Sofia Amara, wanita dewasa berusia 48 tahun yang hanya dipandang sebelah mata oleh suami dan anak-anaknya hanya karena dirinya seorang ibu rumah tangga.
Tepat di hari pernikahan dirinya dan Robin sang suami yang ke-22 tahun. Sofia menemukan fakta jika sang suami telah mendua selama puluhan tahun, bahkan anak-anaknya juga lebih memilih wanita selingkuhan sang ayah.
Tanpa berbalik lagi, Sofia akhirnya pergi dan membuktikan jika dirinya bisa sukses di usianya yang sudah senja.
Di saat Sofia mencoba bangkit, dirinya bertemu Riven Vex, CEO terkemuka. Seorang pria paruh baya yang merupakan masa lalu Sofia dan pertemuan itu membuka sebuah rahasia masa lalu.
Yuk silahkan baca! Yang tidak suka, tidak perlu memberikan rating buruk
INGAT! DOSA DITANGGUNG MASING-MASING JIKA MEMBERIKAN RATING BURUK TANPA ALASAN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DAAP 10
Pagi itu, Sofia duduk tenang di meja makan, menikmati sarapannya dengan santai. Tidak ada satu pun di wajahnya yang menunjukkan ekspresi, seolah dia berada di dunia yang berbeda.
Di sisi lain, Robin, Mikaila, dan Reno sibuk dengan urusan mereka masing-masing di kamar.
Biasanya, setiap pagi, semuanya sudah tersedia tanpa perlu mereka repot-repot mencari. Baju kerja Robin tergantung rapi dengan kaos kaki dan dasi yang sudah dipilihkan oleh Sofia.
Mikaila dan Reno pun selalu menemukan perlengkapan sekolah dan kuliah mereka telah disiapkan. Tapi hari ini … semua kacau.
Robin membuka lemari dengan wajah kesal. “Di mana kaos kakiku?” gumamnya, mengacak-ngacak isi laci.
Di kamar lain, Mikaila hampir menangis karena tidak menemukan buku catatannya. “Astaga, kenapa jadi begini? Mama biasanya selalu menaruhnya di atas meja!”
Reno yang sudah siap berangkat kuliah malah sibuk membongkar isi lemarinya. “Mana almamaterku? Mama taruh di mana sih?” seru Reno.
Namun, tidak ada jawaban dari Sofia.
Mereka bertiga akhirnya keluar dari kamar masing-masing dengan wajah masam, langsung menuju meja makan. Di sana, mereka mendapati Saskia yang sudah duduk lebih dulu, menatap makanan di depannya dengan ekspresi tidak puas.
Mikaila mengambil sendok dan mencicipi sarapan yang disediakan pembantu. Wajahnya langsung berubah.
“Ugh, kenapa rasanya begini?” keluhnya.
Reno juga ikut mencicipi, lalu mengerutkan kening. “Tiap hari makin aneh rasanya. Pembantu di rumah ini sebenarnya bisa masak atau nggak sih?”
Saskia pun mendengus, mendorong gelas jus yang ada di hadapannya. “Apa ini? Jus detoksifikasi? Rasanya pahit dan nggak enak! Biasanya Sofia yang buat jus, kenapa sekarang malah begini?”
Robin yang baru duduk hanya bisa menghela napas panjang.
Di sisi lain, Sofia tetap melanjutkan sarapannya dengan tenang, tanpa menanggapi satu pun keluhan mereka.
Mikaila, Reno, dan Saskia menatapnya dengan penuh keraguan. Mereka ingin menegur, ingin mengomentari sikap Sofia yang berubah drastis, tapi sebelum ada yang sempat membuka mulut, Robin tiba-tiba memberikan isyarat dengan gelengan kepala.
Wajah Robin tetap datar, tapi sorot matanya tegas. Itu adalah peringatan yang sudah dia tekankan semalam.
"Jangan ganggu ibumu dulu," ucap Robin dengan suara dalam semalam, saat mereka bertiga berkumpul di ruang tengah. "Aku tidak mau ada yang bicara kasar atau membahas hal-hal yang bisa membuat dia makin emosi. Mungkin dia seperti ini karena efek dari sakitnya."
Mikaila dan Reno awalnya ingin membantah, tapi melihat ekspresi serius ayah mereka, mereka hanya bisa mengangguk. Begitu pula dengan Saskia, meskipun dalam hatinya dia tidak setuju dengan menantu yang tiba-tiba berubah seperti ini.
Kini, di meja makan, tidak ada satu pun yang berani memulai percakapan. Mereka hanya bisa makan dengan wajah masam, mencoba menghabiskan sarapan yang lagi-lagi tidak sesuai dengan selera mereka.
Saskia mengambil sesendok bubur yang disiapkan pembantu, tapi begitu menyentuh lidahnya, ekspresinya langsung berubah.
