Rosa kembali ke Bandung setelah enam tahun menghindari Papa dan Rama, Kakaknya. Selain kembali beradaptasi dengan sekolah baru dan menguatkan hatinya untuk bertemu Rama, Rosa yang kaku juga dikejutkan dengan kedatangan Angkasa. Kakak kelasnya yang adalah anggota geng motor.
Perasaannya dibuat campur aduk. Cinta pertamanya, kebenciannya pada Rama dan Papa, juga rasa kehilangan yang harus kembali dia rasakan. Bagaimana Rosa yang sulit berekspresi menghadapi semuanya?
Apakah Rosa bisa melaluinya? Apakah Rosa bisa mengembalikan perasaan damainya?
Update setiap hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noey Ismii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pindahan
Hari ini Rama kembali menghuni kamar lamanya. Dia membawa semua barangnya dari tempat kos di dekat sekolah. Tempat yang setahun terakhir menjadi tempat pulangnya. Dan sekarang, dia kembali ke rumah karena permintaan Rosa.
Betapa senang sekali hati Rama mengingatnya.
Kamarnya dan kamar Rosa bersebelahan. Kamar dengan kamar mandi masing-masing. Dengan besar yang sama dan menghadap taman belakang yang sama. Kamar itu kembar.
Setelah mengantar pulang Rosa, Rama langsung membereskan semua barangnya. Dibantu Sandy, temannya sejak masuk SMA. Sandy mengeluh karena tidak punya tempat untuk kabur lagi.
“Masih bisa lah kamu kabur kesini,” kata Rama. Mengingat Papa sudah membayar untuk setahun kedepan. “Cuma udah gak ada barang-barang ini aja,” lanjut Rama mengepak buku-bukunya.
“Asik lah masih bisa jadi base camp buat ngumpul,” Sandy berdiri mengambil kotak berisi alat-alat dan kabel-kabel charger. Mengumpulkannya dengan tumpukan dus yang lain.
Sandy kemudian menumpuk kotak-kotak sepatu. Mereka selesai cepat karena memang tidak terlalu banyak barang yang Rama punya. Kamar kosnya sudah hampir kosong saat mobil pindahan datang. Sopir dan tukangnya mulai mengangkut satu per satu kotak ke atas mobil colt.
Ruangan itu tidak benar-benar kosong, seperti saat pertama kali Rama masuk. Kamar full furnish dengan lemari, tempat tidur, kasur, dan kamar mandi di dalam kamar. Rama tersenyum. Semoga ini awal yang baik untuknya, untuk papa, terutama untuk Rosa. Rama sangat berharap.
Sandy pamit setelah mereka selesai mengangkut kembali barang-barang yang tidak banyak itu ke dalam rumah. Ke dalam kamar Rama.
“Kabarin aja kalau ada apa-apa,” kata temannya itu sambil menepuk pundak Rama. Sandy tahu ada sesuatu pada Rama yang tidak bisa diberitahukan padanya.
Tentu saja, siapa juga yang punya rumah di Bandung, sekolah tidak terlalu jauh, tapi memilih untuk ngekos? Kalau memang gak ada apa-apa? Gak mungkin! Tapi Sandy membiarkan saja begitu. Dia pikir, Rama akan bercerita jika sudah saatnya.
Sekarang dia hanya perlu jadi teman saja. Teman yang baik.
Rama mengangguk, “Nuhun pisan nih udah dibantuin pindah, San,” katanya tulus.
Sandi nyengir, “Biasalah sebungkus,” katanya.
“Tuh kacang sebungkus!” jawab Rama. Dia tidak pernah setuju temannya itu terikat dengan batang asap itu. “Besok traktir makan aja lah, gak ada sebungkus-sebungkus!” tolak Rama tegas.
Cengiran Sandy makin menjadi, “Punya temen galak pisan kayak singa,” katanya sambil berlari keluar. Sebelum Rama semakin menjadi memberinya petuah-petuah.
Rama bertolak pinggang melihat temannya yang sudah kabur itu. Terdengar bunyi motor Sandy yang semakin menjauh.
“Baru mau dibawain makan sama Bu Asih, A Rama, temennya udah pulang?” tanya Bu Asih yang berjalan mendekati Rama. Tangannya membawa nampan dengan seteko jus jeruk dan dua buah gelas.
