Demi menghindari bui, Haira memilih menikah dengan Mirza Asil Glora, pria yang sangat kejam.
Haira pikir itu jalan yang bisa memulihkan keadaan. Namun ia salah, bahkan menjadi istri dan tinggal di rumah Mirza bak neraka dan lebih menyakitkan daripada penjara yang ditakuti.
Haira harus menerima siksaan yang bertubi-tubi. Tak hanya fisik, jiwanya ikut terguncang dengan perlakuan Mirza.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadziroh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melawan
Haira bingung dengan apa yang harus dilakukan. Dia hanya dianggap pelayan oleh Tuan Mirza. Namun, ia harus melakukan semua pekerjaan sebagai seorang istri. Menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan suaminya.
"Eh, apa ini?" Haira membolak-balikkan benda yang ada di tangannya. Itu adalah ce lana da-lam berwarna maroon dari keranjang kotor yang ada di kamar Mirza.
Ah, bodo amat, ia harus mencuci lalu mengeringkannya. Menyetrika, setelah itu meletakkan di kamar Mirza sebelum sang empu pulang. Begitulah peraturan yang harus dipatuhi. Tidak boleh dilanggar jika tak ingin mendapat siksaan.
Haira keluar dari kamar Mirza. Lalu kembali ke tempat cucian. Memisah baju yang luntur dan tidak. Tak ingin ceroboh dan berbuat kesalahan yang akan berakibat fatal pada dirinya sendiri.
Haira menelan ludahnya dengan susah payah, kaget. Semua baju yang di pakai suaminya itu ternyata tak ada yang murah, bahkan jas yang ia pegang saat ini berharga puluhan juta. Mengejutkan bagi Haira.
"Sayang sekali, padahal uangnya bisa buat makan berbulan-bulan, tapi hanya dibelikan satu baju," menggerutu.
Setelah semua terpisah, Haira menekan tombol mesin cuci. Ia duduk sambil berkelana, teringat pada kedua orang tuanya yang sudah tiada.
"Jika tahu hidupku akan seperti ini, lebih baik aku ikut mati dalam kecelakaan itu."
Buliran bening lolos, ia tak bisa melupakan kejadian malam itu, di mana kedua orang tuanya meregang nyawa di depannya dalam sebuah tragedi kecelakaan.
"Bibi…" Teriakan itu membuat Haira terperanjat. Ia menoleh ke arah sumber suara yang tak asing di telinganya.
Bi Enis nampak buru-buru menghampiri sang pemilik suara merdu itu.
"Ada apa, Nona Arini?" tanya Bi Enis ramah. Membungkuk sopan pada sang majikan.
"Siapa yang mencuci bajuku?" Arini membentak, menjewer bajunya yang sedikit robek di bagian tangan.
"Tidak tahu, Nona," jawab Bi Enis menundukkan kepala. Meskipun tahu, Bi Enis pun tak ingin membuka suara, takut menyebabkan perseteruan.
Naina mendekat dengan tersenyum sinis. Ia mempunyai jalan untuk menciptakan perdebatan yang pasti akan seru.
"Kemarin yang mencuci baju Nona itu Nona Haira."
Naina sengaja menyulut bara api yang hampir menyala. Ia memang tak suka dengan kehadiran Haira di rumah itu, apalagi statusnya adalah istri Mirza yang pastinya jauh lebih tinggi darinya.
Merasa namanya disebut, Haira keluar menghampiri ketiga wanita yang ada di ruang tengah. Menatap mereka bergantian. Matanya berhenti pada baju yang ada di tangan Arini.
"Kamu yang mencuci baju ini?"
Arini melempar bajunya tepat di wajah Haira. Maju satu langkah, menarik rambut Haira dari belakang.
"Sebenarnya apa mau kamu?"
Haira menahan tangan Arini, sekuat tenaga ia melepaskan jemari Arini yang menyakitinya.
Setelah terlepas, Haira mundur menghindari tangan Arini yang ingin menamparnya.
"Maaf, Nona. Saya tidak sengaja, kemarin baju Anda nyangkut dan setelah saya tarik ternyata robek."
Haira mengucap apa adanya. Baginya, sepahit apapun kenyataan tetap harus jujur, itu adalah kunci untuk menjaga komitmen dari orang tuanya.
"Kurang ajar! Gaji kamu satu tahun pun tidak akan bisa membeli baju itu." Mengayunkan tangan kanannya ke arah wajah Haira, namun dengan sigap gadis itu menangkapnya.
Haira mengusir rasa takut yang mengendap, meskipun ia di rumah itu hanya dianggap pelayan, Haira tidak ingin ditindas orang lain. Baginya, sikap Mirza sudah cukup membuatnya menderita, dan tidak ingin Arini menambah bebannya.
