Masih berstatus perawan di usia yang tak lagi muda ternyata tidak mudah bagi seorang gadis bernama Inayah. Dia lahir di sebuah kota kecil yang memiliki julukan Kota Intan, namun kini lebih dikenal dengan Kota Dodol, Garut.
Tidak semanis dodol, kehidupan yang dijalani Inayah justru kebalikannya. Gadis yang lahir tiga puluh tahun yang lalu itu terpaksa meninggalkan kampung halaman karena tidak tahan dengan gunjingan tetangga bahkan keluarga yang mencap dirinya sebagai perawan tua. Dua adiknya yang terdiri dari satu laki-laki dan satu perempuan bahkan sudah memiliki kekasih padahal mereka masih kuliah dan bersekolah, berbeda jauh dengan Inayah yang sampai di usia kepala tiga belum pernah merasakan indahnya jatuh cinta dan dicintai, jangankan untuk menikah, kekasih pun tiada pasca peristiwa pahit yang dialaminya.
Bagaimana perjuangan Inayah di tempat baru? Akankah dia menemukan kedamaian? Dan akankah jodohnya segera datang?
Luangkan waktu untuk membaca kisah Inayah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lailatus Sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak Mudah
"Aku sih setuju saja kalau teteh mau cari suasana baru, siapa tahu di tempat baru bisa bikin teteh lebih fresh. Kita emang gak bisa ngondisiin orang lain untuk tidak menggunjingkan kita tapi kita bisa mengondisikan diri untuk menghadapi mereka dengan cara yang benar dan tepat." Irfan kembali angkat suara, si bungsu yang irit bicara tapi sekalinya berpendapat semua yang dikatakannya terdengar sangat bijaksana.
"Cuman satu yang harus teteh camkan." Irfan menjeda ucapannya, membuat Inayah, Ibu dan Indira semakin memfokuskan atensi mereka pada anggota keluarga laki-laki satu-satunya itu.
"Yang pembawa sial itu bukan teteh, tapi laki-laki brengsek itu. Karena kita dekat dengan dia makanya kita yang terkena sial." setengah memaki Irfan berkata,
"Kita justru harus bersyukur tidak jadi terhubung dengan dia dan keluarganya. Jika teteh dan dia berjodoh bisa saja ke depannya justru semakin suram. Ya...walaupun cara Allah menjauhkan kita dari orang seperti itu dengan cara seperti ini tapi tak apalah, pasti semua ada hikmahnya. Siapa tahu nanti jodoh teteh lagi nungguin di Jakarta." Pungkas Irfan dengan kekehan saat mengatakan kalimat terakhirnya, membuat ibu dan kedua kakaknya juga turut terkekeh.
"Duuh ...so sweeetttt banget sih si Akang nasehatnya, jadi terharu ..." Inayah pura-pura mengusap ujung mata dengan kerudungnya."
"Aku jadi berasa si bungsu teh, dia anak cikalnya, berasa lagi dinasihatin orang tua. Lagian emang dia mah di kampus juga kelihatan paling bapak-bapak di antara teman-temannya, hihi ..." Indira menunjuk Irfan dengan sendok yang dipegangnya.
"Ish ..." desis Irfan dengan tak terima dikatakan orang tua.
"Hahaha ..." tawa kembali menghiasi rumah itu. Kebersamaan saat sarapan hari ini terasa lebih hangat dari sebelumnya.
"Teh Dira juga ..." Irfan ternyata belum selesai.
"Aku apa?" sahut Dira cepat.
"Awas jangan asal maen terima-terima aja kalau ada cowok yang suka teh, pastiin dulu kepribadian dan latar belakangnya."
"Baik bagindaa ..." jawab Indira dengan candaan. Dan tentu Irfan auto membulatkan matanya ke arah sang kakak.
"Ibu akan mendukung apapun keputusan Teteh, yang penting teteh bahagia, sehat dan tetap berada di jalan yang benar."
