Buku Merah Maroon seolah menebar kutukan kebencian bagi siapapun yang membacanya. Kali ini buku itu menginspirasi kasus kejahatan yang terjadi di sebuah kegiatan perkemahan yang dilakukan oleh komunitas pecinta alam.
Kisah lanjutan dari Rumah Tepi Sungai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bung Kus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kerupuk Kulit Nikmat
Tangga besar di ujung ruang tamu bergema. Suara langkah kaki dan ketukan tongkat Mak Ijah dari lantai atas terdengar jelas. Perlahan turun menapaki anak tangga satu persatu. Ada bunyi langkah kaki lirih mengikutinya.
Gery dan Nana tidak berkedip menatap tangga. Hingga muncul sosok Mak Ijah dengan raut wajahnya yang kaku mendahului seseorang berbaju putih bersih. Sebuah pemandangan kontras tersaji di depan mata Gery dan Nana.
Berbeda dengan ekspresi Mak Ijah yang menyeramkan, seorang perempuan cantik bak bidadari berjalan anggun menapaki tangga. Kulitnya yang putih bahkan nyaris sama dengan baju blues panjang yang dikenakan. Senyumnya merekah dari bibir merah muda berkilauan. Aura perempuan itu benar-benar menyejukkan.
"Hallo, saya Anggun," ucap perempuan cantik mengulurkan tangan pada Gery dan Nana yang berdiri terpaku di ujung sofa. Gery nyaris tidak berkedip. Nana pun takjub. Aroma melati dari tubuh ramping Bu Anggun menguar di udara.
"Ah, saya Nana Bu," balas Nana menerima uluran tangan Sang tuan rumah.
"Saya Gery." Remaja bertubuh besar itu ikut menimpali.
"Silahkan duduk. Mak Ijah tolong buatkan jeruk hangat untuk tamu kita," pinta Bu Anggun. Mak Ijah mengangguk dan langsung beringsut mundur.
"Bagaimana tempat perkemahannya? Kurasa di musim sekarang bagian tanahnya sedikit basah," ucap Bu Anggun mengambil duduk di hadapan Nana. Pandangan mata perempuan itu meneduhkan, tetapi entah kenapa Nana memiliki firasat tidak nyaman berhadapan dengannya.
"Tidak Bu. Tanah area sini gembur, rumput tumbuh subur. Kami tidak kesulitan memasang patok untuk tenda," sergah Gery.
"Baguslah jika demikian. Aku senang jika tempat itu ada yang menyewa. Aku bisa mendengar suara orang-orang. Biasanya hanya ada suara serangga yang menemaniku." Bu Anggun tersenyum. Gery diam saja, mengagumi perempuan dalam otaknya. Gery menerka-nerka berapa kiranya usia Bu Anggun. Dia sempat membayangkan jika pemilik rumah itu mengenakan baju SMA masih tetap terlihat cocok.
"Ibu tinggal di rumah ini hanya berdua dengan Mak Ijah?" tanya Nana membuyarkan lamunan Gery. Bu Anggun menggeleng sembari tersenyum.
"Ada tiga orang di rumah ini. Aku, Mak Ijah dan mertuaku. Akan tetapi mertuaku sakit parah. Seumur hidupnya hanya di kursi roda. Jadi beliau selalu mengurung diri di kamar atas," jelas Bu Anggun.
Hanya ada tiga perempuan di rumah semewah itu. Apalagi tempatnya terletak di tengah hutan. Terdengar sembrono dan berbahaya bagi Gery.
Mak Ijah tampak mendorong sebuah meja troli dari dapur. Di atas meja terlihat minuman jeruk hangat, dan beberapa kue hangat yang baru keluar dari oven. Mak Ijah menyajikan pada kedua tamunya.
"Silahkan dinikmati," ujar Bu Anggun.
Mak Ijah masih mengeluarkan satu lagi camilan di dalam sebuah toples kaca. Seperti sejenis kerupuk berwarna cokelat muda dengan bentuk kotak tetapi dengan ukuran yang tidak seragam. Bu Anggun segera membuka penutup toples. Aroma cabai bercampur daun jeruk semerbak di udara.
"Krupuk kulit bumbu pedas buatan Mak Ijah adalah salah satu camilan favorit untuk menemani minum teh atau jeruk hangat," ujar Bu Anggun mengambil satu keping kerupuk dan memasukan ke dalam mulut mungilnya. Terlihat lezat dan menggoda. Gery pun ikut mengambil kerupuk, sedangkan Nana hanya meneguk jeruk hangat.
"Iya kerupuk ini enak Nana. Rasanya sedikit kenyal tapi gurih," seru Gery memuji. Bu Anggun tersenyum simpul.
"Ada berapa orang yang ikut dalam perkemahan?" tanya Bu Anggun setelah kerupuk kulit di mulutnya sudah habis tertelan.
