Yaya_ gadis ceria dengan sejuta rahasia.
Ia selalu mengejar Gavin di sekolah,
tapi Gavin sangat dingin padanya.
Semua orang di sekolah mengenalnya sebagai gadis tidak tahu malu yang terus mengemis-ngemis cinta pada Gavin. Namun mereka tidak tahu kalau sebenarnya itu hanya topengnya untuk menutupi segala kepahitan dalam hidupnya.
Ketika dokter Laska memvonisnya kanker otak, semuanya memburuk.
Apakah Yaya akan terus bertahan hidup dengan semua masalah yang ia hadapi?
Bagaimana kalau Gavin ternyata
menyukainya juga tapi terlambat mengatakannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Hampir satu jam Yaya duduk tegak di atas kasurnya. Matanya tidak lepas dari tangannya yang kena darah. Kepalanya masih terasa pening, namun tatapannya kosong kedepan. Ia tak bergeming sama sekali sampai sebuah suara ketukan di depan pintu kamarnya terdengar.
Gadis itu mengangkat wajah dan menatap ke pintu kamarnya yang masih terkunci. Tak ada tanda sama sekali ia akan berdiri. Dirinya hanya menatap lama kedepan tanpa berniat membukanya.
"Yaya."
ia kenal suara itu. Itu suara dokter Laska. Setelah lama diam, ia memilih untuk membuka pintu, membiarkan dokter Laska masuk. Caranya berjalan begitu tidak bersemangat. Siapa juga yang akan bersemangat coba kalau mengalami kejadian seperti tadi?
Saat pintu terbuka, mata dokter Laska membulat besar melihat keadaan gadis itu. Wajah, baju dan tangannya semuanya ada darah yang sudah mulai mengering. Laska lalu bertindak cepat memeriksa bagian yang terluka. Kepala bagian kirinya terluka cukup dalam dan perlu di jahit. Darahnya masih mengucur. Harusnya gadis itu dibawa ke rumah sakit.
Laska tidak punya waktu untuk memikirkan hal itu. Gadis didepannya ini harus ditangani segera, tidak ada waktu lagi ke rumah sakit. Bisa-bisa ia kehabisan darah ditengah jalan. Tangan pria itu meraih lengan Yaya dan membimbingnya duduk di kursi depan meja belajarnya. Kemudian mulai memeriksa kepalanya yang terluka. Setelah memeriksanya, dokter itu mengeluarkan peralatan yang dibawanya untuk mulai menjahit. Pria itu selalu membawa peralatan medis kemanapun dia pergi. Tentu saja karena sudah terbiasa. Apalagi sebagai dokter, mereka harus siap setiap saat.
Lebih dari tiga puluh menit dokter Laska baru menyelesaikan jahitan di kepala Yaya. Empat jahitan dan kakak tiri gadis itu bilang kepalanya hanya tergores? Yang benar saja. Laska menggeleng tak habis pikir. Apa perempuan itu tidak bisa lihat darahnya yang keluar begitu banyak? Yaya bahkan terlihat sangat pucat dan tidak bertenaga sama sekali. Kalau mereka tidak segera menghubunginya, Laska yakin keadaan Yaya akan makin serius.
Laska menatap gadis itu. Ada yang aneh. Semenjak tadi gadis itu tidak bicara bahkan meringis kesakitan sedikitpun. Padahal luka itu pasti rasanya sangat sakit. Tatapan gadis itu kosong, tak balik menatapnya sama sekali. Ada apa ini? Laska jadi penasaran. Apa yang sebenarnys terjadi? Kenapa dia bisa sampai terluka terluka? Apa yang menyebabkan senyuman dan tawa ceria tadi siang yang dilihatnya di RS mendadak hilang dari pemilik wajah manis ini?
Kedua tangan dokter Laska terangkat menyentuh bahu Yaya.
"Kau mau cerita?" tanyanya pelan, tidak memaksa. Ia selalu peduli pada gadis itu karena terlalu banyak orang yang menyia-nyiakan keberadaannya. Ia tahu Yaya punya kesulitan dengan keluarganya. Gadis itu beberapa kali cerita padanya.
Mata Laska turun ke luka di kepala gadis itu yang sudah dia perban. Kalau sampai luka itu akibat perbuatan papanya lagi, pria tua itu sungguh keterlaluan. Bahkan Laska sendiri tak mampu menahan rasa marahnya. Mana bisa ayah kandung sendiri melakukan perbuatan kejam seperti itu?
