NovelToon NovelToon
Traces Behind The Shadows

Traces Behind The Shadows

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Mafia / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Mata-mata/Agen / Harem
Popularitas:928
Nilai: 5
Nama Author: Yes, me! Leesoochan

Di kota Paris yang penuh intrik, Amina De La Croix, seorang detektif swasta berhijab yang jenius dan tajam lidah, mendapati dirinya terjebak dalam kasus pembunuhan misterius yang menyeret tujuh mafia tampan yang menguasai dunia bawah kota tersebut.

Saat Amina menyelidiki, dia berhadapan dengan Alexander Rothschild, pemimpin mafia yang dingin dan tak tersentuh; Lorenzo Devereux, si manipulator licik dengan pesona mematikan; Theodore Vandenberg, sang jenius teknologi yang misterius; Michael Beaumont, jagoan bela diri setia yang berbicara dengan tinju; Dante Von Hohenberg, ahli strategi yang selalu sepuluh langkah di depan; Felix D’Alembert, si seniman penuh teka-teki; dan Lucien Ravenshaw, ahli racun yang mematikan namun elegan.

Di tengah misteri dan bahaya, sebuah hubungan yang rumit dan tak terduga mulai terjalin. Apakah Amina akan menyelesaikan kasus ini sebelum dirinya terseret lebih dalam ke dunia mereka? Atau justru tujuh mafia ini yang akan takluk oleh keunikan sang detektif?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 21

Udara di ruang bawah tanah itu dingin dan berbau lembap, seolah-olah menyimpan rahasia yang tak pernah ingin diceritakan. Cahaya lampu gantung yang redup menciptakan bayangan panjang di dinding batu yang kasar, membuat tempat itu terasa semakin menyesakkan.

Amina menatap Alexander, yang berdiri di ambang pintu dengan ekspresi yang sulit ditebak. Rahangnya mengatup, otot-otot di lengannya menegang seakan dia sedang menahan sesuatu, kemarahan, mungkin, atau keraguan yang ia sendiri tak ingin akui.

“Kau sudah membuat kekacauan besar, Amina.” Suaranya rendah, hampir seperti geraman.

Amina mengangkat alis. “Oh? Aku pikir aku justru menemukan sesuatu yang bisa menyelamatkan leher kalian.”

Alexander melangkah masuk, langkahnya berat, menciptakan gema di ruangan sempit itu. Tatapannya menusuk, tetapi Amina tidak gentar. Dia sudah terbiasa menghadapi pria yang berpikir mereka bisa mengintimidasinya hanya dengan tatapan.

“Apa yang sebenarnya kau cari?” tanyanya, nada suaranya lebih menuntut ketimbang ingin tahu.

Amina menyandarkan punggungnya ke kursi, mencoba mencari posisi yang lebih nyaman meski tangannya masih terasa nyeri akibat ikatan sebelumnya. “Aku hanya ingin tahu siapa pengkhianatnya.”

Alexander terdiam sejenak. Matanya menyipit, seolah mencoba membaca apakah Amina sedang berbohong atau tidak.

“Kau punya bukti?”

Amina menyeringai kecil. “Tentu saja.”

Dari balik hijabnya, dia menarik secarik kertas kecil, bukti transaksi yang ia dan Theodore temukan sebelumnya. Dia melemparkannya ke meja di antara mereka.

Alexander mengambilnya dan membaca dengan saksama. Ketegangannya semakin jelas terlihat. Kedua alisnya bertaut, matanya bergerak cepat menelusuri setiap angka di kertas itu.

“Ini…” dia bergumam, sebelum menatap Amina dengan intensitas baru. “Dari mana kau mendapatkan ini?”

Amina menahan senyum. Akhirnya, dia terguncang.

“Temanku yang jenius berhasil menembus sistem kalian,” katanya santai, meskipun dalam hati dia bersiap-siap untuk segala kemungkinan. “Dan kami menemukan bahwa seseorang dari dalam kelompokmu bermain di dua sisi.”

Alexander menggeleng pelan, ekspresinya tetap dingin, tapi ada sesuatu yang berubah di matanya. Bukan sekadar amarah atau kecurigaan tapi kewaspadaan.

“Jika ini benar, maka kita punya masalah yang jauh lebih besar.”

Amina mengangkat bahu. “Itulah sebabnya aku ada di sini.”

Hening.

Alexander membuang napas panjang, lalu melipat kertas itu dan memasukkannya ke dalam sakunya. “Kita tidak bisa membahas ini di sini. Mereka bisa kembali kapan saja.”

“Kita?” Amina menekankan kata itu dengan nada geli.

