Aluna, gadis berusia delapan belas tahun dengan trauma masa lalu. Dia bahkan dijual oleh pamannya sendiri ke sebuah klub malam.
Hingga suatu ketika tempat dimana Aluna tinggal, diserang oleh sekelompok mafia. Menyebabkan tempat itu hancur tak bersisa.
Aluna terpaksa meminta tolong agar diizinkan tinggal di mansion mewah milik pimpinan mafia tersebut yang tak lain adalah Noah Federick. Tentu saja tanpa sepengetahuan pria dingin dan anti wanita itu.
Bagaimana kehidupan Aluna selanjutnya setelah tinggal bersama Noah?
Langsung baca aja kak!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 25
Waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Pertanda malam semakin larut dan pagi segera menjelang.
Semua orang yang berada di mansion mungkin sedang tertidur lelap, kecuali beberapa bodyguard yang masih berjaga.
Namun tidak dengan Noah. Pria yang berada di atas ranjang empuknya itu tengah gelisah dan gusar. Matanya tidak mau diajak bekerja sama.
Bukannya terpejam, malah mengajaknya begadang semalaman.
"Shit! Kenapa perasaanku jadi tidak tenang begini?" Noah bangkit dan bersandar di sandaran ranjang, lalu mengusap wajahnya kasar. "Sepertinya wine bisa menenangkan pikiranku. Sedikit tidak masalah kan?" gumamnya sambil turun dari tempat tidur.
Noah mengenakan celana panjang dan jaket hitamnya, lalu meraih kunci mobil yang berada di atas meja.Dia melangkahkan kakinya turun ke bawah menapaki anak tangga satu per satu.
Semenjak kepergian Aluna beberapa jam yang lalu, entah kenapa hatinya menjadi tidak tenang. Apa karena dia mulai peduli dengan gadis itu?
Ayolah, Noah bukanlah tipe pria yang dengan mudahnya jatuh cinta pada seorang wanita. Sedikit rasa iba ataukah mungkin rasa kasihan padanya?
Hanya saja ada sesuatu yang mengganjal dan dia tidak tahu akan hal itu.
"Cih! Seharusnya aku tidak membaca buku ini. Belum ending saja sudah benar-benar membuat dadaku sesak," Vincent yang belum tidur, sedang asik membaca novel dibuat baper sampai mengeluarkan air mata.
"Kenapa pihak wanita yang selalu menderita? Bukankah itu bukan kesalahannya? Dasar pria arogan, dingin, dan menyebalkan!" Vincent memaki tokoh pria yang ada di dalam novel. "Seharusnya kamu mengejar wanita itu, bukan malah membiarkannya pergi dari hidupmu!" komentarnya.
Tanpa Vincent tahu, sejak tadi Noah melihat dan mendengar apa yang pria itu ucapkan. "Apa dia sedang memaki ku dan mengatakan kalau aku ini pria arogan, dingin, dan menyebalkan?" gumamnya kesal.
Noah yang merasa tersindir, mendekati Vincent. Ingin memberikan hukuman pada asisten kurang ajarnya itu.
Belum sempat Noah mendekat, Vincent sudah lebih dulu melempar buku tebal itu ke atas meja. "Novel tidak jelas! Menguras tenaga dan emosiku saja!"
"Kenapa lama-lama tokoh pria dalam novel itu sangat mirip dengan tuan Noah," gumamnya lirih sambil tersenyum.
Apa yang Vincent ucapkan masih terdengar jelas di telinga Noah, membuat pria itu mengeraskan rahangnya menahan emosi.
"Tapi tunggu, mereka sangat berbeda. Tuan Noah lebih keras kepala dan susah untuk—"
"Dan susah untuk apa, katakan!" sahut Noah yang sudah berdiri di belakang Vincent.
"Mampus! Pria dingin itu benar-benar keluar dari buku dan sekarang ada di belakangku." Vincent dengan susah payah menelan saliva-nya dan menoleh perlahan ke arah suara.
