NovelToon NovelToon
LOVE ISN'T LIKE A JOKE

LOVE ISN'T LIKE A JOKE

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Office Romance / Slice of Life
Popularitas:975
Nilai: 5
Nama Author: Yhunie Arthi

Ayuni dan kedua temannya berhasil masuk ke sebuah perusahaan majalah besar dan bekerja di sana. Di perusahaan itu Ayuni bertemu dengan pria bernama Juna yang merupakan Manager di sana. Sayangnya atasannya tersebut begitu dingin dan tak ada belas kasihan kepada Ayuni sejak pertama kali gadis itu bekerja.

Namun siapa sangka Juna tiba-tiba berubah menjadi perhatian kepada Ayuni. Dan sejak perubahan itu juga Ayuni mulai mendapatkan teror yang makin hari makin parah.

Sampai ketika Ayuni jatuh hati pada Juna karena sikap baiknya, sebuah kebenaran akan sikap Juna dan juga teror tersebut akhirnya membawa Ayuni dalam masalah yang tak pernah ia sangka.

Kisah drama mengenai cinta, keluarga, teman, dan cara mengikhlaskan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yhunie Arthi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 8. SERANGAN

..."Aku pernah berharap di masa lalu...

...Akan sesuatu yang tidak boleh kumiliki...

...Aku pernah menaruh hati di masa lalu...

...Akan seseorang yang tidak ditakdirkan untukku...

...Dan saat ini aku kembali pada titik itu...

...ke masa dimana aku kembali berharap...

...Kali ini bolehkah takdir berpihak padaku?"...

Aku lupa kalau ada orang yang sedang mengikutiku, alasanku kenapa hendak ke kantor polisi. Tapi, aku tidak berpikir kalau orang itu akan bertindak. Bagaimana ini? Jalanan di sekitarku sepi, tidak banyak orang berlalu lalang. Bahkan ini bukan jalan raya, hanya jalan pintas yang biasa angkutan umum atau bis lewat.

Otakku terus berpikir dalam waktu yang amat sangat singkat. Melakukan simulasi tentang apa yang harus kulakukan dengan kemungkinan berhasil paling besar.

Aku mencoba berontak, berusaha melepaskan diri dari bekapan tangannya. Sayang, tenaga orang ini cukup kuat, membuatku menduga kalau ia adalah pria, jelas sekali dari perawakannya dan body build. Apakah ia seorang kriminal, atau penjahat yang melakukan pelecehan seksual? Aku harus bagaimana sekarang?

Kugigit tangannya yang bersarung kulit hitam, menginjak kakinya ketika pria itu mengendurkan pegangannya padaku. Aku terjatuh ke permukaan semen yang dingin, menahan tubuhku dengan kedua tangan sebelum wajahku sepenuhnya menghantam permukaan keras. Aku berdiri sesegera mungkin dan melarikan diri.

Namun, belum sempat melarikan diri cukup jauh, pria itu kembali mendapatkanku. Ia menarik keras rambut yang kuikat ekor kuda dan menggamit leherku dengan sebelah tangannya. Bisa kurasakan napasku tertahan, tercekik secara tidak langsung dalam himpitan siku dalamnya. Kucoba memukul-mukul tubuh pria itu agar melepaskanku, berjuang bernapas dengan sisa oksigen terbatas.

“To ... long,” ucapku dengan suara tercekat dan hanya terdengar olehku. Hanya itu suara yang mampu kukeluarkan dalam kondisiku sekarang.

Apakah aku akan mati di sini?

“Ayuni?!”

Bersamaan dengan suara itu, seseorang menerjang pria yang menahanku. Semua seolah berlangsung cepat, bertanya-tanya apa yang terjadi. Tubuhku terlempar kembali ke permukaan trotoar, terlepas berkat orang yang menolong.

Kuambil napas banyak-banyak, mengisi paru-paruku yang nyaris kosong karena cekikan tadi. Kulihat sosok tinggi yang amat kukenal saat ini sedang berkelahi dengan pria berjaket kulit hitam dengan topi senada. Wajahnya nampak marah, benar-benar marah. Ekspresi yang tidak pernah kulihat dari seorang Andre.

“Ayuni?” suara lain terdengar memanggil namaku.

Kulihat Bos Juna berlari ke tempatku berada dari dalam mobil yang ia parkir di pinggir jalan. Wajahnya begitu cemas dan ketakutan, mungkinkah ia mendengar suara teriakanku dari handphone yang kini entah bagaimana nasibnya.

“Kamu nggak apa-apa? Apa yang terjadi?” tanyanya panik, melihat seluruh tubuhku untuk memastikan aku baik-baik saja.

