tenang, seolah tidak ada sesuatu yang mengganggunya.
Setelah perdebatannya yang panjang dengan Faris.
Indira berdiri di samping ranjang, menatap suaminya dalam diam. Ia ingin membangunkannya, ingin menceritakan tentang kegelisahan saat ini.
Namun, pikirannya segera menahannya.
"Tidak sekarang… besok saja," pikirnya.
Ia butuh waktu untuk mencerna semuanya, untuk menyusun kata-kata yang tepat. Jika benar ada seseorang yang mempermainkan keluarganya, ia harus mencari tahu lebih banyak sebelum mengatakan apa pun kepada Seno.
Dengan helaan napas panjang, Indira berjalan menuju sisi ranjangnya, duduk perlahan, dan menatap langit-langit kamar.
Malam ini terasa lebih panjang dari biasanya, dan mungkin. Dirinya tidak akan bisa berfikir dengan tenang, selama menanti hari esok yang entah akan baik-baik saja atau tidak.
******
Saat ini, di rumah sakit.
Affan berdiri di samping ranjang dengan gerakan hati-hati. Tatapannya lembut saat melihat Kamala yang tertidur pulas di kursi, kepalanya bersandar di tepi ranjang Reyna.
Tanpa banyak berpikir, Affan mengambil selimut dari sofa kecil di sudut ruangan dan perlahan menyelimutkan tubuh Kamala. Ia tidak ingin membangunkannya, wanita itu sudah terlalu lama berjaga untuk Reyna, dan sekarang adalah saatnya baginya untuk beristirahat.
Affan duduk di kursi di sebelah Kamala, memandang Reyna yang masih terbaring dalam tidurnya. Gadis kecil itu terlihat lebih baik dibanding sebelumnya, meskipun tidak lagi pucat.
Pelan-pelan, Affan menggeser posisinya agar lebih nyaman, lalu menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. Matanya menatap langit-langit ruangan, pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan.
Siapa sebenarnya orang-orang yang mengincar Reyna dan Kamala? Kenapa mereka begitu ingin menyingkirkan mereka berdua?
Affan tidak pernah menyangka bahwa keterlibatannya dalam hidup Kamala dan Reyna akan membawanya ke dalam situasi yang penuh bahaya.
Tapi ia tidak peduli dengan hal itu, karena sejak pertama kali bertemu dengan mereka, hatinya terketuk untuk melindunginya dari bahaya dunia luar yang begitu kejam. Bagi seorang perempuan yang berkeliaran di jalanan.
Tiba-tiba, suara ponsel Affan bergetar di saku celananya. Dengan cepat ia mengeluarkannya dan melihat layar. Sebuah pesan masuk dari nomor pak Wawan, yang berisikan tentang barang yang ada di toko, kapan akan di kirim.
Affan menghela napas lega saat membaca pesan itu.
"Besok pagi, aku akan mengurus semuanya. Pastikan tidak ada masalah dengan pengiriman."
Setelah mengirim pesan, Affan kembali menyimpan ponselnya di saku. Ia menoleh ke arah Kamala yang masih tertidur, lalu mengusap wajahnya sendiri dengan lelah.
Dalam beberapa hari terakhir, hidupnya terasa jauh lebih rumit dari yang ia bayangkan. Ia tidak hanya harus menjaga toko dan urusan bisnisnya, tetapi juga menghadapi ancaman yang mengintai Kamala dan Reyna.
Affan menatap Reyna yang masih terbaring lemah. Gadis kecil itu tidak seharusnya mengalami semua ini. Ia berhak mendapatkan kehidupan yang lebih baik, jauh dari bayang-bayang penderitaan.
Tiba-tiba, Reyna bergerak sedikit dalam tidurnya, alisnya mengerut seolah sedang bermimpi buruk. Bibirnya bergerak pelan, menggumamkan sesuatu yang tidak jelas.
Affan segera mendekat, mencoba mendengar apa yang dikatakan Reyna.
"...tolong... jangan..." suara Reyna sangat pelan, hampir seperti bisikan.
Affan merasa ada yang tidak beres. Ia meletakkan tangannya di atas tangan kecil Reyna, mencoba menenangkannya.
"Reyna?" panggilnya lembut.
Gadis kecil itu tidak membuka matanya, tapi tubuhnya sedikit menggeliat.
"Jangan... aku tidak mau kembali... tolong..." suara Reyna terdengar semakin gelisah.
Affan semakin mengerutkan kening. Apa yang sebenarnya sedang dialami gadis kecil ini dalam tidurnya?
Ia melirik ke arah Kamala, memastikan wanita itu masih tertidur. Jika ia membangunkannya sekarang, Kamala pasti akan panik dan tidak bisa beristirahat.
Affan kembali menatap Reyna, lalu dengan hati-hati mengusap puncak kepalanya.
"Kau aman, Reyna. Tidak ada yang akan membawamu kemana-mana" bisiknya, meskipun ia sendiri tidak tahu persis apa yang dimaksud oleh gadis kecil itu.
Reyna perlahan berhenti menggeliat, meskipun napasnya masih sedikit tersengal.
Affan tetap berada di sampingnya, menunggu hingga gadis kecil itu benar-benar tenang.