Dewasa🌶🌶🌶
"Apa? Pacaran sama Om? Nggak mau, ah! Aku sukanya sama anak Om, bukan bapaknya!"
—Violet Diyanara Shantika—
"Kalau kamu pacaran sama saya, kamu bakalan bisa dapetin anak saya juga, plus semua harta yang saya miliki,"
—William Alexander Grayson—
*
*
Niat hati kasih air jampi-jampi biar anaknya kepelet, eh malah bapaknya yang mepet!
Begitulah nasib Violet, mahasiswi yang jatuh cinta diam-diam pada Evander William Grayson, sang kakak tingkat ganteng nan populer. Setelah bertahun-tahun cintanya tak berbalas, Violet memutuskan mengambil jalan pintas, yaitu dengan membeli air jampi-jampi dari internet!
Sialnya, bukan Evan yang meminum air itu, melainkan malah bapaknya, William, si duda hot yang kaya raya!
Kini William tak hanya tergila-gila pada Violet, tapi juga ngotot menjadikannya pacar!
Violet pun dihadapkan dengan dua pilihan: Tetap berusaha mengejar cinta Evan, atau menyerah pada pesona sang duda hot?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. Getaran Hati
Setelah kejadian tadi, makan siang mereka berlangsung dalam keheningan yang canggung. Violet, yang biasanya cerewet, kini lebih banyak fokus pada makanannya, sementara William berusaha menenangkan pikirannya yang kacau.
Entah kenapa, suasana di antara mereka terasa begitu aneh.
Violet juga merasakannya. Ada sesuatu yang bergetar di dadanya, membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia menggigit bibir, teringat detik-detik saat William tanpa ragu mengusap bibirnya. Tapi dengan cepat ia menggeleng, berusaha mengabaikan perasaan aneh itu.
Ya ampun, aku kenapa sih? batinnya gelisah.
Begitu selesai makan, William langsung memanggil pelayan untuk meminta bill. Violet hanya terdiam, lidahnya terasa kelu untuk bicara. Sesekali, ia mencuri pandang ke arah pria itu. Biasanya, ia akan langsung mengoceh panjang lebar, mengomentari apapun yang dilakukan William. Tapi kali ini, anehnya, ia tidak bisa.
Ketika mereka keluar dari restoran, William membuka pintu untuk Violet, tapi tetap berusaha menjaga jarak tanpa menatap gadis itu sama sekali. Setelah masuk ke dalam mobil, pria itu memasang seatbelt tanpa sepatah kata pun. Violet, yang duduk di sampingnya, ikut melakukan hal yang sama.
Mereka melanjutkan perjalanan dalam keheningan.
Hanya ada suara mesin mobil yang terdengar. Tidak ada obrolan, tidak ada celetukan usil dari Violet seperti biasa. Keduanya tenggelam dalam isi pikiran masing-masing.
Hingga akhirnya, mobil William berhenti di depan kosan Violet. Suasana masih tetap hening.
Violet menghela napas panjang, berusaha membuka pembicaraan.
“Eng… makasih ya, Om, buat tumpangannya. Besok aku—”
“Besok kamu nggak usah ke kantor saya dulu,” potong William cepat, masih tanpa menoleh ke arahnya.
Violet mengernyit. “Eh? Emang kenapa, Om?”
“Besok saya ada kerjaan di luar kota, jadi seharian nggak ada di kantor.”
“Oh…” Violet mengangguk. “Kalau gitu aku ke kantor sendiri aja Om,”
“Jangan!” William menggeleng cepat.
Violet menoleh ke arahnya, bingung. “Kenapa?”
William menghela napas. Membiarkan Violet datang ke kantornya sendirian dan membiarkan para pria brengsek menggodanya di saat William tidak ada? Itu jelas bukan sesuatu yang bisa ia biarkan.
“Pokoknya nggak usah,” ucapnya, berusaha menjaga nada suara tetap tenang. “Banyak barang berharga di sana. Saya nggak bisa membiarkan kamu ada di sana sendiri tanpa pengawasan.”
Dahi Violet berkerut. “Maksudnya Om takut aku mencuri di kantor?”
William akhirnya menoleh ke arah Violet, ingin menjelaskan, tetapi begitu melihat bibir gadis itu lagi, pikirannya langsung buyar. Ia buru-buru memalingkan wajah.
“Bukan begitu maksud saya,” katanya, berusaha terdengar masuk akal. “Kita kan nggak tahu apa yang bisa terjadi. Takutnya kalau beneran ada yang hilang, nanti kamu yang dituduh.”
“Oh…” Violet menggaruk tengkuknya, mengingat kejadian saat ia pertama kali bersih-bersih di apartemen William dan tanpa sengaja membuat pria itu rugi dua ratus juta. “Iya juga, sih.”
William mengangguk. “Jadi, sampai saya hubungi lagi, kamu nggak usah kerja dulu.”
Violet mengangguk, tetapi ekspresinya langsung berubah kecewa. “Yah, jadi aku nggak bisa nebeng Om ke kampus, dong?”