"Aku ingin sendiri dulu." gumam Yaya pelan. Ia tahu dokter Laska sangat baik padanya. Tapi saat ini ia hanya ingin sendiri. Laska tersenyum, ia pria yang pengertian. Sekali lagi dirinya tidak mau memaksa kalau gadis itu memang belum siap cerita.
"Baiklah, jangan terlalu banyak pikiran." sih dokter menatap Yaya dan mengusap punggungnya pelan.
"Aku akan menjemputmu pulang sekolah besok. Kau harus diperiksa." tambahnya. Sebenarnya Yaya ingin menolak, tapi dokter Laska sangat baik padanya jadi gadis itu hanya mengangguk pelan, setuju-setuju saja.
"Ya sudah. Kalau begitu aku pulang sekarang." pamit sang dokter. Ia menatap ruangan kamar yang serba hitam itu sebentar, lalu keluar.
Yaya mendesah panjang setelah kepergian sang dokter. Ia tiba-tiba teringat Gavin, cowok yang membuatnya ingin terus bertahan hidup. Seulas senyum tersungging di bibirnya. Lupakan kejadian malam ini, itu sudah terbiasa terjadi bukan?
Yaya mengedarkan pandangannya ke tempat tidur lalu melangkah meraih hpnya. Ia mencari kontak Gavin dan menelpon pria itu. Telponnya masuk tapi tidak di angkat. Ia terus menelpon berkali-kali tapi tetap sama. Gavin tidak mengangkat.
Hufftt...
Gadis itu menghembuskan nafas pelan. Sesaat kemudian ia mendapat ide lain. Seingatnya, Bintang sering banget nangkring di rumahnya Gavin. Pasti sekarang cowok itu ada di sana. Tak berhenti di situ saja, Yaya lalu beralih mencari nomor kontak Bintang bermaksud menelponnya tapi terhenti ketika menyadari sesuatu.
Ia memiringkan kepalanya kesamping kiri, melirik sebuah jam besar yang tertempel di dinding. Sudah jam tiga pagi. Gadis itu tersenyum bodoh. Bisa-bisanya ia lupa waktu dan menelpon Gavin di jam begini. Wajar saja tidak di angkat, pasti karena cowok itu sudah tidur. Yaya berusaha menghibur dirinya sendiri dengan berpikir begitu. Ia tahu Gavin memang tidak akan mengangkat telponnya meski lelaki itu belum tidur, karena selama ini memang begitu. Gavin tidak pernah mau mengangkat telponnya satu kali pun. Gadis itu tersenyum kecut, ia merasa menjadi gadis memalukan yang mengemis-ngemis cinta pada laki-laki yang sama sekali tidak menyukainya.
***
"Gue masih heran, kenapa tuh cewek tergila-gila banget sama lo." seru Bintang terus melirik ke hp Gavin yang akhirnya berhenti berdering. Ada sebanyak tiga puluh dua kali panggilan dan nama Yaya di sana yang sengaja di ganti oleh Bintang dengan permen karet. Yah, dirinyalah yang menyimpan nomor hp gadis itu di ponsel Gavin dan sembarangan mengganti namanya. Meski sengaja menjuluki Yaya seenaknya, Bintang masih merasa lumayan peduli karena Gavin sepertinya tidak pernah berniat untuk menyimpan nomor gadis itu. Padahal tuh cowok sendiri yang meminta nomor Yaya beberapa waktu lalu. Dasar cowok aneh. Minta nomor cewek tapi gak berniat di simpan aneh bukan?
Pandangan Bintang berpindah ke Gavin. Mereka berdua masih asyik main game semalaman.
"Lo yakin gak inget apa yang udah lo lakuin sampe dia segitunya ngejar-ngejar lo?" tanyanya memastikan. Gavin menatapnya malas. Ia tak mau memikirkan gadis itu lagi, tidak penting. Ia masih kesal dengan kejadian di atas rooftop, saat dirinya mendapati Yaya tengah berduaan dengan kakak kelas mereka.
"Bukannya sudah jelas." ucapnya datar.
alis Bintang terangkat.
"Maksud lo?" tanyanya bingung. Cowok sepintar Gavin ini suka bicara tidak jelas kalau topik obrolan mereka adalah Yaya.
"Gue ngantuk. Lo pulang gih." balas Gavin lagi tidak berniat menjawab Bintang dan melemparkan diri ke kasur, membiarkan Bintang yang hanya terbengong-bengong menatapnya. Gavin sendiri sudah merasa tidak semangat lagi saat Bintang membahas soal Yaya. Ia melirik ponselnya yang full dengan panggilan tak terjawab dari Yaya. Lalu mendesah panjang.