Nabila Althafunisa tiba-tiba saja harus menikah dengan seorang pria bernama Dzaki Elrumi Adyatama, seorang pria yang usianya 10 tahun lebih muda darinya yang masih berstatus mahasiswa di usianya yang sudah menginjak 25 tahun. Dzaki tiba-tiba saja ada di kamar hotel yang Nabila tempati saat Nabila menghadiri pernikahan sahabatnya yang diadakan di hotel tersebut.
Anehnya, saat mereka akan dinikahkan, Dzaki sama sekali tidak keberatan, ia malah terlihat senang harus menikahi Nabila. Padahal wanita yang akan dinikahinya itu adalah seorang janda yang memiliki satu putra yang baru saja menjadi mahasiswa sama seperti dirinya.
Siapakah Dzaki sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalalati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19: Protektif
Hal ini memang selalu terjadi sejak Hazel masih SMP jika ia membawa teman-temannya ke rumah. Dan ia benar-benar tidak suka saat ada teman-temannya yang memperlakukan atau berbicara seakan sang ibu adalah seorang perempuan muda yang belum menikah.
"Iya sih. Abis nyokap lu..." Refan hampir keceplosan akan menyebut ibu dari temannya itu memang masih terlihat cantik dan awet muda sekali. Sama sekali tidak ada yang menyangka wanita itu sudah memiliki anak berumur 18 tahun. Wajar para kaum adam tak bisa untuk tidak memperhatikannya. "Gak jadi..." Refan terkekeh canggung setelah Hazel menghadiahinya tatapan tajam.
Tiba-tiba seseorang menyadari Dzaki yang sudah berada di tangga. "Eh, Bang, dari mana lu, kita udah beres makannya," ujarnya. Dzaki pun menaiki tangga.
"Sorry barusan gua nyari rokok dulu. Gak pakai motor, jalan gua. Jadi lumayan jauh ke depan jalannya," dusta Dzaki seraya melepas jaket kulit hitamnya.
"Bang Dzaki, nih udah gua pisahin makannya. Makan dulu aja, Bang." Hazel memberikan sepiring makanan yang sudah dipisahkannya tadi kepada Dzaki yang kini duduk lesehan di ruangan depan balkon.
Dzaki menerimanya seraya mengusak rambut Hazel, "thanks."
"Lu kayak gua anak kecil aja, Bang," protes Hazel membetulkan rambutnya yang diusak oleh Dzaki.
Farhan menghampiri Dzaki yang kini sedang memakan nasi liwetnya. Ia tersenyum penuh arti seraya mengendus Dzaki dan menyentuh rambut dan tangan Dzaki yang terasa agak dingin.
"Apaan sih lu, Bro?" tanya Dzaki keheranan dengan tingkah sahabatnya.
Farhan terkekeh seraya berbisik di telinga Dzaki. "Ketahuan lo. Masa abis jalan beli rokok ke depan komplek wangi sabun dan shampo begini. Udah lu melepas rindu sama istri tercinta?"
Sontak Dzaki menghadiahi Farhan sebuah tatapan tajam.
"Bercanda, Bro," ujar Farhan. "Okay gua diem."
Setelah Dzaki makan, Hazel berinisiatif menghampirinya. "Bang sama gua aja." Ia mengambil alih piring kotor dari tangan Dzaki.
Namun di saat yang tepat, Dzaki menolaknya. "Udah lu di sini aja. Gua simpen sendiri ke bawah."
"Tapi Bang..."
Dzaki tersenyum tipis dan menepuk punggung Hazel pelan. "Gak apa-apa."
Dzaki pun menuruni tangga dan masuk ke dapur. Ia melihat Nabila tengah mencuci piring. "Perlu bantuan?"
Nabila menoleh dan terkejut bukan main. "Mas ngapain ke sini lagi?" tanya Nabila dengan suara berbisik.
"Aku bantu ya," tawar Dzaki berdiri di sebelah Nabila dan mengambil alih spons.
"Mas, gak usah. Nanti Hazel lihat gimana?" Nabila resah.
"Gak akan apa-apa, Yang. Aku 'kan cuma mau bantu cuci piring. Lagian ART kamu kemana? Lagi pergi?" tanya Dzaki seraya menggosok piring-piring kotor itu.
"Aku udah gak pakai ART, Mas. Semenjak Hazel SMP, terus bibinya berhenti dan gak nemu lagi ART yang 'sreg' sama aku, jadi udah aja semua dihandle sendiri."
"Cape dong, Yang."