Vincent bisa melihat wajah menyeramkan Noah yang memerah menahan amarah dan menatapnya dengan tatapan tajam. Seakan ingin menelannya hidup-hidup.
"T—tuan? Apa ini benar-benar Anda?" Vincent segera bangkit. Dia mendekati Noah dan menyentuh pundaknya.
"Jangan menyentuhku, Vincent Maverick! Push up seratus kali tanpa jeda dan lakukan detik ini!" titahnya.
Vincent langsung menjaga jarak dari Noah. Menatap pria itu dari atas ke bawah. "Tuan, Anda mau kemana malam-malam begini?" tanyanya.
Noah tak menghiraukan pertanyaan Vincent dan malah melirik buku novel yang ada di atas meja.
Mengerti kemana arah tatapan Noah, Vincent berdehem pelan. "Maaf, Tuan. Tadi saya sedang membaca novel milik Aluna yang tertinggal."
"Buang atau bakar saja benda yang pernah disentuh olehnya. Aku tidak mau gadis itu terus membayang-bayangi mansion ku dan juga—" Noah tak melanjutkan kalimatnya. Membuat Vincent semakin penasaran dan menunggu lanjutannya.
"Dan juga?"
"Dan juga membuatku muak!" ketus Noah.
Vincent melemas lalu bergumam, "Aku pikir kulkas dua belas pintu ini sudah mulai mencair. Ternyata aku salah."
"Siapa yang kamu bilang kulkas dua belas pintu, hah?!" Noah membentak Vincent, tak terima dikatai pria kulkas.
"Tentu saja Anda, siapa lagi," ucapnya keceplosan lalu dengan cepat menutup mulutnya.
"Oh begitu ya, hukuman ditambah. Push up dua ratus kali jangan berhenti sebelum selesai!"
"Tapi, Tuan saya—"
"Botak!" teriak Noah memanggil bodyguardnya.
"Ya, Tuan." Bodyguard menunduk tanpa berani menatap wajah Noah.
"Rekam apa yang dia lakukan lalu laporkan kepadaku!" Noah memberikan perintah tanpa mau dibantah.
"Lalu anda mau kemana malam-malam begini, Tuan? Biarkan saya menemani Anda. Kalau terjadi sesuatu pada Anda, Tuan besar bisa murka dan menghabisi saya."
"Itu yang aku inginkan!" Noah tersenyum puas. "Jalankan saja hukumanmu, karena aku ingin pergi sendirian. Ingat, jangan ada yang mengikuti ku!" Noah bergegas menuju ke mobil.
Vincent tentu saja tidak akan membiarkan bosnya pergi begitu saja tanpa pengawalan.
Dia tahu, Noah sedikit ceroboh dan selalu berbuat semaunya. "Ikuti dia diam-diam, jangan sampai ketahuan." Vincent memberikan perintah pada bodyguard. Dan mereka mengangguk.
"Selalu saja bertindak seenak jidatnya sendiri," gerutu Vincent.
Noah mengemudi dengan cepat, mencoba melarikan diri dari kegelisahan yang terus menghantui pikirannya.
Mobil Noah meluncur di jalanan sepi, dan lampu-lampu kota yang berpendar seakan menjadi saksi bisu dari kegalauannya.
Noah berusaha mencari kedamaian dalam kebisingan malam, berharap bahwa wine bisa menenangkan pikirannya yang berkecamuk.
Setibanya di bar favoritnya, Noah memesan sebotol wine dan duduk di sudut ruangan yang sepi.
Setiap tegukan wine terasa menenangkan, tetapi tidak cukup untuk menghilangkan kegelisahan yang masih menguasai hatinya. Pikiran tentang Aluna terus muncul, mengganggu ketenangannya.
"Sebenarnya apa yang terjadi padaku?" gumamnya.