Aku mengangguk, masih memeroses apa yang baru saja terjadi. Semuanya berlangsung dengan cepat hingga otakku belum sempat mencerna kejadian yang menimpaku saat ini.

Mataku melihat ke arah Andre yang masih bertarung dengan pria tak dikenal itu. Pertama kalinya aku melihat mimik wajah Andre serius dan penuh amarah. Memukuli pria berpakaian serba hitam itu berkali-kali seperti seorang petinju profesional.

Kulihat Andre terjengkang ke belakang karena tendangan dari pria penjahat itu sebelum akhirnya pria itu melarikan diri dengan cepat dan menghilang di tikungan.

"Jangan dikejar, Ndre!" seru Bos Juna ketika melihat Andre hendak mengejar pria beratribut hitam-hitam itu. "Takutnya dia buat jebakan dan kamu kenapa-napa," sambungnya.

Andre berhenti dan setuju dengan Bos Juna kemudian melihat ke tempatku berada, lalu berlari hingga ia berada di hadapanku dan juga Bos Juna. “Kamu nggak apa-apa? Apa ada yang luka? Ada yang sakit?” tanyanya.

Kugelengkan kepalaku. “Makasih udah nolong,” kataku dengan suara tercekat dan bergetar, memberitahu kalau peristiwa tadi cukup membuatku ketakutan.

Aku baru sadar kalau aku gemetaran, rasa takut masih menggerayangiku. Kuusap air mata yang meluncur begitu saja tanpa kumau, merasa lega karena tidak terjadi apa-apa padaku berkat Andre. Aku benar-benar takut tadi ketika pria itu menahanku, membayangkannya saja sudah membuatku mual.

“Sebaiknya aku anter kamu pulang. Andre kamu baik-baik aja?” tanya Bos Juna pada salah satu anak buah yang biasanya selalu berulah.

“Saya baik-baik saja, Bos. Biar saya yang anter dia pulang,” kata Andre yang melihatku lekat, tidak melepaskan pandangannya sekali pun dariku. Wajahnya menunjukan kalau ia masih cemas dengan yang terjadi barusan.

“Biar saya yang anter. Bisa bangun?” Bos Juna membantuku berdiri, tahu kalau kakiku masih cukup lemas karena terlalu takut. Ia tidak mengindahkan ucapan Andre.

“Andre, makasih. Kalau nggak ada lo gue nggak tahu bakal kayak mana. Sekali lagi makasih,” kataku tulus, berusaha tersenyum walau gagal.

“Sama-sama. Isthirahat dan buat diri lo nyaman, lo nggak perlu takut lagi. Kalau ada apa-apa lo bisa telepon gue,” ujar Andre dengan senyum getir di wajah.

Aku teringat akan nasib handphone-ku. Mataku nanar mencari benda persegi yang terjatuh entah dimana.

Andre sepertinya mengerti apa yang sedang kucari, dengan berbaik hati ia mengambilkan smartphone yang tak jauh darinya berdiri. Ia memberikannya padaku.

“Gue rasa itu rusak,” kata Andre. Dan memang benar karena bisa kulihat layarnya pecah tak berbentuk lagi.

“Ayo pulang,” suruh Bos Juna yang menggiringku ke mobil hitamnya.

Kuikuti Bos Juna, membiarkan ia membantuku duduk di kursi penumpang. Ada yang tidak kumengerti ketika mataku menangkap hal tidak biasa dari Bos Juna dan juga Andre. Mereka saling menatap dengan pandangan tidak senang, layaknya harimau melihat harimau lain masuk teritorinya. Namun, aku tidak bisa berpikir jernih untuk memikirkan hal yang tidak penting.

Bos Juna melepaskan jaket navy-nya dan menyelimuti tubuhku setelah ia memasangkan sabuk pengaman. Ia bahkan menurunkan sedikit kursinya ke belakang, menyuruhku santai dan tidak memikirkan hal menakutkan tadi.

Setelah dirasa cukup, Bos Juna langsung melajukan mobilnya menembus jalanan.

Wajahnya masih terlihat tegang, cemas hingga ia sering sekali melihat ke arahku untuk memastikan aku baik-baik saja dan tenang.

Setelah beberapa lama aku tidak lagi gemetar, aku bisa mengendalikan diriku kembali seperti sedia kala. Walaupun bayangan akan penyerangan tadi masih terbayang di pikiranku dan membuat rasa takut bangkit pelan-pelan. Kurasa pengutit itu tahu kalau aku menyadari kehadirannya hingga ia bertindak nekad. Aku tidak tahu apa yang pria itu inginkan, kenapa ia mengawasiku dan berani melakukan penyerangan di tempat seterbuka itu.