Alexander mendecak, lalu merunduk sedikit mendekatinya. “Jangan membuatku menyesali keputusanku membebaskanmu.”

Amina tersenyum tipis. “Kalau begitu, ayo pergi sebelum aku berubah pikiran dan meninggalkanmu di sini."

Di luar, lorong-lorong gelap menyambut mereka dengan keheningan yang mencekam.

Alexander berjalan cepat di depan, sementara Amina mengikutinya dengan langkah yang lebih ringan, telinganya siaga menangkap suara sekecil apa pun.

“Kenapa jalur ini?” tanya Amina. “Bukankah lebih cepat lewat pintu belakang?”

“Pintu belakang dijaga,” jawab Alexander tanpa menoleh. “Dan aku tidak ingin membunuh siapa pun malam ini.”

Amina memutar matanya. “Aku yakin kau punya definisi ‘tidak ingin membunuh’ yang berbeda dari orang kebanyakan.”

Alexander berhenti sejenak dan menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Dan aku yakin kau menikmati menggangguku.”

Amina menyeringai. “Sedikit.”

Alexander menghela napas, lalu melanjutkan langkahnya. “Diam dan tetap di belakangku.”

Tapi sebelum mereka bisa mencapai ujung lorong, suara langkah kaki bergema dari arah lain.

Sial.

Alexander segera menarik Amina ke balik bayangan sebuah pilar batu. Ia mendekapnya erat, menekan tubuh mereka ke dinding. Napas Amina tertahan. Ia bisa merasakan ketegangan di tubuh Alexander, ototnya mengeras seperti kawat baja.

Dua pria muncul di ujung lorong, berbicara pelan satu sama lain. Salah satunya membawa pistol di pinggangnya, sementara yang lain tampak lebih santai—terlalu santai.

“Dia masih di dalam?” suara salah satu pria itu terdengar.

“Ya. Michael bilang kita tunggu sampai pagi sebelum memutuskan apa yang harus kita lakukan padanya.”

Amina mencengkram lengan Alexander tanpa sadar. Mereka bicara tentangku.

Alexander melirik ke arahnya, memberi isyarat agar tetap diam.

Mereka menunggu.

Detik demi detik berlalu, terasa seperti selamanya.

Akhirnya, kedua pria itu berlalu, dan suara langkah kaki mereka semakin menjauh.

Alexander melepas dekapannya dari Amina. “Kita harus bergerak sekarang.”

Amina mengangguk, tapi matanya masih menatap kosong ke arah dua pria tadi menghilang.

Mereka mengira dia masih di dalam.

Itu berarti... mereka akan kembali.

Alexander meraih pergelangan tangannya, menariknya pelan. “Amina.”

Dia tersadar. “Ya. Ayo pergi.”

Mereka akhirnya berhasil keluar dari gedung itu dan berbaur dengan keramaian jalanan kota. Udara malam terasa lebih segar, meskipun ketegangan belum sepenuhnya hilang dari dada Amina.

Mereka berjalan sejauh beberapa blok sebelum akhirnya berhenti di gang kecil yang lebih sepi.

Alexander bersandar pada dinding, menatap Amina. “Sekarang, katakan yang sebenarnya. Apa yang sebenarnya kau cari?”

Amina menarik napas dalam, lalu menatapnya balik.

“Aku ingin tahu siapa pengkhianat di kelompokmu.”

Alexander menggeleng. “Bukan hanya itu. Ada sesuatu yang lebih.”

Amina terdiam sejenak, lalu akhirnya berkata pelan, “Aku ingin tahu kenapa aku dijebak.”

Alexander menatapnya lama, sebelum akhirnya berkata dengan suara yang lebih lembut dari sebelumnya, “Kalau begitu, kita punya tujuan yang sama.”

Amina menatapnya dengan curiga. “Jadi, kau percaya padaku sekarang?”

Alexander tersenyum miring. “Jangan terlalu percaya diri. Aku hanya tahu kau tidak berbohong soal pengkhianat.”

Amina mendecak. “Wow. Aku hampir merasa terharu.”

Alexander mengabaikannya. “Kita butuh bantuan.”

Amina menyandarkan diri pada dinding. “Kabar baiknya, aku punya seseorang yang bisa membantu.”

Alexander mengangkat alis. “Siapa?”

Amina menyeringai. “Seorang hacker jenius yang sangat menikmati menghancurkan ego orang-orang sepertimu.”

Alexander mendesah. “Aku sudah benci dia bahkan sebelum bertemu.”

Amina tertawa. “Oh, kau akan sangat menikmatinya.”

1
ceritanya bagus nuansa Eropa kental banget,
romantisnya tipis karena mungkin sesuai genrenya, tapi aku suka baca yang seperti ini.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!