"Gak cape, kok. Justru aku sama Hazel jadi ada waktu ngobrol bareng, karena biasanya di hari-hari biasa aku sibuk kerja, Hazel juga sekolah. Jadi kalau akhir pekan aku sama Hazel bersihin semua sudut rumah sampai bersih semua. Setelah itu biasanya kita makan di luar," jelas Nabila sambil membilas piring yang sudah Dzaki gosok.
"Quality time banget keluarga kecil aku. Gak sabar gabung sama kalian."
"Sama, Mas. Seru kayaknya nanti kita jadi bertiga."
"Makanya cepet ya kasih tahu Hazel tentang kita," pinta Dzaki.
"Iya, Mas. Sabar ya, aku pasti cepet kasih tahu Hazel. Mas gimana PDKT sama Hazelnya? Kira-kira dia seneng gak ketemu sama Mas lagi?"
"Seneng sih kayaknya. Tapi karena dia udah gede kali ya, jadi gak heboh kayak dulu."
"Hazel emang tumbuh jadi anak yang pendiem, Mas. Dia lumayan susah buat deket sama orang. Tapi sekalinya deket, dia bakal ceritain semuanya."
"Iya sih, kelihatan. Tapi kamu bener, Yang. Hazel protektif banget sama kamu. Wajar sih, kamu sering disangka kakaknya dia, sama kayak aku dulu. Sekarang dia udah gede ditambah gak ada sosok ayah, jadi aja dia ngerasa harus jagain kamu."
"Sekarang Mas ngerti 'kan kenapa kita harus pelan-pelan. Gak mudah buat Hazel nerima pernikahan kita ini, Mas."
"Iya, Sayang. Aku ngerti. Pokoknya kamu tenang aja, aku bakal deketin Hazel sampai dia bisa deket sama aku."
"Semangat ya, Mas."
"Sini," pinta Dzaki.
Dengan bingung Nabila mendekat dan seketika Dzaki mengecup puncak kepala Nabila.
"Mas..." Nabila langsung melihat ke arah tangga. "Kalau ada yang lihat gimana?"
"Gak akan, Yang. Oh iya buat kita pergi besok, kamu udah bilang sama Hazel?"
"Udah. Aku bilang aku ada acara ketemuan sama Gina, Melly, dan Vira."
"Sip. Kalau gitu kita ketemu di rumah aku langsung ya?"
"Iya. Mas tunggu di rumah aja. Oh ya, Mama sama Papa Mas sukanya apa? Nanti aku pengen bawain sesuatu."
"Cieeee. Pengen punya kesan baik nih di depan mertua," goda Dzaki.
"Ya harus dong, Mas." Nabila salah tingkah.
"Dasar kamu gemesin."
"Mas aku bukan bayi, kok gemes?"
Dzaki terkekeh gemas melihat sang istri yang cemberut. "Oh iya, kalau aku ketemu keluarga kamu kapan dong, Yang?"
"Kalau Hazel udah tahu. Tapi nanti Mas aku ajakin ketemu sama ibu aku. Senggaknya ibu harus ketemu sama suami baru aku, sebelum yang lainnya."
"Kapan Yang?"
"Secepatnya, Mas. Nanti aku kabarin ya."
Kemudian setelah beberapa saat, piring-piring pun sudah selesai dicuci. Dzaki kembali ke atas, sedangkan Nabila ke kamarnya.
Sore hari para sahabat Hazel menuruni tangga, mereka akan pulang. Mereka semua berjalan menuju ke pintu utama. Refan dan Farhan berjalan bersama sambil mengobrol.
Tiba-tiba Refan berhenti melangkah saat matanya menangkap sebuah foto yang tergantung di dinding ruang tamu. Di belakang mereka, Dzaki yang berjalan di belakang mereka ikut berhenti dan menatap foto itu. Foto itu adalah foto keluarga saat Hazel masih kelas 1 SD bersama kedua orang tuanya.
"Bang," panggil Refan pada Farhan. "Bokapnya si Hazel mukanya tua banget. Tapi kok bisa dapetin nyokapnya yang cantik abis itu."
Farhan pun menanyakan hal yang sama dalam hati, namun ia tak mengungkapkannya.
"Dont judge a book by its cover."
Tiba-tiba ketiganya menoleh dan melihat Hazel di belakang mereka menatap tajam pada mereka.
"Eh, Zel maksud gua gak gitu," ujar Refan menyesal.
Dzaki tak luput dari tatapan Hazel yang menusuk. 'Ah, sial banget si Refan. Gua jadi ikut-ikutan kena getahnya,' gumam Dzaki dalam hati.