“Dia gak tahan mau sebat, Bu, jadi kabur,” jawab Rama. Dia tersenyum sambil menerima nampan dari tangan Bu Asih, “Makasih ya, aku mau minum sama Rosa,” katanya dengan senyum lebar.
Bu Asih mengangguk. Sejak Rosa pindah kesini, dia hanya beberapa kali berbicara dengan gadis itu. Bu Asih ingat betul bagaimana Rosa dulu. Anak gadis yang ceria dengan cengiran khasnya saat mengganggu kakaknya, cerewetnya saat Papanya pulang kerja, dan patuhnya dia pada Mamanya.
Bu Asih juga masih ingat bagaimana senyum manis Rama saat Papa membelikan mobil-mobilan baru dan bilang dia akan jadi anak yang baik, bagaimana Rama mengadu saat Rosa kembali menggeser jalan untuk mobil-mobilannya, bagaimana Rama menyayangi adiknya itu, dan bagaimana Rama sering mencium pipi Mama.
Tapi semuanya jadi begini. Sebagai saksi hidup keluarga ini, Bu Asih sungguh berdoa, berharap agar keluarga tempatnya bekerja dan keluarga yang memperlakukannya dengan baik itu segera pulih. Segera menjadi utuh kembali.
“Bu Asih kok ngelamun?” tanya Rama. Dia tersenyum di depan Bu Asih.
Wanita paruh baya itu tersenyum, “Semoga berhasil dengan Neng Rosa,” katanya sambil menepuk pundak Rama dan berlalu ke dapur. Bu Asih sedang menyiapkan makan malam.
Rama masih tersenyum, melupakan barang-barangnya yang harus dibereskan, dia mengetuk pintu kamar Rosa.
“Sa, temenin ngadem yuk, capek nih udah pindahan,” katanya dengan satu tangan memegang nampan.
Tak ada jawaban.
Rama sekali lagi mengetuk pintu, “Rosaaa, main yuk,” panggilnya dengan nada.
Masih tidak ada jawaban.
“Kalau gitu aku buka pintunya nih,” Rama masih mencoba. Tapi masih sepi.
Jadi Rama menyimpan nampan jus jeruknya, kemudian membuka pintu kamar Rosa. Kosong. Hanya terdengar suara air yang berasal dari kamar mandi.
“Aku tunggu di belakang ya, Sa,” teriaknya agar Rosa mendengar dari dalam kamar mandi.
Cowok itu keluar sambil menutup kembali pintu kamar. Dia bersiul sambil membawa nampan jus jeruk di tangannya. Menit berikutnya dia kembali masuk ke rumah untuk mengambil sekaleng keripik singkong.
Ada sofa panjang dengan busa tebal yang empuk mengelilingi sebuah meja kotak di dalam gazebo di belakang rumah. Dengan kain-kain menjuntai sebagai tirai angin. Gazebo yang cukup besar. Dikelilingi oleh bunga hydrangea yang saat ini belum berbunga. Rama membawa dirinya masuk dan duduk di salah satu kursi.
Dia tidak berharap Rosa akan datang.
Sedikit-sedikit, pikirnya. Rosa masih memasang dinding tebal dan tinggi. Dia dan Papa harus sedikit demi sedikit mengikis dinding itu. Dinding tempat Rosa besembunyi selama ini. Tidak masalah meskipun harus memakan waktu yang lama. Dia akan begitu sabar menghadapi Rosa.
Lebih dari itu, Rama sadar, dialah yang sudah membawa Rosa pada kehampaannya sekarang. Rama menyadarinya, itu memang salahnya. Itulah yang membuatnya terlalu sadar diri dengan apa yang terjadi. Juga yang membuatnya keluar rumah dan membuatnya menerima semua perlakuan Rosa padanya.
Bencinya.
Yang paling ia terima adalah kebencian Rosa padanya.
Langit malam ini hitam tanpa bintang, senja sudah menjalankan tugasnya sejak tadi. Lampu taman sudah menyala semuanya. Temaram, tapi membuat taman bunga itu semakin cantik. Di dakam gazebo ini juga sudah terang dengan warna putih yang redup.
