Menceritakan tentang seorang gadis cantik yang bernama Lala, harus mengandung karena hubungan terlarang dengan seorang jin muda yang sejak kecil menyukainya.
Berawal dari kebiasaan jorok Lala, hingga sosok jin muda yang menyukainya dan merubah wujudnya menjadi tampan saat setiap bertemu Lala meskipun warna matanya merah dan memiliki tanduk di kepalanya.
Bagaimana kisah selanjutnya?ikuti kisah selanjutnya ya🙏
PERHATIAN!!
Jika ada bab atau paragraf yang berulang, mohon maaf sedang dalam proses perbaikan.mohon pengertiannya 🙏🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cancer i, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebiasaan Buruk Lala
Lala tersenyum, matanya berbinar menatap langit senja yang mulai memerah. "Maaf, Ris. gue nggak mau menyusahkan Mak Dira lagi. Sekolah ini lebih dekat, biayanya juga lebih terjangkau. Lagipula, kita kan masih bisa ketemu setiap hari kok!"
"Kenapa kita nggak satu sekolah bareng aja sih"protes Tika
"Jauh! Berat di ongkos, gue kasihan sama Mak gue!" kilah Lala. Ia ingat saat kelulusan SMP, Mak Dira berkata, "La, sekolahnya yang deket-deket aja! Biar murah ongkosnya!" "Tapi Mak, tar Lala gak punya teman, soalnya Riris sama Tika di SMU 5 sekolahnya," sahut Lala. "Ya, biarin aja. Mereka 'kan duitnya ada terus. Kontrakan punya, gaji juga ada! Gak kayak Emak harus nyari dulu!" jelas Mak Dira.
"Yah kita pisah dong, La!" keluh Riris. "Gak papalah pisah, jadi kita gak berebut naksir cowok yang sama, hahahaha...! " canda Tika di sambut gelak tawa. "Iya juga ya. Malah kita bisa saling mengenalkan teman laki-laki dari masing-masing sekolah," timpal Lala.
Riris dan Tika saling pandang. Mereka tahu betapa berat beban Lala. Mak Dira, perempuan tua yang gigih itu, bekerja keras demi membiayai sekolah dan kebutuhan Lala. Riris dan Tika sendiri berasal dari keluarga yang lebih mampu, tak perlu memikirkan beban ekonomi seperti Lala.
Keesokan harinya, ketiganya bertemu lagi di halte dekat pohon nangka kesayangan mereka. Lala membawa buku dongeng baru, sebuah cerita tentang putri yang harus menghadapi berbagai tantangan untuk menyelamatkan kerajaannya. Mereka bertiga duduk di dahan pohon, halaman buku terbuka di antara mereka. Kali ini, khayalan mereka tak hanya tentang putri dan pangeran, tapi juga tentang bagaimana cara mereka bisa membantu Lala.
"Kita bisa bantu Lala, kan?" bisik Tika.
Riris mengangguk. "Kita bisa kumpulkan uang jajan kita, sedikit-sedikit. Untuk membantu Mak Dira."
"Ide bagus!" seru Lala, senyumnya mengembang. "Tapi, kita nggak mau cuma ngasih uang aja. Kita juga bisa bantu Mak Dira dengan cara lain!"
Sejak saat itu, persahabatan mereka semakin erat. Mereka tak hanya berbagi cerita dan khayalan di atas pohon nangka, tetapi juga berbagi beban dan tanggung jawab. Mereka membantu Mak Dira dengan cara yang mereka mampu, mungkin dengan membantu pekerjaan rumah tangga di rumah Bu Romlah di waktu luang mereka. Uang jajan mereka yang terkumpul pun diberikan kepada Mak Dira sebagai tambahan untuk biaya sekolah Lala.
Meskipun sekolah mereka berbeda, persahabatan Lala, Riris, dan Tika tetap utuh, bahkan semakin kuat. Mereka belajar tentang arti persahabatan sejati, tentang berbagi dan saling membantu, di bawah naungan rindang pohon nangka dan langit senja yang selalu setia menyaksikan cerita persahabatan mereka. Mereka menyadari bahwa kebersamaan dan kerja sama bisa mengatasi segala kesulitan, dan bahwa persahabatan yang tulus lebih berharga dari apa pun.
Meski sudah SMA, Lala tak berubah. Ia tetap seperti masa kanak-kanak di mana jika berganti pakaian seragam, berserakan di atas ranjang tidurnya,belum lagi ia tak pernah membantu mencuci piring atau pekerjaan rumah lainnya. Rumahnya dibiarkan kotor sampai Mak Dira pulang dan yang membersihkannya. "Belajar nyapu dong, La!" "Ahh Emak... mulai deh ah!" kelit Lala enggan menyapu. Segala sesuatu jika tak dibiasakan sejak dini, pasti terasa susah dan kaku. Seperti Lala yang telat diajarkan untuk membantu pekerjaan rumah yang dasar-dasar saja, seperti menyapu, merapikan kamar dan lainnya. Meski begitu Mak Dira tak pernah marah, apalagi sampai memukul. Perempuan tua itu sangat menyayangi cucunya dalam versinya. "Cuma kamu La, yang Emak miliki!" Begitu ucapannya kala itu. "Mak pulangnya tar habis Magrib, La. Soalnya Mak mau masak kacang ijo buat di jual malam di warung Mpok Midah!" "Ya ampun Mak, emang gak capek apa?"
"Demi kamu La, Emak usahakan kerja sepanjang hari apalagi kue yang waktu itu kita jual udah pada sepi. Emak cuma punya kamu La," ucap Mak Dira tak dapat menyembunyikan genangan air matanya. Keduanya saling berpelukan, dan menangis haru. "Mak hati-hati ya!" pesan Lala. Ia juga sangat sayang terhadap neneknya itu. "Iya! Kamu juga. Jangan kelayapan!" balas Mak Dira. Siang itu sepulang sekolah ketiga gadis itu berkumpul di rumah Lala. Lala, Riris, serta Tika membaca buku di kamar Lala. Meski berbeda sekolah mereka tetap mengusahakan untuk selalu bermain bersama. "Ya, ampun La, cuci piring napa. Tuhh bekas makan lo juga!" tegur Riris saat melihat piring bekas makan tergeletak di atas meja. Ia saat itu ingin mengambil air minum. "Biarin ah, tar biar Mak aja. Atau kalau lo mau cuciin deh!" sahut Lala cuek. "Dihh ogah. Kalau di rumah gue La, kalau malam bagian cuci piring," kata Riris. "Tau nih Lala. Gak kasihan apa sama Mak lo!" "Kasihan sih, tapi 'kan gak harus gue yang nyuci piring," sahut Lala tanpa beban. "Ini kamar juga udah kayak apaan tahu. Jorok lo, La!" protes Tika sambil melempar bantal ke arah Lala. "Tar gak ada cowok yang mau sama lo, lho!" ucap Riris membuat Lala tertawa. "Masa' sih segitunya.ada-ada aja lo, Ris! Ada gitu cowok yang berani nolak cewek secantik gue!" sahut Lala dengan bangga. "Kepedean lo! Dasar jorok!"gerutu Riris