William terkekeh. Kemudian, ia mengeluarkan sebuah kartu dan menyerahkannya pada Violet.
“Besok kalau naik taksi, bayar pakai ini.”
Violet menatap kartu itu dan langsung terbelalak. “Eh? Ini kan kartu kredit! Kenapa dikasih ke aku, Om?”
“Nggak apa-apa, saya kelebihan kartu kredit,” jawab William santai. “Terus, kalau naik taksi, foto dulu plat mobilnya, kirim ke saya.”
“Buat apa?”
“Alasan keamanan,” sahut William pendek.
“Oh… gitu ya.” Violet mengangguk. “Oke, makasih ya, Om.”
“Hm.”
William masih enggan menatapnya, membuat Violet merasa ada yang aneh dengan gerak-gerik pria itu.
Ia menyipitkan mata. “Om.”
“Hm.”
“Om.”
“Apa?” William tetap menatap lurus ke depan.
“Om.”
William mendecak dan akhirnya menoleh. “APA?”
Namun detik itu juga, ia langsung menyesali keputusannya.
Karena Violet sekarang tepat di hadapannya, mencondongkan tubuh. Wajah mereka begitu dekat. Terlalu dekat.
Jantung William langsung berdegup kencang.
Sial.
Gadis itu tersenyum manis, sama sekali tak sadar bahwa dirinya telah berhasil mengguncang hati pria di depannya itu. “Makasih banyak ya, Om.”
Lalu begitu saja, Violet keluar dari mobil, meninggalkan William yang masih terpaku di tempatnya.
“…Sial, sial, sial!” umpat William sambil memukul setir.
...----------------...
Sementara itu, Violet berjalan masuk ke dalam kosannya dengan pikiran melayang. Kejadian tadi, saat William menyentuh bibirnya, terus berputar di kepalanya.
Dan selama membayangkan itu, jantungnya terasa berdetak lebih cepat dari biasanya.
“Wah, gila… kenapa aku jadi deg-degan begini sih? Apa aku kena darah tinggi gara-gara makan steak?” gumamnya sambil memegang wajahnya sendiri.
Wajahnya terasa panas.
“Astaga… kenapa rasanya begini? Apa aku sakit?”
Sambil terus berpikir, Violet berbelok menuju kamarnya. Namun, alangkah terkejutnya ia ketika melihat seseorang berdiri di depan pintunya, mengintip ke dalam.
Alisnya bertaut.
“Mas Tono?”
Tono yang sedang mengintip ke dalam kamar tersentak.
“Eh, Neng Violet! Udah pulang?” katanya dengan nada gugup.
Violet berjalan mendekat dengan curiga. “Mas Tono ngapain?”
“Ah…” Tono tampak gelagapan. “Tadi itu saya lihat… tikus! Iya, ada tikus masuk ke sela-sela pintunya Neng Violet!”
Violet langsung pucat. “Hah? Yang bener, Mas?”
“Iya… makanya saya coba ngintip, takutnya masih ada.”
“Ya ampun, Mas! Tolong dong usirin! Aku takut sama tikus!”
“Oh iya, Neng, kalau gitu tolong buka pintunya.”
Tanpa curiga, Violet buru-buru membuka pintu.
Di belakangnya, pria itu tersenyum puas.
Sesungguhnya, ini bukan pertama kalinya Tono masuk ke kamar Violet. Diam-diam, ia sudah memiliki kunci duplikat kamar Violet dan sering masuk tanpa sepengetahuan gadis itu. Tapi sekarang, situasinya jauh lebih menyenangkan. Karena kali ini, Violet sendiri lah yang membiarkannya masuk.
Dengan berpura-pura mencari tikus, Tono menghirup udara dalam-dalam, menikmati aroma kamar Violet yang lembut. Diam-diam, ia menyemprotkan parfum ke tisu bekas yang ada di meja, lalu menyimpannya di saku.
“Sudah nggak ada, Neng,” katanya beberapa saat kemudian.
“Beneran, Mas?” Violet masih ketakutan di luar.
“Beneran. Kalau nggak percaya, coba dicek sini.”
Ragu-ragu, Violet masuk dan ikut memastikan.
Tono, yang berdiri di belakangnya, mencuri kesempatan untuk menikmati aroma Violet dari dekat. Tapi tak berselang lama, ia mengernyitkan dahi karena hidungnya menangkap bau yang lain.
Bau parfum yang sangat maskulin.
Sudah jelas bukan milik Violet.
Mata Tono menyipit, lalu menyadari asal aroma itu berasal dari jas yang tergantung di pinggang Violet.
Wajahnya mengeras. Hatinya langsung terasa mendidih.
Siapa pria itu? Batinnya geram. Aku ingin menghabisinya.
ngakak brutal ya allah
"mertuaku, mantan musuh bebuyutan ku..
atau
"mertuaku, besty SMA ku?
kalau sempat tau, habis kau om jadi dendeng balado..🤣🤣🤣
dia jujur gak tu depan bapak nya si cowok..😭😭