"Hhff! Hambar sekali! Bubur macam apa ini?" gerutunya, meletakkan sendok dengan kasar.
Mikaila dan Reno juga tampak tidak puas, tapi karena perut mereka lapar, mereka tetap memakannya meski dengan wajah cemberut.
Sementara itu, Sofia tetap tenang, menghabiskan sarapannya sendiri tanpa peduli pada ekspresi atau keluhan mereka.
Setelah selesai, Sofia meletakkan sendok dan garpu dengan perlahan, mengangkat gelasnya, lalu meneguk air putih dengan santai. Tanpa berkata apa-apa, dia kemudian bangkit dari kursinya dan pergi meninggalkan meja makan.
Robin hanya menghela napas panjang, lalu menghabiskan sarapannya dengan wajah tak senang.
Tak lama kemudian, satu per satu mereka meninggalkan meja makan, bersiap-siap untuk berangkat.
Mikaila ke sekolah, Reno ke kampus, Robin ke universitas tempatnya mengajar, dan Saskia kembali ke kamarnya untuk mengambil tas, setelah itu dia keluar bertemu teman-teman arisannya.
Setelah semua majikannya pergi, suasana rumah itu terasa lebih tenang. Di dapur, Bi Sumi dan Bi Sari duduk sambil menyeruput teh hangat, melepas lelah setelah membersihkan dapur.
"Huh, majikan kita itu benar-benar aneh," gerutu Bi Sumi sambil melipat tangannya di dada. "Kemarin-kemarin kalau Nyonya Sofia masak, mereka selalu mengeluh. Masakan terlalu asin lah, kurang bumbu lah, ini lah, itu lah. Sekarang, begitu Nyonya Sofia tidak masak, malah mereka mengeluh juga. Mau mereka apa, sih?"
Bi Sari mengangguk setuju. "Memangnya lidah mereka tuh lidah raja, ya? Masakan kita sudah sesuai bumbu, sesuai standar, tapi tetap saja tidak cocok di mulut mereka. Dasar pemilih!"
Keduanya saling bertukar pandang, lalu mendesah bersamaan. Mereka sudah bekerja bertahun-tahun di rumah ini, melihat bagaimana Sofia diperlakukan, dan mereka benar-benar merasa kasihan.
"Dulu waktu Nyonya Sofia masih rajin melayani mereka, anak-anaknya itu, Non Mikaila dan Den Reno, sering membantah dan memprotes apa pun yang dia lakukan," lanjut Bi Sari. "Kalau Nyonya melarang sesuatu, malah mereka marah-marah. Kalau Nyonya membuat aturan, mereka melawan. Sekarang setelah Nyonya berubah dan tidak peduli lagi, baru mereka kebingungan."
Bi Sumi menghela napas panjang. "Mungkin Nyonya Sofia juga sudah lelah. Dia juga manusia, kan? Punya batas kesabaran. Wajar kalau sekarang dia berubah."
Bi Sari mengangguk. "Dan menurutku, ini lebih baik. Aku malah mendukung Nyonya Sofia bersikap seperti ini. Biar mereka semua merasakan bagaimana hidup tanpa seseorang yang selalu mereka anggap remeh."
Saat mereka masih asyik berbincang, tiba-tiba suara langkah kaki terdengar dari arah tangga. Bi Sumi dan Bi Sari buru-buru bangkit dan merapikan celemek mereka saat melihat Sofia muncul di ambang pintu dapur.
Jantung mereka berdegup cemas. Apakah Sofia mendengar percakapan mereka tadi? Apakah mereka akan dimarahi atau—lebih buruk lagi—dipecat?
Namun, Sofia hanya menatap mereka sebentar, lalu berbicara dengan nada datar.
"Aku akan keluar sampai malam nanti," katanya. "Tetap siapkan makanan seperti biasa."
Bi Sumi dan Bi Sari terkejut, tapi juga lega. Sofia sama sekali tidak membahas percakapan mereka.
"Baik, Nyonya," jawab mereka bersamaan.
Sofia mengangguk, lalu berbalik dan berjalan keluar, meninggalkan dapur.
"Sepertinya Nyonya Sofia benar-benar berubah," gumamnya.
Bi Sumi tersenyum kecil. "Dan menurutku, itu adalah perubahan yang sangat bagus."
Di dalam mobil, Sofia menghela napasnya. Sebenarnya dia mendengar percakapan dua pembantu itu tapi dia hanya diam.
Dan benar apa kata mereka, dirinya telah di ambang batas kesabaran. Kali ini, dia hanya ingin meraih mimpi dan menghabiskan masa tuanya sendiri.
Tak berapa lama, akhirnya Sofia memasang seatbelt dan menyalakan mesin mobilnya. Sofia meninggalkan halaman rumah Rahardian. Kali ini dia akan mencari apartemen atau kontrakan untuk hidup kedepannya.