"Irfan benar, kita memang tidak bisa mengatur orang lain agar sesuai dengan keinginan kita, tapi kita yang harus mampu mengendalikan diri kita."
"Ibu juga akan berusaha untuk bisa seperti itu Fan. Terima kasih ya, ibu bangga, kamu benar-benar sudah menjalankan amanah Bapak untuk menjaga teteh-teteh dan Ibu." suasana pun jadi haru, jika pembahasan tentang Bapak sudah masuk dalam obrolan mereka akan selalu ada hati yang kembali merasa hampa karena kehilangan.
Inayah berjalan lesu menyusuri koridor yang menghubungkan ruang BK dengan ruang kelas. Dia baru saja selesai melakukan pembimbingan di jam pertama dan kedua. Bermaksud akan menuju ruang BK untuk beristirahat sebelum masuk ke kelas selanjutnya.
"Lesu amat Bu Inay, semangat dong bu, ayo ayo semangat ..."
"Belum sarapan? Nih aku beli lontong kari tadi di jalan." rekan sejawat Inayah yang bernama Bu Ulfah, mendekatkan semangkuk lontong ke hadapan Inayah. Mereka sudah duduk melingkar di meja yang biasanya digunakan untuk berdiskusi sesama guru BK di ruangan itu.
"Sudah sarapan mah. Aku hanya sedih melewati setiap ruangan ini, semuanya akan segera menjadi kenangan entah kapan bisa kembali ke sini lagi." balas Inayah sendu.
"Hah, apa maksudnya?"
"Aku mau resign, Fah." Inayah dan Ulfah adalah rekan seangkatan saat mengajar di sana, jika Inayah diterima karena jalur prestasi sekaligus sebagai penerima beasiswa dari yayasan hang menaungi sekolah tersebut, sementara Ulfah diterima menjadi pendidik di sana setelah lulus rekrutmen guru yang diadakan oleh yayasan. Panggilan diantara keduanya pun hanya memanggil nama ketika saat bersantai seperti ini.
"Apa?" pekik Ulfah,
"Jangan bercanda Nay, gak lucu." sentak Ulfah terkejut dengan apa hang diucapkan rekan sekaligus sahabat dekatnya di sekolah itu.
"Iya, serius. Sepertinya aku memang butuh suasana baru." Wajah serius Inayah membuat Ulfah seketika berwajah lesu, jika sudah begini dia yakin jika Inayah memang serius. Tapi sungguh dia masih belum bisa menerima jika Inayah akan resign.
"Cuti aja dulu kali Nay, jangan resign." usul Ulfah.
Inayah menarik nafasnya dalam lalu menghembuskannya perlahan.
Semalaman Inayah sudah a untuk merecovery hatinya, Inayah juga butuh suasana dan pengalaman baru. Berharap semua kenangan pahit yang terjadi benar-benar terkubur di ruang a1.
Inayah juga sudah tanya-tanya pada Rina soal lowongan pekerjaan. Rina bilang ada lowongan staf admin di tempatnya bekerja saat ini, sahabatnya itu bahkan menawarkan akan menjemput Inayah secepatnya tapi Inayah butuh waktu untuk menyelesaikan semuanya sebelum berangkat ke Jakarta, terutama proses pengunduran dirinya dari sekolah tempatnya mengabdi.
"Aku butuh suasana baru, Fah. Walau bagaimana pun kejadian kemarin benar-benar membuat hatiku remuk, hiks ..." di saat bersama Ulfah Inayah tidak sungkan untuk mengekspresikan apa yang dirasakannya. Dia menyusupkan wajahnya di atas lipatan tangannya dan menangis tergugu di sana.
"Inayah ....." Ulfah tak kuasa menahan diri untuk tidak menangis, dia pun memburu Inayah dan memeluknya sambil menangis.