“Kenapa kamu jalan ke arah sana? Ada urusan apa kamu malem-malem kayak gini?” tanya Bos Juna serius. Ada kilat marah di netra obsidian miliknya, namun ia menahannya dengan baik.

“Saya mau ke kantor polisi,” jawabku singkat.

“Kantor polisi?” Kepala Bos Juna langsung mengarah ke arahku, penasaran akan kalimat yang kukatakan. “Ada masalah apa kamu sampai mau ke kantor polisi?” sambungnya.

“Saya ingin buat laporan kalau ada orang yang ngikutin saya, dan bisa jadi orang yang nyerang tadi itu penguntitnya." Takut-takut mengatakan hal tersebut, mengingat aku tidak pernah mengatakan kepada siapa pun tentang masalah penguntit ini.

“Penguntit?” Wajah Bos Juna benar-benar terkejut, seolah aku baru saja memukul kepalanya dengan keras. “Sejak kapan kamu diikutin orang?”

“Awal-awal saya kerja,” jawabku.

Decitan mobil terdengar, bersamaan Bos Juna banting stir hingga mobilnya berhenti tepat di pinggir jalan. Aku bahkan nyaris berteriak saat Bos Juna melakukan hal seberbahaya itu. Ia melihatku dengan keterkejutan dan rasa tidak percaya, mungkin lebih tepatnya marah.

“Kamu diikutin orang udah sebulan ini dan kamu nggak ngelakuin apa-apa? Kamu nggak kasih tahu orang lain?” Aku bergidik ngeri sekarang mellihat matanya yang memadangku. Bos Juna murka.

Kugelengkan kepalaku. “Awalnya saya nggak tahu kalau dia penguntit. Tapi beberapa minggu ini saya sadar kalau ternyata saya diawasin dan saya nggak lapor ke polisi karena saya nggak punya bukti. Bisa-bisa saya dibilang bohong kalau saya diikutin. Tapi kemaren orang itu deket bener, saya takut makanya hari ini saya mau lapor ke polisi. Nggak ada yang tahu, saya nggak cerita ini ke siapa-siapa karena saya juga takut nggak ada yang percaya.”

Bos Juna mencengkeram pundakku, amarah menguasainya seolah ia tidak suka dengan caraku menyembunyikan kebenaran ini.

“Senggaknya kamu bisa bilang ke saya, Ayuni! Kamu tahu betapa bahayanya itu?! Kayak mana kalau tadi nggak ada Andre dan saya telat dateng, kamu bisa kenapa-napa!” amuknya.

Aku terkejut mendengar nada suara Bos Juna meninggi, ia terlihat cukup menyeramkan. “Ma-maaf, saya nggak tahu kalau dia bisa sejauh itu. Saya kira dia cuma orang iseng aja.”

Bos Juna menatap wajahku lekat, perlahan pandangannya melembut. Wajahnya tertunduk, berusaha menenangkan dirinya dari amarah yang membuatku kembali terlihat ketakutan. “Kamu nggak tahu kayak mana takutnya aku pas denger suara teriakan kamu di telepon,” gumamnya.

“Saya minta maaf. Saya sadar kalau hal buruk tadi terjadi, citra perusahaan pasti bakal buruk.” Aku benar-benar menyesal karena tidak bisa menjaga diri dengan baik, seharusnya aku berhati-hati.

“Saya nggak peduli dengan citra perusahaan, itu bisa diatasin. Saya mikir kalau kamu kenapa-napa dan saya nggak bisa nolong sama sekali. Semua usaha saya bakal sia-sia. Saya benar-benar bersyukur karena kamu selamat,” ujarnya tidak main-main, terlihat keseriusan dalam pandangannya. Ada rasa sakit dan tersiksa di matanya, aku tidak tahu apakah itu karena aku atau hal lain.

Aku tidak bisa mengatakan apapun. Aku tidak cukup bisa bersikap tenang dan baik-baik saja sekarang, entah ucapan dan emosi apa yang harus kuperlihatkan. Perasaanku benar-benar kacau.

“Mulai besok, saya nggak ngebiarin kamu pulang sendirian. Kamu harus nunggu saya dan saya anter, saya nggak mau hal ini terulang lagi. Saya nggak mau ngerasa takut kayak tadi, untuk kali ini dengerin saya, oke. Jangan pernah pergi kemana pun sendirian, kamu bisa minta temenin dua temen kamu itu, kalian satu rumah dan sudah kenal sejak SMA, jadi kamu bisa aman dan bisa ada yang minta pertolongan kalau sesuatu terjadi lagi,” katanya panjang lebar.