"Sepuluh orang Bu," jawab Nana singkat.
"Mak Ijah, sore nanti siapkan hidangan untuk lima belas orang," perintah Bu Anggun.
"Baik Nyonya," jawab Mak Ijah patuh. Tongkat yang sedari tadi digunakan berjalan kini tidak lagi terlihat. Gery sedikit penasaran akan hal itu.
"Bisakah kalian berdua mengajak semua orang di perkemahan untuk makan di rumah ini sore nanti?" Bu Anggun beralih menatap Gery dan Nana bergantian. Keduanya mengangguk setuju.
Terdengar suara serak seperti orang yang mengerang dari lantai atas. Nana yang terkejut nyaris menjatuhkan gelas di tangannya.
"Itu mertuaku. Begitulah. Beliau tidak bisa ditinggalkan agak lama. Minta ditemani. Pokoknya silahkan dinikmati makan dan minuman sederhana dari kami. Kalau kalian memerlukan sesuatu sampaikan pada Mak Ijah ya. Lalu, kalian boleh membaca buku yang ada di rak. Tentu saja buku-buku karangan dari Zainul Rich Man," ucap Bu Anggun berdiri dari duduknya.
"Aku permisi dulu. Semangat berkemah anak-anak manis," lanjut Bu Anggun tersenyum. Perempuan itu berjalan pergi dengan langkahnya yang ringan. Mak Ijah pun mendorong meja troli yang kosong menuju ke dapur.
"Haruskah kita berlama-lama di tempat ini?" tanya Nana setengah berbisik.
"Aku mau makan kerupuk kulit ini dulu. Setelahnya kita bisa kembali ke tempat perkemahan, Nana. Lagipula disini hangat dan nyaman," jawab Gery menyodorkan toples kerupuk pada Nana. Namun gadis itu menolaknya.
Nana memilih berdiri dan mendekati rak buku. Cover buku yang seragam berwarna merah maroon memantik rasa penasarannya.
"Katanya buku karya Zainul Rich Man sangat terkenal. Guru Bahasa Indonesia pernah membahasnya kan waktu itu?" ucap Nana mengambil salah satu buku secara acak.
"Memangnya generasi kita masih perlu membaca buku? Ada handphone, tinggal ketik aja apa yang mau kita lihat. Bahkan sekarang ada AI bukan?" sergah Gery. Mulutnya penuh dengan kerupuk.
Nana tidak menyahut. Dia merasa sedikit aneh dengan perubahan sikap Gery. Sebelum masuk ke rumah Bu Anggun, laki-laki itu tampak malu-malu untuk berbicara padanya. Namun kini Gery malah makan sambil berbicara. Tidak ada lagi kesan jaim seperti tadi.
"Sebaiknya kita segera kembali ke tempat perkemahan," sergah Nana tidak jadi membuka buku merah maroon di tangannya. Dia berjalan mendekati Gery, kemudian menarik lengannya.
"Sebentar aku minum dulu."
Gery meraih jeruk hangat dengan tangan kiri. Meneguknya hingga tandas. Barulah dia pasrah digelandang Nana keluar dari rumah Bu Anggun.
"Ada apa denganmu Nana?" tanya Gery heran.
"Kamu yang kenapa? Kita ikut perkemahan bukan untuk bertamu dan berdiam di rumah orang," bentak Nana ketus.
Gery termenung sambil tetap mengayun langkah. Lengannya masih digamit Nana. Setelah dibentak Nana, Gery mulai tersadar. Ada sesuatu yang aneh muncul di hatinya selepas bertemu Bu Anggun. Seolah perempuan itu mampu menghipnotis Gery untuk betah berlama-lama di rumahnya.
"Apa kamu lupa cerita-cerita mengerikan dari rumah di tengah hutan ini. Bukankah sudah jadi legenda di kota tempat tinggal kita Gery? Konon katanya siapapun tidak pernah kembali pulang setelah berkunjung ke rumah itu," ucap Nana sambil terus menarik Gery.
"Lalu kenapa kamu juga setuju tadi untuk berkunjung kesana?" bantah Gery.
"Karena aku tidak percaya mitos. Aku ingin membuktikannya. Lalu, aku merasa memang ada yang tidak beres dari rumah itu," jawab Nana menghela napas. Gery tidak lagi mendebat. Laki-laki itu bukan tidak menyadari keanehan, hanya saja dia terlanjur terpesona pada Bu Anggun. Ada satu hal yang Gery sadari sedari awal masuk ke ruang tamu rumah itu. Entah darimana meskipun samar, ada aroma anyir darah dari lantai atas. Aroma yang tertutupi oleh minyak wangi Bu Anggun berbau Melati.
Wah, ada kuku? Kuku siapa yah 🤔🤔🤔
Mak Ijah kali ya yang grubak-grubuk mutusin kabel..