Pernikahannya dengan Serka Dilmar Prasetya baru saja seminggu yang lalu digelar. Namun, sikap suaminya justru terasa dingin.
Vanya menduga, semua hanya karena Satgas. Kali ini suaminya harus menjalankan Satgas ke wilayah perbatasan Papua dan Timor Leste, setelah beberapa bulan yang lalu ia baru saja kembali dari Kongo.
"Van, apakah kamu tidak tahu kalau suami kamu rela menerima Satgas kembali hanya demi seorang mantan kekasih?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 Vanya Semakin Patah Hati
Vanya menangis kembali di kamarnya, tepatnya di kamar dalam rumah mertuanya. Rasa sakit dan kecewa itu lagi-lagi menghimpit dadanya. Semakin jauh keberadaan suaminya, justru semakin jauh cintanya kini ia rasakan. Rasanya Vanya tidak sanggup lagi menjalani hidup seperti ini.
"Ceraikan saja Vanya, abang. Ceraikan daripada harus disakiti seperti ini," ucapnya tertahan sembari menghempas bantal di atas kasurnya. Vanya menangis, tapi dia menahan isakannya supaya tidak terdengar keluar kamar.
Dadanya semakin sesak, Vanya tidak menyangka pernikahan yang baru beberapa bulan ini sudah mendapat cobaan yang berat menurutnya. Padahal mereka awal berjumpa saling suka sama suka, sampai mereka memutuskan bertunangan dan menikah hanya dalam waktu setahun dekat.
Vanya mengepal kedua tangannya erat-erat, melampiaskan perasaan sedihnya, kemudian memukul-mukul bantal dengan sekuat tenaganya. Semua seperti tidak adil baginya. Hatinya terluka, tapi dia tidak tahu harus ke mana mengadu. Vanya tidak lupa dengan Tuhannya, tapi Vanya juga butuh seseorang untuk dirangkulnya kemudian menumpahkan semua kecewanya di sana.
Mengadu pada ibu atau adik perempuan yang masih SMK, itu tidak mungkin, karena Vanya bukanlah sosok perempuan muda yang senang membebani pikiran orang-orang terdekatnya. Atau mengadu pada Vero, sosok adik laki-laki yang selalu berbakti pada ibu dan mengayomi Vela adik semata wayangnya? Itu juga tidak mungkin Vanya lakukan. Dia tidak mau membebani pikiran bersih sang adik laki-laki dengan beban yang saat ini dirasakannya.
Foto ciuman antara suami dan Suster itu kini dalam tatapan tajamnya, ia tidak terima diperlakukan seperti ini. Ini seperti hantaman berat baginya ketika dia masih mempertahankan kesetiaan dan cintanya terhadap suaminya. Tapi, Dilmar justru berkencan dengan perempuan lain.
"Kenapa abang lakukan ini, Bang? Secepat itu abang berpaling hanya karena kembali dipertemukan dengan mantan abang yang perawat itu? Abang tega menyakiti Vanya, abang tega, abang jahat," umpatnya lagi seraya melempar semua yang ada di atas ranjang ke dasar lantai. Vanya semakin tidak terbendung, dadanya sangat sakit.
"Non Vanya, disuruh ibu segera keluar untuk makan malam. Ibu dan bapak sudah menunggu di ruang makan," beritahu Bi Jumsih mengetuk pintu.
Vanya menoleh ke arah pintu yang sudah ia kunci tadi. Tapi ia tidak bermaksud menyahut Bi Jumsih. Jangankan keluar kamar, menemui Bi Jumsih di depan pintu kamar saja rasanya tidak sanggup, karena Vanya tidak ingin memperlihatkan wajahnya yang bengkak dan sembab.
"Non, Non Vanya," panggil Bi Jumsih lagi diselingi mengetuk pintu.
"Saya saja Bi, saya sudah mengantuk." Terpaksa Vanya berbohong pada Bi Jumsih, karena Bi Jumsih memanggilnya terus.
Suara Bi Jumsih tidak terdengar lagi, sepertinya ia telah kembali menuju ruang makan.
"Non Vanya bilangnya ngantuk, Bu. Saya sudah mengetuk beberapa kali," lapor Bi Jumsih membuat Bu Sonia dan Pak Harun heran.
"Kok tumben Vanya tidur jam segini, biasanya tidak. Coba, samperin, Ma. Jangan-jangan Vanya sedang ada masalah," usul Pak Harun merasa heran.
Bu Sonia bangkit dari kursinya lalu menuju kamar Vanya. Di sana Bu Sonia mengetuk pintu beberapa kali. Perlahan pintu itu dibuka setelah beberapa kali diketuk Bu Sonia.
"Vanya, kamu sedang maskeran? Kenapa tidak makan malam dulu? Tadi kada Bi Jumsih, kamu sudah ngantuk. Makanlah dulu, biar perutmu tidak lapar saat tidur nanti," ajak Bu Sonia.
"Mama dan papa duluan saja, Sonia belum bisa melepas masker ini karena ini masih baru," tolak Vanya dengan dalih sedang maskeran yang belum bisa dilepas.
Bu Sonia tertegun mendengar alasan Vanya, suara Vanya yang sedikit berbeda membuat Bu Sonia menduga kalau Vanya habis menangis.
