"Meskipun aku ditodong dengan pisau, aku tidak akan pernah mau menjadi pacarnya. Kalau begitu aku permisi."
"Apa?! Kau pikir aku bersedia? Tentu saja aku juga menolaknya. Cih! Siapa yang sudi!"
Raga heran kenapa setiap kali di hadapkan pada gadis itu selalu akan muncul perdebatan sengit. Bri jelas tak mau kalah, karena baginya sang tetangga adalah orang yang paling dibencinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28
Langit sore mulai meredup ketika Pak RT berkeliling kompleks, membagikan selebaran kepada setiap rumah. Kertas berwarna merah muda dengan tulisan besar itu mengumumkan sesuatu yang cukup menarik bagi warga sekitar—pembukaan pasar malam di lapangan dekat kompleks.
Bri menerima selebaran itu dari tangan Pak RT dengan sedikit enggan. “Pasar malam?” gumamnya sambil melirik cepat isi kertas itu. Ada berbagai atraksi yang disebutkan: bianglala, komidi putar, rumah hantu, serta aneka jajanan tradisional.
“Seru, kan? Jangan lupa datang!” seru Pak RT sebelum berpindah ke rumah sebelah.
Bri hanya menutup pintu tanpa banyak berpikir. Ia memang bukan tipe orang yang suka keramaian. Setelah seharian bekerja, ia lebih memilih menghabiskan waktu di rumah. Namun, saat malam tiba, suara ketukan di pintu rumahnya mengusik ketenangannya.
“Briii! Ayo ke pasar malam!” Suara ceria milik Mbak Dita, tetangga depannya, terdengar riang.
Bri menghela napas sebelum membukakan pintu. “Aku malas, Mbak.”
Mas Rifan, suami Mbak Dita, ikut tersenyum. “Ayolah, sekali-sekali refreshing. Lagipula, kita ke sana cuma sebentar.”
Bri menimbang sejenak. Jika ia menolak, Mbak Dita pasti tidak akan berhenti membujuk. Dengan sedikit enggan, ia akhirnya mengalah.
“Baiklah, tapi tidak lama.”
Mbak Dita bertepuk tangan dengan semangat. “Ayo, sebelum tambah ramai.”
Lapangan yang biasanya sepi kini berubah menjadi lautan manusia dengan lampu-lampu berwarna-warni menerangi setiap sudutnya. Bau harum sate, jagung bakar, dan arum manis menyeruak di udara, menggoda siapa pun yang datang.
Bri berjalan di antara kerumunan, sesekali menoleh ke kanan dan kiri melihat berbagai wahana. Suasana ini mengingatkannya pada masa kecil, ketika pasar malam adalah hiburan yang paling ditunggu-tunggu. Di depannya Dita berjalan dengan riang sambil menggandeng sang suami di sampingnya. Dita yang sedang hamil 7 bulan sibuk menunjuk stan makanan yang menjual berbagai macam jenis dari mulai makanan berat, cemilan, makanan manis sampai minuman beraneka warna pun ada.
Saat ia tengah mengamati sebuah stan permainan lempar gelang, suara yang tidak asing terdengar dari belakangnya.
“Bri?”
Bri menoleh dan mendapati seorang pria dengan kaus hitam dan jaket abu-abu berdiri dengan tangan di saku.
“Kau?”
Mereka saling menatap beberapa detik sebelum Raga melirik selebaran yang masih diselipkan di tangan Bri.
“Tidak menyangka kau akan datang ke tempat seperti ini,” ucap Raga dengan nada menggoda.
Bri mendengus pelan. “Aku juga tidak menyangka akan bertemu denganmu.”
Mbak Dita yang menyaksikan interaksi mereka tersenyum penuh arti. “Wah, ada Mas Raga juga.”
Raga mengangkat bahu. “Kebetulan tadi lewat Mbak, jadi sekalian mampir.”
Rifan melirik ke arah mereka berdua. "Siapa tau kalian bisa jadi tambah dekat di sini." Dita tersenyim setuju dengan ucapan sang suami sementara dua orang yanh dimaksud kelihatan canggung menatap satu sama lain.
Sejak beberapa waktu terakhir, mereka memang sering terlibat dalam berbagai situasi yang tak terduga. Kadang berdebat, kadang saling membantu—hubungan mereka sulit dijelaskan dengan kata-kata.Tanpa banyak bicara lagi, mereka akhirnya memutuskan untuk berkeliling bersama.
Bri awalnya hanya berniat berjalan-jalan, tetapi entah bagaimana, ia terseret dalam berbagai permainan. Dimulai dengan lempar gelang yang membuatnya frustrasi karena gagal terus, lalu mencoba rumah hantu yang lebih banyak membuatnya kesal daripada takut.
Namun, bagian paling menyebalkan adalah ketika Raga menantangnya untuk naik bianglala.
“Aku tidak suka ketinggian,” kata Bri tegas.
Raga menaikkan alis. “Takut?”
“Tentu saja tidak,” sanggah Bri cepat.
“Kalau begitu. Buktikan.”
Bri mengerutkan kening, merasa tertantang. Ia tidak bisa membiarkan Raga berpikir ia pengecut. Dengan langkah tegap, ia naik ke dalam kabin bianglala bersama Raga.