"Saya sudah bilang tidak sengaja, Nona. Kalau Anda tidak terima dan mau membawa kasus ini ke pengadilan, silahkan! Saya tidak peduli, tapi saya tidak akan membiarkan Anda untuk menganiaya saya."
Melepas tangan Arini dengan kasar. Menatap matanya yang dipenuhi dengan amarah. Haira tidak mau meladeninya lagi dan memilih ke belakang.
Tak mengindahkan suara Arini yang terus memanggil namanya, hatinya kini mulai beku. Tidak mempedulikan orang lain yang tidak peduli dengan kehidupannya.
Arini menghentak-hentakan kakinya, setelah punggung Haira menghilang, ia menghubungi Mirza.
"Kakak harus memberi pelajaran pada Haira, dia sudah merobek bajuku, Kak."
Hua Hua Hua
Arini pura-pura sesenggukan, mengiba pada sang kakak.
"Kamu tenang saja, aku akan memberi pelajaran pada wanita itu."
Setelah mendengar ungkapan Mirza, Arini tersenyum lebar sambil melompat-lompat, ia merasa menang sudah membuat kakaknya marah pada Haira.
Mirza yang ada di seberang sana memanggil Erkan, meminta pria itu untuk menyalakan ponselnya yang tersambung dengan cctv di rumah.
Erkan memutar cctv itu dari pagi setelah Mirza berangkat ke kantor.
Mirza mengepalkan tangan saat melihat Haira masuk ke kamarnya. Dadanya meletup-letup. Entah kenapa, kebenciannya pada Haira belum surut. Matanya terus fokus pada wanita itu yang tampak linglung saat berada di dalam kamarnya.
Mirza menatap layar ponselnya dengan intens. Mengulangi putaran saat Haira mendekati keranjang bajunya.
Itu kan celana dalamku, mau diapain? gerutunya dalam hati. Melirik ke arah Erkan yang mematung di samping meja kerjanya, mempercepat putaran videonya hingga tiba Arini menjambak rambut Haira.
Keberanian Haira tak membuat Mirza salut, namun membuatnya sangat tertantang dan ingin melakukan sesuatu yang lebih menyakitkan.
Tunggu pembalasan ku, kali ini aku yakin kamu tidak bisa berbuat apa-apa. Harga dirimu akan hancur bersama dengan hilangnya kesucianmu.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Mirza. Ia menyungutkan kepala nya, memberi kode pada Erkan untuk membuka pintu.
"Mirza nya ada?" tanya sang tamu.
Suaranya sangat familiar membuat Mirza mengerutkan alisnya.
Sejak kapan ada wanita yang datang ke kantornya selain Lunara. Bahkan Mirza tak sembarang menerima tamu jika tak ada kepentingannya dengan pekerjaan.
"Mau apa kamu ke sini, La?" tanya Mirza beranjak dari duduknya, menghampiri Ayla yang dipersilakan masuk oleh Erkan.
"Ingin menemui kamu, memangnya nggak boleh?"
Mirza mengangkat bahunya, aku baik-baik saja, begitulah ia menjelaskan dalam hati.
"Za, aku tahu kamu masih berduka atas meninggalnya Lunara, dan aku juga tahu kalau kamu menikahi wanita pembunuh itu hanya untuk balas dendam."
Ayla mengusap bahu lebar Mirza. Mengikuti langkah pria itu menuju sofa. Duduk di samping Mirza dan menghadap ke arah yang sama.
"Jangan terlalu larut dalam kesedihan, aku yakin Lunara sudah tenang di alam sana."
Mirza membisu dengan tenang, sedangkan Erkan sudah berpikir kemana-mana dengan tingkah Ayla yang nampak agresif.
"Za, kamu tahu nggak, gadis yang sudah mendonorkan darah untuk kamu waktu jatuh dari pohon?"
Mirza mengingat saat mendapat hukuman dari dosennya. Ia disuruh memanjat pohon. Namun nahas, nasibnya yang tak baik membuatnya jatuh dan pingsan. Kepalanya terbentur batu hingga kehilangan banyak darah.
"Lunara, kan?"
Ayla menggeleng tanpa suara. Seperti menyembunyikan sesuatu yang Mirza tak mengerti.
"Sebenarnya yang mendonorkan darah untuk kamu itu aku, bukan Lunara."
Deg
Jantung Mirza berdetak dengan kencang.
𝚑𝚎𝚕𝚕𝚘 𝚐𝚊𝚗𝚝𝚎𝚗𝚐 𝚜𝚊𝚕𝚊𝚖 𝚔𝚗𝚕 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚊𝚞𝚗𝚝𝚢 𝚊𝚗𝚐𝚎𝚕𝚊 🤣🤣