Alina, seorang gadis lugu yang dijebak kemudian dijual kepada seorang laki-laki yang tidak ia kenali, oleh sahabatnya sendiri.
Hanya karena kesalahan pahaman yang begitu sepele, Imelda, sahabat yang sudah seperti saudaranya itu, menawarkan keperawanan Alina ke sebuah situs online dan akhirnya dibeli oleh seorang laki-laki misterius.
Hingga akhirnya kemalangan bertubi-tubi menghampiri Alina. Ia dinyatakan positif hamil dan seluruh orang mulai mempertanyakan siapa ayah dari bayi yang sedang ia kandung.
Sedangkan Alina sendiri tidak tahu siapa ayah dari bayinya. Karena di malam naas itu ia dalam keadaan tidak sadarkan diri akibat pengaruh obat bius yang diberikan oleh Imelda.
Bagaimana perjuangan seorang Alina mempertahankan kehamilannya ditengah cemoohan seluruh warga. Dan apakah dia berhasil menemukan lelaki misterius yang merupakan ayah kandung dari bayinya?
Yukk ... ikutin ceritanya hanya di My Baby's Daddy
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aysha Siti Akmal Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Alina Sakit?
"Nak, kapan ijazah kamu dikeluarkan dan bagaimana hasilnya? Kok, kamu gak pernah bilang-bilang sama Ibu," tanya Bu Nadia seraya menata barang dagangannya ke atas meja.
Deg!
Seketika dada Alina terasa sesak. Tubuhnya mendadak panas dingin ketika Bu Nadia menanyakan hal yang paling ditakuti oleh gadis itu.
"Mungkin minggu depan dan hasil ujian Alina biasa aja, Bu. Makanya Alina tidak ingin membahasnya sama Ibu. Alina malu," lirih gadis itu sambil menata piring dan gelas ke atas lapak jualan sang Ibu.dengan tangan yang gemetar.
Bu Nadia tersenyum kemudian mengacak pelan puncak kepala gadis itu. "Kenapa harus malu? Yang penting sekarang kamu lulus dan ijazahmu bisa digunakan untuk melamar kerja, benar 'kan? Nanti kalau sudah kerja, kumpulkan uang yang banyak biar bisa melanjutkan kuliahmu, Nak. Biar kamu bisa sukses sama seperti yang lain. Jangan seperti Ibu yang hanya bisa jualan nasi uduk," lirih Bu Nadia.
Ya, selama ini Bu Nadia berjualan nasi uduk di depan rumahnya. Tak ada tempat khusus, yang ada hanya meja panjang yang terbuat dari kayu untuk menggelar dagangannya. Dengan di bantu Alina, beliau menjualnya kepada warga sekitar rumah mereka.
Walaupun hasilnya tidak cukup besar, tetapi paling tidak cukup untuk menutupi kebutuhan mereka sehari-hari. Selain itu, Alina juga menutupi kekurangannya dari hasil bekerja paruh waktu bersama Bu Dita, Ibundanya Imelda.
"Ya Tuhan, aku harus bagaimana? Cobaan ini terasa begitu berat," batin Alina.
"Loh kok, diem?" Bu Nadia memperhatikan Alina yang mematung dengan tatapan kosong ke arah jalan yang terbentang di depan rumahnya.
"Tidak apa-apa kok, Bu. Tiba-tiba saja perut Alina sakit. Alina ingin ke kamar kecil dulu," sahut Alina dengan memasang wajah kusut, seolah-olah dia benar-benar sedang sakit perut.
"Ish, kamu ini bikin Ibu cemas aja. Sudah sana cepat," titah Sang Ibu.
Dengan cepat Alina masuk ke dalam rumahnya dan menuju kamar kecil. Di sana Alina duduk dan termenung. Kesedihan mendalam itu kembali menyeruak tatkala ia ingat kejadian naas di hotel pada malam itu.
"Jika aku ingat kejadian itu, rasanya aku tidak akan pernah memaafkan kesalahanmu, Imelda. Meskipun kamu bertekuk lutut di hadapanku," kesalnya sambil menitikkan air mata.
Namun, tiba-tiba saja Alina merasakan ada yang aneh pada perutnya. Yang tadinya ia baik-baik saja, sekarang malah terasa bergejolak.
"Astaga, perutku!" pekik Alina yang akhirnya benar-benar mengeluarkan isi perutnya di dalam kloset.
Cukup lama Alina berjuang melawan gejolak di perutnya di dalam ruangan sempit itu. Wajahnya bahkan terlihat memucat karena semuanya terkuras habis.
Alina yang sudah tidak berdaya, akhirnya bersandar di dinding ruangan itu sambil memegang perutnya yang masih bergejolak dengan mata terpejam.
"Ya Tuhan, aku kualat karena sudah membohongi Ibu soal sakit perut," gumam Alina sambil tersenyum kecut.
Karena Alina tidak kunjung keluar dari kamar mandi, Bu Nadia pun mulai mencemaskan putri semata wayangnya itu. Namun, karena masih banyaknya pelanggan yang ingin membeli nasi uduknya, Bu Nadia pun mengurungkan niatnya untuk menyusul Alina ke kamar kecil.
"Kenapa, Bu? Kok Bu Nadia terlihat cemas begitu," tanya salah seorang pembeli yang sejak tadi memperhatikan ekspresi Bu Nadia.
Bu Nadia terkekeh pelan. "Bukan apa-apa, hanya bingung saja sama Alina. Tadi dia bilang sakit perut dan pamit ke kamar mandi. Tapi, sampai sekarang tidak nongol-nongol juga."
"Ih, hati-hati loh, Bu. Sekarang 'kan lagi musimnya kena diare dan muntaber gitu. Kemarin barusan anak saya yang ke dua kena diare, untung cepat diobati," sahutnya.
Bu Nadia semakin cemas saja setelah mendengar ucapan tetangganya itu. Dan memang benar, sekarang ini lagi musimnya orang-orang kena diare.
"Aku jadi khawatir sama Alina," ucap Bu Nadia seraya menyerahkan bungkusan nasi uduk pesanan wanita itu.
"Iya, Bu Nadia. Di cek anaknya, kalo benar 'kan kasihan."
Wanita itu menyerahkan uang belanjaannya kemudian pamit dan kembali ke rumahnya. Sedangkan Bu Nadia bergegas memasuki rumahnya dan melangkah menuju kamar kecil, di mana Alina masih berada di ruangan itu dengan tubuh yang lemas.
"Alina, kamu masih di dalam?" tanya Bu Nadia seraya memutar-mutar gagang pintu kamar mandi yang ternyata di kunci dari dalam oleh Alina.
Perlahan Alina membuka matanya. "Ya. Bu. Alina masih di sini."
"Kamu kenapa, Nak? Kamu tidak apa-apa 'kan?" tanya Bu Nadia panik.
"Alina muntah terus dari tadi, Bu. Dan sekarang tubuh Alina lemas," sahut Alina dengan suara yang terdengar sangat lemah.
"Ya Tuhan, anakku ... tidak salah lagi! Sekarang apa kamu bisa membuka pintu ini? Biar Ibu bantu kamu, Nak," ucap Bu Nadia yang kini nampak panik.
"Sebentar."
Perlahan Alina menggerakkan tubuhnya yang lemas. Ia merangkak menuju pintu kemudian membuka kuncinya. Setelah berhasil membuka kuncinya, gadis itu malah jatuh ke lantai dengan posisi telungkup.
Bu Nadia bergegas membuka pintu dan betapa terkejutnya ia ketika mendapati Alina tergeletak tak berdaya di lantai kamar mandi mereka.
...***...