Rama menuangkan minumnya. Es batu di jus jeruk sudah semuanya meleleh. Dan dia hampir menghabiskan setengah kaleng keripik, sampai dia melihat Rosa berjalan kearahnya.
Rambut Rosa kembali di kepang samping. Dia sudah memakai baju tidur, warnanya sage. Kaki Rosa yang memakai sandal rumah melangkah menapaki batu-batu yang menjadi jalur menuju gazebo. Dia berdiri di depannya, merapatkan cardigan rajutan berwarna krem.
Rama terpana sebentar, adiknya terlihat berbeda dengan yang biasa dilihatnya di foto. Rosa terlihat lebih cantik jika dilihat langsun
Gazebo itu masih sama juga. Rosa bisa melihatnya dari kamar. Sofa-sofa dan bantal empuknya pernah didudukinya saat menunggu Mama menanam bunga dan rempah juga tomat. Tirai-tirai putihnya melambai-lambai diterpa angin. Lampu dengan cahaya hangat sudah menerangi sekeliling gazebo juga di seluruh taman belakang. Tapi tidak menambah hangat suasana.
Rosa merapatkan cardigan, “Ada apa?” tanyanya datar.
“Sini,” ajak Rama sambil menepuk sofa di sampingnya.
Rosa melangkah masuk bangunan kayu itu, kemudian duduk di ujung paling jauh dengan Rama. Bibir Rama langsung melengkung ke bawah. “Kok jauh banget, kan aku mau ngobrol,” ucapnya dengan nada sedih.
“Gak usah masuk kamar aku lagi,” kata Rosa tanpa mempedulikan ucapan Rama. Matanya menatap keluar gazebo. Lurus ke arah lengkungan mawar.
“Oke. Maaf deh, kamu gak jawab apa-apa sih. Aku kira kamu pingsan di kamar.”
Jawaban Rama membuat Rosa menoleh ke arahnya, kemudian menggeleng tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
Rama tersenyum saat Rosa menatapnya. “Aku udah pindah,” katanya kemudian.
“Terus?”
“Jadi kamu gak perlu cari-cari aku. Aku udah ada di sini,” jawab Rama.
“Kayak mau aku cari aja.”
“Kan kalau mau cari.”
Rosa hanya menggeleng kecil.
“Jadi kita bisa pulang dan pergi sekolah bareng lagi,” ucap Rama lagi.
Rosa menatap dengan pandangan bertanya.
“Kayak dulu kita kecil,” kenang Rama. Dia menatap Rosa yang masih melihatnya juga.
“Gak penting banget sih,” kata Rosa sambil bangun dari duduknya.
“Penting dong, Sa.”
“Gak penting. Aku bisa berangkat sendiri. Bisa pulang sendiri juga.”
“Sa, duduk dulu,” pinta Rama.
Rosa kembali mengempaskan dirinya di atas sofa. Dia sudah lupa dengan tempat ini. Ternyata masih sama seperti dulu.
“Mau minum?” tanya Rama.
Rosa menggeleng.
Tangan Rama kembali menyimpan gelas yang diulurkannya. “Kalau ada apa-apa kasih tau aku, ya?” pintanya kemudian.
“Dih, kepo,” sinis Rosa.
Rama tertawa, “Kalau kamu kesulitan, maksudnya. Kamu bisa cari aku kapan aja.”
“Gak usah. Aku gak suka cari ribut.”
“Kalau ribut yang nyariin kamu, gimana?”
Rosa tidak percaya dengan pertanyaan kakaknya. Dia menyentakan kakinya, lalu pergi tanpa bersuara lagi.
Rama tertawa. Dia senang melihat adiknya terganggu seperti itu. Rosa yang biasanya tidak berekspresi, mulai menunjukannya di depan Rama.
“Kalau ada yang kamu mau, bilang aja ya,” kata Rama setengah berteriak karena Rosa sudah mau sampai di pintu kaca ruang keluarga yang memang jadi pintu penghubung ke taman belakang.
Rama tahu Rosa sudah mendengarnya. Dia tersenyum.
“Ayo kembali seperti dulu, Rosa,” bisiknya pelan. Rama tahu hanya angin yang sekarang bisa mendengarnya.
-o0o-