"Assalamu'alaikum... Eh ...kalian kenapa?" seorang guru laki-laki memasuki ruangan BK, dia pun baru keluar dari kelas dan bermaksud beristirahat sejenak di ruangannya sebelum masuk kelas lainnya.
"haaaa...." suara tangis Ulfah semakin menggema, keakraban sesama rekan sejawat membuat Ulfah dan Inayah tidak canggung melanjutkan tangis mereka. Lebih tepatnya Ulfah yang masih berderai air mata, sementara Inayah sibuk merapihkan kerudungnya yang berantakan pasca menangis.
"Kamu masih mikiran kakang Farhan Nay? Masih gak rela dia udah mau jadi Bapak?" Fikri bertanya setengah mengejek, di antara teman-teman Inayah Fikri memang paling frontal jika membahas tentang batalnya pernikahan Inayah.
Di hari H pernikahan Inayah yang batal, Fikri juga paling antusias menyemangati Inayah untuk tidak larut dalam kesedihan.
Bukan Inayah yang harus menangis tapi Farhan yang akan menangis suatu saat nanti, Fikri bilang jika hidup Farhan yang tidak akan tenang karena sudah mengkhianati Inayah, menyia-nyiakan wanita sebaik Inayah.
"Ish ....enggakkkk." sentak Inayah, tidak terima diduga sepeti itu oleh Fikri.
"Inayah ...hiks ...Inayah ...mau resign." Ulfah akhirnya bersuara di sela-sela tangisnya.
"Resign? Ngapain resign?" jika Ulfah histeris mendengar kabar Inayah akan resign, berbeda dengan Fikri yang jauh lebih tenang bahkan kembali mempertanyakan alasannya.
"Aku butuh penyegaran, Fik." jawab Inayah sendu. Sejujurnya dia pun berat mengambil keputusan ini. Sekolah tempatnya mengabdi sudah menjadi keluarga kedua baginya, tempat Inayah berekspresi dan berkarya. Bersama rekan-rekannya Inayah selalu menemukan kebahagiaan dan melewati hari-hari indah bersama. Walau banyak hal yang mereka hadapi terutama tentang keunikan karakter murid-murid tapi jika dijalani bersama tentu selalu ada tawa di dalamnya.
Jika akhirnya dia harus pergi, tempat ini akan menjadi salah satu tempat yang tidak akan terlupakan oleh Inayah. Penuh kenangan dan sangat berharga.
Keputusan Inayah tidak goyah, sekeras apapun Ulfah dan Fikri di tambah Bu Habibah membujuk agar dia tidak resign Inayah tetap dengan tekadnya untuk mengundurkan diri dan secepatnya pergi ke Jakarta.
Inayah membawa berkas di tangannya, berjalan menuju ruang Kepala Sekolah untuk mendapatkan tanda tangan persetujuan pengunduran dirinya yang akan diajukan ke ketua yayasan.
"Apa-apaan Bu Inayah ini, seenaknya saja mau mengundurkan diri. Lupa ya dengan kontrak kerja kita jika tidak boleh mengundurkan diri di tengah tahun pelajaran?" Kepala sekolah Inayah berkata dengan intonasi yang tinggi membuat Inayah sedikit menciut. Terlihat sekali jika beliau marah setelah membaca surat yang diajukan Inayah.
Bukan hanya karena aturan yayasan yang mengikat para pendidik dan karyawan agar tidak bisa seenaknya mengundurkan diri yang menjadi alasan kemarahan sang kepala sekolah. Tetapi keberadaan Inayah di sekolah itu sudah menjadi bumbu yang membuat sekolah semakin berkembang. Kepala sekolah dan yayasan tentu tidak ingin kehilangan aset berharga mereka.
Resign bukanlah hal yang mudah untuk Inayah.
padahal aku pengen pas baca Inayah ketemu sama siapa ya thor...🤔🤔🤔🤔🤔 aku kok lupa🤦🏻♀️