Ketika wahana mulai bergerak naik, Bri mulai menyesali keputusannya. Ia menggenggam erat pegangan di sisinya sementara Raga justru terlihat santai, menikmati pemandangan di bawah.
“Kau terlihat tegang,” ujar Raga sambil menoleh ke arahnya.
“Diam,” gumam Bri.
Raga tertawa kecil. “Tidak seburuk yang kau kira, kan?”
Bri tidak menjawab. Ia hanya menghela napas lega saat akhirnya wahana itu berhenti dan mereka bisa turun.
Setelah itu, mereka mencoba berbagai makanan. Bri membeli jagung bakar, sementara Raga memilih sate ayam. Mereka duduk di bangku panjang, menikmati makanan sambil mengamati keramaian.
Namun, tak lama kemudian, Raga melihat jam tangannya. “Aku pulang duluan.”
Bri melirik ke arahnya. “Cepat sekali?”
“Aku punya urusan besok pagi,” jawabnya singkat.
Mbak Dita dan Mas Rifan masih sibuk mencoba permainan lain, jadi Bri kembali sendirian. Ia mulai merasa bosan. Keramaian yang awalnya menarik, kini terasa melelahkan.
Tanpa pikir panjang, ia memutuskan untuk pergi. Dan entah bagaimana, langkahnya membawanya mengikuti Raga.
Bri menyusul Raga yang tengah bersiap menaiki motornya. “Kau mau ke mana?” tanyanya.
Raga menatapnya sebentar sebelum tersenyum kecil. “Kenapa? Mau ikut?”
Bri mendengus. “Jangan salah paham. Aku hanya bosan.”
Raga terkekeh, lalu menepuk jok belakang motornya. “Naiklah.”
Tanpa banyak bicara lagi, Bri naik ke motor Raga. Angin malam terasa sejuk saat motor melaju melewati jalanan yang mulai lengang.
Beberapa menit kemudian, mereka melewati sebuah bukit yang cukup terkenal dengan pemandangan indahnya. Bri memandangnya dengan kagum.
“Mau turun?" tanya Raga dibalas dengan anggukan Bri.
Bri turun dari motor dan berdiri di tepi bukit, mengamati pemandangan di bawah dengan kagum. Dari atas sini, kelap-kelip lampu kota terlihat bagaikan lautan bintang.
“Indah,” gumamnya.
Raga memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya. “Aku sering datang ke sini.”
Bri menoleh. “Sendirian?”
Raga mengangguk. “Tempat ini menenangkan.”
Bri tersenyum tipis. “Benar. Apa nama bukit ini?”
Raga berbisik pelan. “Bukit Beruntung. Aku tidak tau kenapa diberi nama seperti itu.”
Mereka duduk di atas batu besar, menikmati suasana malam yang tenang.
“Kau ingat waktu sekolah dulu?” tanya Raga tiba-tiba.
Bri mengerutkan kening. “Kenapa tiba-tiba membahas itu?”
“Karena kau tidak banyak berubah,” kata Raga. “Masih keras kepala, masih menyebalkan.”
Bri melotot. “Aku tidak menyebalkan.”
Raga tertawa. “Tentu saja kau tidak akan mengakuinya.”
Mereka melanjutkan obrolan, mengenang masa sekolah. Dari guru yang galak, perdebatan mereka berdua, teman-teman yang aneh, hingga kejadian-kejadian konyol yang membuat mereka tertawa terbahak-bahak.
"Aku tau bukan kau yang menempel fotoku di mading pada waktu itu," ucap Bri pelan tanpa memandang Raga yang terdiam menatapnya.
Raga terdiam sejenak. "Darimana kau tau?"
Bri tersenyum tipis. "Gea yang bilang. Ternyaya Dinda yang menempelkannya."
Raga terkejut dan bingung bersamaan. "Bukannya kalian dekat. Maksudku kau dengannya, kalian kemana-mana selalu bersama. Kenapa?," tanya Raga penasaran.
Bri menoleh menatapnya. "Dia ternyata sudah menjalin hubungan dengan Alaric. Kau tidak menduganya kan? Hebat sekali dia menyembunyikan hal itu dan di akhir mempermalukanku."
Raga menatap Bri dengan perasaan tak menentu. "Jadi bagaimana perasaanmu waktu pertama kali mendengarnya?"
"Biasa saja. Mungkin karena aku kehilangan orang tuaku disaat itu jadi aku tidak memperdulikan hal lain," balas Bri sambil menghela napas.
"Sebenarnya aku–"
"Ayo pulang. Apa? Maaf aku tidak dengar kau bicara apa?"
Raga menatapnya lama kemudia menggeleng dan berbalik menuju motornya.
"Sebenarnya aku kedinginan. Ayo kita pulang." Bri merasa ada sesuatu yang aneh denga pria itu tapi buru-buru ditepisnya.
Dalam perjalanan pulang, Bri menyadari sesuatu. Malam ini, yang awalnya membosankan, berubah menjadi salah satu malam yang paling menyenangkan. Dan mungkin, hanya mungkin, Raga tidak seburuk yang ia kira. Selama ini mereka menghabiskan waktu mereka dengan berdebat satu sama lain tanpa tau sisi lain dari diri mereka masing-masing.