"Mana mungkin aku ngebuat atasanku anter aku setiap hari, itu berlebihan," protesku. Tentu saja itu juga akan memicu hal-hal tak diinginkan seperti gosip di kantor jika sampai ada yang melihat kalau aku sering sekali di antar pulang oleh atasanku sendiri.

"Kamu pikir setelah apa yang terjadi sama kamu barusan, saya bakal biarin kamu pulang sendirian aja? Saya khawatir sama kamu, Ayuni. Rasanya tadi saya seperti orang gila, lari dan terus berdoa agar kamu baik-baik aja. Kalau sesuatu terjadi sama kamu, menurutmu bagaimana orang-orang sekitarmu? Teman-teman kamu? Kakak kamu? Andre dan yang lainnya di kantor?" jelasnya dengan nada luar biasa lembut.

Aku menatap wajahnya cukup lama, mencoba memahami sikapnya ini. Jujur aku merasa takut sekarang. Bukan tentang apa yang baru saja terjadi atau hal yang Bos Juna katakan barusan. Tapi aku takut akan sikap lembutnya ini, mengingatkanku akan masa lalu. Membangkitkan kembali hal yang tidak ingin kuingat. Seakan kelembutan seperti ini dari lawan jenis menjadi trauma tersendiri untukku setelah apa yang terjadi dulu.

Aku tidak ingin berharap.

Aku tidak ingin membuka pintu yang telah lama kukunci dengan susah payah

Aku tidak ingin ... jatuh cinta lagi.

"Saya mohon, Ayuni. Biarin saya anter kamu pulang, ya. Saya benar-benar nggak mau sesuatu terjadi sama kamu," pintanya dengan nada selembut satin.

Tidak mungkin aku menolak permintaannya. Air muka dan kilatan netranya jelas memberitahuku betapa khawatirnya dia. Seakan apa yang terjadi padaku menjadi momok menakutkan bagi Bos Juna. Lagipula aku belum merasa aman setelah melihat penguntit itu berhasil melarikan diri. Pria itu masih ada di luar sana, dan bisa kapan saja datang lagi untuk menyerangku seperti tadi.

"Hei, hei, tenang. Kamu udah aman, Ayuni. Orang itu udah pergi," ucap Bos Juna yang mengejutkanku karena bersikap cemas lagi tiba-tiba.

Dan aku baru sadar, kalau aku kembali gemetar sambil memeluk tubuhku sendiri. Respon otomatis akan rasa takut ketika mengingat kejadian barusan dan tersangkanya masih ada di luar sana.

"Tenang, oke. Inilah alasan kenapa saya minta untuk yang anter kamu pulang setelah bekerja. Kamu masih belum bisa tenang dan paranoid setelah yang terjadi sama kamu. Jadi nggak masalah, kan. Mas anter kamu pas pulang kerja, demi keselamatan dan mental kamu sendiri," pintanya lagi, cukup logis mengingat aku yang ternyata sepertinya masih cukup ketakutan akan pria misterius itu.

"Baik," jawabku akhirnya. Tidak bisa lagi menolak dengan segala kenyataan kalau aku memang butuh bantuannya.

"Good girl. Sekarang kita pulang, kamu butuh istirahat biar lebih tenang," katanya seraya menepuk pelan pucuk kepalaku.

Bos Juna kembali melajukan mobilnya setelah aku menerima yang ia inginkan. Ia kembali pada sikap tenangnya, membiarkanku isthirahat selama perjalanan agar bayangan mimpi buruk itu sirna dari benak.

Akan tetapi, ada satu hal yang mengganjal pikiranku.

Bagaimana Bos Juna tahu kalau aku tinggal serumah dengan Rini dan Dini, bahkan ia tahu kalau kami berteman sejak lama? Aku berani bersumpah kalau aku atau pun Dini dan Rini tidak pernah sekali pun mengungkit bahwa kami tinggal bersama dalam satu atap ketika di tempat kerja.

1
aca
lanjut donk
Yhunie Arthi: update jam 8 malam ya kak 🥰
total 1 replies
aca
lanjut
Marwa Cell
lanjut tor semangatt 💪
Lindy Studíøs
Sudah berapa lama nih thor? Aku rindu sama ceritanya
Yhunie Arthi: Baru up dua hari ini kok, up tiap malam nanti ☺️
total 1 replies
vee
Sumpah keren banget, saya udah nungguin update tiap harinya!
zucarita salada 💖
Akhirnya nemu juga cerita indonesianya yang keren kayak gini! 🤘
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!