"Vanya, kamu sedang tidak ada masalah, kan?" telisik Bu Sonia seraya menatap wajah Vanya dalam. Vanya segera menunduk dan menyembunyikan bulir yang sejak tadi seakan mendorongnya untuk keluar.
"Tidak ada, Ma. Vanya tidak ada masalah apa-apa. Biarkan Vanya nanti makannya menyusul setelah maskernya dibersihkan," ujar Vanya lagi berharap mertuanya ini cepat pergi.
"Baiklah, kalau begitu mama sama papa makan malam duluan. Kamu, nanti jangan lupa makan juga, ya." Bu Sonia berlalu dari depan pintu kamar Vanya. Vanya sedikit lega dan kembali menutup pintu.
"Mbak Sisi, bisa kita bertemu besok?" Vanya mengirimkan pesan WA pada Sisi setelah ia menutup pintu kamarnya.
Tanpa menunggu lama, pesan WA Vanya terbalas. Sisi menyetujui permintaan Vanya. Kebetulan besok dia libur kerja.
Besoknya Vanya meminta ijin pada Bu Sonia untuk pergi jalan-jalan, berhubung hari ini libur di toko. Karena toko milik Bu Sonia libur setiap Minggu.
"Ma, boleh tidak hari ini Vanya pergi jalan-jalan bersama teman?" ucapnya meminta ijin.
Wajah Vanya yang sendu dan suara yang ragu, membuat Bu Sonia curiga dengan keadaan Vanya. Mungkinkah menantunya ini sedang ada masalah.
"Pergilah. Memangnya kamu pergi dengan siapa? Hati-hati, di jalan. Dan jangan ngebut motornya, ya." Bu Sonia memberikan ijinnya tapi dengan hati yang penuh tanya.
"Baik, Ma. Terimakasih." Vanya meraih tangan mertuanya lalu menciumnya sebelum ia benar-benar pergi.
Wajah Vanya yang sedih saat meminta ijin tadi, membuat Bu Sonia gusar dan curiga. Bu Sonia akan mencoba mencari tahu pada Dilmar, tapi Bu Sonia bingung harus menghubungi Dilmar, sebab untuk menghubungi Dilmar, jarang sekali panggilannya bisa nyangkut.
Vanya kini sudah bertemu Sisi di sebuah taman di kota itu. Sisi sengaja mengajak Vanya janjian di sana. Mereka duduk menghadap sebuah wahana air mancur yang di bawahnya dipenuhi para pengunjung yang berfoto dengan latar belakang air mancur tersebut.
"Van, kamu yang sabar, ya. Mbak jadi merasa tidak enak setelah mengirimkan foto itu sama kamu. Sungguh, Mbak bukan bermaksud menjatuhkan mental kamu. Tapi, jujur mbak itu tidak mau kamu dibohongi seperti ini oleh suami kamu. Mumpung masih baru dan masih bisa diperbaiki, kenapa nggak. Walau pada kenyataannya sakit, tapi mbak terpaksa mengirimkan bukti itu sama kamu. Sekali lagi mbak minta maaf," urai Sisi seraya menatap Vanya yang sudah berurai air mata.
Vanya merangkul Sisi dan menangis di sana sepuasnya. Sisi membiarkan Vanya menumpahkan semua luka hati dan sesak di dadanya di bahunya.
Setelah beberapa menit, tangisan Vanya reda, tapi masih ada isaknya yang sesekali terdengar. "Vanya harus apa Mbak menyikapi hal ini? Vanya juga ingin menghubungi Bang Dilmar dan rasanya ingin ngamuk memarahinya, tapi Vanya tidak punya keberanian." Vanya berkata masih disertai isak.
"Kamu harus bahagia Vanya, kamu harus tunjukkan bahwa kamu saat ini sedang bahagia. Kamu balas perbuatannya dengan se-elegan mungkin. Contohnya, diamkan suami kamu tanpa pernah kamu kasih kode cinta atau kode apapun. Jangan sekali-kali hubungi atau angkat telponnya jika dia menghubungi. Lalu perbanyak bikin status yang seolah kamu sama sekali tidak sedang memiliki hubungan dengan siapa-siapa termasuk suami kamu. Cara ini pernah mbak lakukan saat A Roby sering membuat mbak patah hati, tapi A Roby melakukan itu saat kami masih pacaran," jelas Sisi memberi tips-tips untuk membalas Dilmar secara elegan menurutnya.
"Apakah Vanya sanggup tersenyum bahagia, sedangkan hati menangis terluka?"
"Kamu harus sanggup. Kamu pura-pura sedang happy demi membuat suamimu menyesal karena telah mengkhianati cintamu. Kamu abaikan saja suami kamu, anggap dia tidak ada. Itupun kalau kamu sanggup berpura-pura," ujar Sisi lagi membuat Vanya semakin dilanda bingung.
nyesel atau marah sama Vanya....
lha gmn tidak ..ms Vanya masih kepikiran takut kalau gigi Dilmar ompong ...😁
𝗅𝖺𝗇𝗃𝗎𝗍 𝗒𝖺 𝗄𝖺