Jessy, 30th seorang wanita jenius ber-IQ tinggi, hidup dalam kemewahan meski jarang keluar rumah. Lima tahun lalu, ia menikah dengan Bram, pria sederhana yang awalnya terlihat baik, namun selalu membenarkan keluarganya. Selama lima tahun, Jessy mengabdi tanpa dihargai, terutama karena belum dikaruniai anak.
Hingga suatu hari, Bram membawa pulang seorang wanita, mengaku sebagai sepupu jauh. Namun, kenyataannya, wanita itu adalah gundiknya, dan keluarganya mengetahui semuanya. Pengkhianatan itu berujung tragis—Jessy kecelakaan hingga tewas.
Namun takdir memberinya kesempatan kedua. Ia terbangun beberapa bulan sebelum kematiannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengabdian Yang Tak di Hargai
Pagi yang cerah menyelimuti rumah besar keluarga Bram. Seperti biasa, Jessy sudah sibuk di dapur sejak subuh, menyiapkan sarapan untuk seluruh keluarga. Tangannya lincah mengolah bahan makanan, aroma harum masakan menyebar ke seluruh rumah. Dengan telaten, ia memasak berbagai hidangan favorit keluarganya, memastikan semuanya sempurna.
Setelah selesai, ia menyajikan makanan di meja makan dengan penuh kasih. Melihat semua sudah rapi, Jessy melangkah menuju kamar untuk memanggil suaminya.
"Sayang..." panggilnya lembut dari balik pintu kamar.
Di dalam, Bram tampak sibuk dengan ponselnya. Saat mendengar suara Jessy, ia segera mematikan telepon dan menyimpan ponselnya di meja samping tempat tidur. Sudah beberapa hari terakhir, Bram sering terlihat sibuk dengan ponselnya.
"Siapa yang menelepon?" tanya Jessy penasaran.
Bram melirik sekilas ke arah istrinya, lalu tersenyum kecil. "Orang kantor. Mereka tanya soal kerjaan," jawabnya santai.
Jessy mengangguk pelan, meski hatinya mengatakan ada yang janggal. Namun, ia memilih diam dan tersenyum, kemudian berkata, "Ayo turun, sarapan sudah siap."
Bram bangkit, merapikan pakaiannya, lalu berjalan keluar kamar. Jessy, seperti kebiasaannya, dengan sigap mengambil tas kerja dan jas suaminya, lalu mengikutinya dari belakang.
Saat mereka tiba di ruang makan, ibu mertua Jessy, Ella, dengan wajah datar dan sinis. Sementara adik iparnya, Molly, sudah lebih dulu duduk di meja makan dan dengan santainya Molly menikmati hidangan tanpa memedulikan siapa yang telah memasaknya.
"Kalian sudah datang?" sapa Ella tanpa menoleh ke arah menantunya.
"Iya, ma." Bram membalas ucapan sang ibu.
Jessy hanya tersenyum tipis, kemudian duduk di samping Bram. Ia menyendokkan nasi dan lauk ke piring suaminya dengan penuh perhatian.
Namun, suasana damai itu segera terusik oleh suara sinis Ella. "Kalian ini kapan punya anak? Kenapa lama sekali? Mama ingin punya cucu laki-laki!"
Jessy terdiam, tangannya yang sedang menyendok nasi seketika berhenti. Ia menunduk, mencoba menahan perasaan sedih yang tiba-tiba menyeruak di hatinya.
Sementara itu, Bram, yang melihat perubahan ekspresi istrinya, mencoba menenangkan, dan tersenyum canggung. "Sabar, Ma. Ini juga lagi proses."
"Proses, proses! Proses terus! Jangan-jangan Jessy itu mandul!" tukas Ella tajam karena tak puas dengan jawaban Bram.
Jessy menundukkan kepala, hatinya mencelos. Ia sudah sering mendengar sindiran seperti ini, tetapi tetap saja menyakitkan. Jessy mencoba menahan air matanya dengan menggigit bibir bawahnya.
Bram yang melihat istrinya terdiam, menghela nafas panjang.
"Bu, sudahlah. Jangan bahas ini terus. Kita sarapan dulu," ujar Bram berusaha meredakan suasana, meski terdengar lebih seperti permintaan setengah hati.
Meskipun begitu, raut wajah Ella tetap masam. Jessy berusaha menahan perasaan dan melanjutkan makan, walaupun selera makannya sudah lenyap. Bagi Jessy, makanan yang tadi ia masak dengan penuh kasih kini terasa hambar di mulutnya.
Di sela-sela sarapan, Molly yang sibuk dengan ponselnya tiba-tiba menoleh ke arah Jessy. "Kak Jessy, sepatu mahal aku yang kemarin, sudah kakak cuci, kan?"
Jessy menelan ludah sebelum menjawab. "Sudah, ada di rak sepatu tempat biasanya."
"Baiklah," balas Molly singkat, lalu kembali menyantap sarapannya tanpa sepatah kata terima kasih pun.
Jessy hanya bisa tersenyum miris. Sudah lima tahun menikah dengan Bram, dan selama itu pula ia mengabdi pada keluarga ini tanpa sedikit pun dihargai.
