Aluna, gadis berusia delapan belas tahun dengan trauma masa lalu. Dia bahkan dijual oleh pamannya sendiri ke sebuah klub malam.
Hingga suatu ketika tempat dimana Aluna tinggal, diserang oleh sekelompok mafia. Menyebabkan tempat itu hancur tak bersisa.
Aluna terpaksa meminta tolong agar diizinkan tinggal di mansion mewah milik pimpinan mafia tersebut yang tak lain adalah Noah Federick. Tentu saja tanpa sepengetahuan pria dingin dan anti wanita itu.
Bagaimana kehidupan Aluna selanjutnya setelah tinggal bersama Noah?
Langsung baca aja kak!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 18
Melihat Aluna yang diam setelah mendengar penjelasannya, membuat Yasmin bingung dan ingin bertanya. Semalam apa yang dilakukan mereka berdua saat berada di dalam satu kamar yang sama.
Namun, semua Yasmin urungkan. Mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk menanyakan hal itu.
“Tadi Bibi bilang pemilik mansion ini siapa?”
“Kamu penasaran padanya? Apa karena Tuan Noah sangat tampan?”
Aluna mencebik kesal. Ia hanya bertanya dan Yasmin malah mengejeknya. Mana dia tahu Noah itu tampan atau tidak, semalam ia hanya samar-sama saat melihat wajahnya.
Justru yang terlihat jelas di mata Aluna adalah bayangan samar yang tergantung di depan matanya dan juga…
‘Yak! Kenapa aku jadi mengingat benda itu, sih? Astaga besar sekali, sampai terngiang-ngiang begini!’ gumamnya dalam hati.
Sesaat kemudian, Aluna mencoba mengingat nama Noah yang sejak tadi terlintas di dalam pikirannya. Nama yang tidak begitu asing baginya.
Dan hasilnya nihil. Kepalanya malah terasa sakit dan pusing.
“Luna, kamu baik-baik saja kan?”
“Aku tidak tahu, Bibi. Sepertinya aku pernah mendengar nama Noah, tapi di mana… aku lupa.”
“Sudahlah, sebaiknya sekarang kamu mandi. Setelah itu sarapan dan minum obatmu. Biar aku yang membereskan kamar Tuan Noah,” ucap Yasmin.
Aluna mengangguk. “Terima kasih Bibi. Maaf selalu merepotkan mu.” lalu turun dari atas tempat tidur, kembali menuju kamarnya yang ada di rumah belakang.
Sedangkan Yasmin, menyuruh beberapa pelayan untuk membawakan sprei juga selimut baru ke kamar Noah.
****
Pagi ini wajah Noah terlihat kusut. Kedua matanya memerah dengan bulatan hitam yang tercetak di bawah matanya.
Ya, semalaman pria itu tidak bisa tidur. Karena ranjangnya dipakai oleh Aluna. Badannya terasa remuk, karena harus menunggu dan mengawasi gerak gerik gadis itu dari atas sofa.
Bodoh sekali, bukan? Seharusnya Noah menyuruh pelayan untuk memindahkannya. Lalu kenapa tidak ia lakukan?
Vincent yang tiba-tiba masuk, meletakkan setumpuk berkas di depan pria yang sedang memijat pangkal hidungnya itu.
“Apa ini?”
“Kenapa anda masih bertanya? Tentu saja ini berkas yang harus anda periksa dan anda tanda tangani,” jawab Vincent.
Belum sembuh sakit kepalanya, sekarang Noah dipusingkan dengan berkas yang begitu banyak di atas mejanya. “Lalu apa gunanya kamu ada di sini Vin!”
“Saya?” Vincent menunjuk dirinya sendiri. “Tentu saja saya hanya bertugas mengawasi anda. Jika tanda tangan saya dari dulu itu berharga dari tanda tangan anda, saya yang akan melakukan sendiri, Tuan. Tapi sayangnya, tidak!” ucapnya dengan santai.
Senang sekali bisa membuat seorang Noah mengerang kesal begini. Biasanya Vincent yang akan direpotkan, tapi sekarang bos sekaligus sahabatnya itu yang akan merasakan penderitaannya.
“Benarkah? Atau kamu ini sebenarnya sudah bosan hidup, hum?” Noah menarik laci mejanya lalu mengambil sebuah pistol dan mengarahkannya pada asisten pribadinya yang ngelunjak itu.
“Eittss! Anda jangan macam-macam, Tuan. Saya bisa melaporkan semuanya nya pada tuan besar, kalau anda menolak untuk menandatanganinya,” ancam Vincent sambil merogoh ponsel dan menunjukkannya pada Noah.
“Sialan! Lama-lama kamu terlihat seperti seorang penjilat, Vincent!” kesalnya.
Noah kembali duduk dengan dada bergemuruh. Lagi-lagi tua bangka itu mengatur dirinya seenak jidat. Noah kemudian mengambil salah satu berkas, mulai membukanya dan memeriksanya.
Gerakan tangannya terhenti saat membaca apa isi yang tertulis dalam berkas itu.
“I—ini...” ucapnya dengan terbata.
“Ya, itu adalah surat kepemilikan harta warisan milik tuan besar yang akan diberikan hanya pada anda dan bukan saudara kembar anda.” Vincent sengaja meletakkan berkas penting itu pada tumpukan paling atas agar Noah membacanya lebih dulu.
“Akhirnya tua bangka itu menyerah dan memberikannya juga padaku. Aku sangat membutuhkannya untuk menguasai—”
“Jangan senang dulu, Tuan. Anda belum membacanya sampai selesai, bukan?” ucap Vincent mengingatkan. “Setelah ini Anda akan lebih terkejut.”
“Apa maksudmu?” tanya Noah kemudian kembali membaca berkas itu sampai selesai.
Hingga beberapa menit kemudian…
Noah reflek berdiri dan menggebrak meja dengan kedua tangan. Wajahnya terlihat begitu emosi hingga tidak tahu harus meluapkan amarahnya pada siapa.
‘Untung saja aku sudah latihan kemarin. Jadi sekarang tidak kaget saat es batu ini marah dan menggebrak meja.’ Vincent tersenyum dalam hati.
“Dasar tua bangka sialan! Sudah tua dan bau tanah masih saja merepotkan ku! Bagaimana bisa dia menyuruhku menikah dengan gadis yang masih perawan dan dari keluarga miskin yang tidak punya apapun?” geram Noah melirik tajam Vincent.
“Persyaratan macam apa ini, Vin! Argh, brengsek!” umpatnya mengusap wajah frustasi.
Bukan tanpa alasan Noah menginginkan harta warisan kakek angkatnya, karena pria itu memiliki satu-satunya aset yang tidak dimiliki Noah maupun Reinhard, ayahnya. Jadi, Noah membutuhkan itu untuk menguasai bisnis pasar gelap dan memperluas daerah kekuasaannya.
Sakit hati, kecewa, dan juga tidak pernah dianggap kehadirannya membuat Noah berambisi seperti sekarang.
“Aku harus mencari cara lain selain menikah,” gumamnya.