Jessy sudah terbiasa dengan sikap mereka, ia hanyalah seorang pelayan bagi mereka, bukan menantu atau kakak ipar yang dihormati.
Ia menahan perasaan sakitnya, karena ia masih masih mencintai suami nya, ia harus lebih bersabar menghadapi keluarga Bram, mungkin suatu hari mereka akan berubah.
"Sabar Jessy, mereka hanya kecewa karena kamu belum memberikan cucu pada mereka. Kamu pasti kuat, kamu adalah wanita hebat." ucap Jessy dalam hati.
Setelah semua telah selesai sarapan, Jessy telah siap berangkat bersama Bram.
"Aku berangkat, Jes." ucap Bram berpamitan kepada Jessy.
"Iya, hati-hati." jawab Jessy dengan tersenyum dan memberikan tas kerja suaminya.
"Ma.. Bram berangkat." pamitnya kepada sang ibu, Ella.
"Iya, hati-hatilah." jawab Ella sambil tersenyum kepada sang anak.
Molly juga berpamitan kepada sang mama, tapi tidak kepada kakak iparnya. Begitulah sikap adik ipar Jessy, yang tak pernah menghargainya. Jessy hanya bisa menghela nafas.
Ella langsung pergi tanpa memperdulikan menantunya ini. Jessy hanya bisa menatap punggung ibu mertuanya yang telah jauh sama menghilang dibalik pintu kamarnya.
semua anggota keluarga sudah pergi—Bram ke kantor, Molly ke sekolah—Jessy mulai mengerjakan pekerjaan rumah. Rumah besar ini selalu bersih berkat dirinya, namun tak ada satu pun yang mengakui usahanya
Sore menjelang malam, Jessy duduk di ruang tamu, menunggu kepulangan suaminya. Jarum jam menunjukkan pukul sebelas malam, tetapi Bram belum juga pulang. Ia menggigit bibirnya cemas. Sebenarnya, ni bukan pertama kalinya Bram pulang larut malam.
Tak lama kemudian, suara mesin mobil terdengar di halaman. Jessy segera bangkit dan membuka pintu.
Bram masuk dengan wajah lelah. Ia melepas dasinya dengan asal sambil menghela napas panjang.
"Sayang, kenapa kau pulang sangat malam?" tanyanya dengan nada khawatir.
Bram meregangkan bahunya dan menjawab malas, "Aku lembur. Capek banget."
Jessy mengambil tas dan jas suaminya. Tak lupa, ia menyiapkan segelas air untuk Bram.
"Terima kasih, Sayang," ujar Bram sambil meneguk airnya.
Mereka berjalan menuju kamar. Di sana, Jessy duduk di tepi ranjang, memperhatikan suaminya dengan tatapan penuh selidik. Ada sesuatu yang berbeda. Matanya lelah, tapi bukan hanya karena pekerjaan.
Jessy menggigit bibirnya, mencoba menata kata-kata yang sejak lama mengganggu pikirannya.
"Sayang, akhir-akhir ini kau sering lembur. Jangan-jangan kau..." kalimatnya terhenti.
Bram langsung menatapnya tajam. "Jangan apa? Kamu jangan kebanyakan pikiran. Aku ini kerja! Jangan bikin aku bete. Aku capek pulang kerja, bukannya disambut malah dituduh-tuduh."
Jessy terkejut dengan reaksi suaminya. Ia hanya ingin bertanya, bukan menuduh.
"Aku hanya bertanya baik-baik, kenapa kamu berpikiran macam-macam?" Jessy berusaha tetap tenang.
Bram mendengus kesal. "Daripada kamu terus-terusan nuduh nggak jelas, lebih baik buatkan aku air hangat. Aku mau mandi. Pusing aku pulang kerja malah dituduh macam-macam."
Tanpa membantah, Jessy segera berjalan ke kamar mandi dan mulai mengisi bathtub dengan air hangat. Saat ia kembali ke kamar, Bram baru saja selesai menelpon seseorang.
Jessy menatapnya curiga.
"Siapa yang menelpon?" tanyanya pelan.
Bram terlihat sedikit gugup, tapi dengan cepat menjawab, "Orang kantor."
Jessy memiringkan kepalanya, matanya menyipit. "Kenapa setiap malam mereka menelpon? Padahal baru saja kau pulang dan bertemu mereka di kantor."
Bram mendengus kasar. "Sudahlah, jangan bahas ini terus. Aku capek. Jangan omeli aku!"
Setelah berkata begitu, Bram langsung berjalan ke kamar mandi, meninggalkan Jessy yang masih berdiri di tempatnya.
Jessy menarik napas panjang. Ada yang tidak beres. Ia bisa merasakannya. Tapi seperti lima tahun terakhir, ia hanya bisa diam, menelan kecurigaan dan rasa sakitnya Seorang diri.
Namun, ia masih menepis keraguan itu. Ia masih ingin percaya pada suaminya.
.mengecewakan
.maaf yah, bkin mles baca klau pov mc mah