Pada abad ke-19, seorang saudagar China yang kaya raya membawa serta istri dan anaknya menetap di Indonesia. Salah satu anak mereka, Jian An, tumbuh menjadi sosok yang cerdas dan berwibawa. Ketika ia dewasa, orang tuanya menjodohkannya dengan seorang bangsawan Jawa bernama Banyu Janitra.
Pada malam pertama mereka sebagai suami istri, Banyu Janitra ditemukan tewas secara misterius. Banyak yang menduga bahwa Jian Anlah yang membunuhnya, meskipun dia bersikeras tidak bersalah.
Namun, nasib buruk menghampirinya. Jian An tertangkap oleh orang tidak dikenal dan dimasukkan ke dalam sumur tua. berenang di permukaan air sumur yang kini tidak lagi berada di abad ke-19. Ia telah dipindahkan ke kota S, tahun 2024. Dalam kebingungannya, Jian An harus menghadapi dunia yang jauh berbeda dari yang ia kenal, berusaha menemukan jawaban atas misteri kematian suaminya dan mencari cara untuk kembali ke masa lalu yang penuh dengan penyesalan dan rahasia yang belum terungkap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
09
Tahun 2024, lelaki yang wajahnya begitu mirip dengan Banyu Janitra itu dikenal dengan nama Adipati Saka Janitra. Saka adalah seorang pria berusia 32 tahun yang penuh kharisma, dengan wajah yang tampan dan tatapan mata yang tegas namun penuh kelembutan. Sebagai penerus generasi ketiga keluarga Janitra, dia memikul tanggung jawab besar untuk menjaga warisan keluarganya dalam memproduksi kain batik berkualitas tinggi, sebuah tradisi yang telah mengakar selama lebih dari seabad.
Keluarga Janitra telah menjadi ikon dalam dunia tekstil, khususnya batik, yang dikenal tak hanya di Indonesia, tetapi juga di luar negeri. Berawal dari usaha kecil sang leluhur yang dimulai di tanah Jawa pada abad ke-19, kini bisnis mereka berkembang pesat menjadi salah satu nama besar dalam industri mode internasional. Kakek Saka, yang merupakan generasi kedua, adalah sosok visioner yang berhasil membawa batik Janitra ke pasar ekspor global, menjadikannya lambang kebanggaan budaya Indonesia.
Saka tumbuh besar di tengah tradisi dan nilai-nilai keluarga yang kuat, memahami betul makna setiap motif dan cerita yang terukir di kain batik yang dihasilkan keluarganya. Baginya, setiap helai kain adalah sebuah karya seni yang sarat dengan sejarah dan emosi. Namun, ada satu motif batik yang selalu menarik perhatiannya motif “Candra Janitra,” yang konon diciptakan oleh nenek moyangnya untuk memperingati pernikahan leluhur mereka.
Bagi Saka, motif itu memiliki daya tarik yang tidak biasa. Dia sering kali merasa ada ikatan yang tidak terjelaskan setiap kali melihat atau menyentuh kain dengan motif tersebut. Seolah-olah ada cerita yang belum selesai, sesuatu yang memanggil dari masa lalu. Bahkan, meskipun tidak pernah mendalami sejarah keluarganya terlalu jauh, Saka sering mendengar bisikan dari kakeknya bahwa kisah Banyu Janitra
Kini, Saka tinggal di Kota S, sebuah kota modern yang penuh dinamika, tempat keluarganya memiliki pabrik batik utama. Dengan latar belakang pendidikan bisnis dan seni, dia terus berinovasi untuk mempertahankan batik sebagai tradisi yang hidup, sambil tetap relevan di era modern.
Hari itu, suasana rumah keluarga Janitra dipenuhi kesibukan. Sang kakek, seorang pria sepuh dengan sorot mata tajam dan wibawa yang tak pudar meski usia telah menua, mengumpulkan semua anggota keluarga di aula utama. Rencananya sudah bulat hari ini adalah langkah awal untuk menjodohkan cucu kebanggaannya, Adipati Saka Janitra, dengan seorang wanita yang dianggap sepadan dalam status dan martabat, Gusti Ratih.
Gusti Ratih adalah putri seorang pengusaha besar yang juga keturunan bangsawan Jawa. Ia dikenal anggun, cerdas, dan memiliki kepribadian yang lembut, sebuah perpaduan sempurna yang diharapkan dapat melengkapi Saka, pria muda yang karismatik namun keras kepala. Sementara keluarga besar tampak antusias dengan perjodohan ini, Saka justru terlihat gelisah. Dia duduk di sudut ruangan dengan tatapan kosong, memainkan cangkir kopinya seolah itu jauh lebih menarik daripada pembicaraan seputar rencana masa depannya.
"Aku tahu kamu bukan tipe pria yang suka diatur, Saka," ujar sang kakek dengan suara berwibawa namun lembut. "Tapi keluarga ini membutuhkan pewaris yang bisa menjaga nama baik dan tradisi kita. Gusti Ratih adalah pilihan terbaik."
Saka menghela napas panjang. "Kek, aku menghormati keputusanmu, tapi aku belum siap untuk menikah. Apalagi dengan seseorang yang bahkan tidak pernah benar-benar aku kenal," jawabnya tenang namun penuh penegasan.
Sang kakek mengamati cucunya dengan seksama, mencari tanda-tanda pemberontakan lebih jauh. Namun, sebelum ia sempat merespons, seorang pelayan datang tergesa-gesa dan berbisik sesuatu di telinganya. Ekspresi sang kakek berubah serius.
"Saka, aku tahu ini sulit bagimu. Tapi pikirkan baik-baik," katanya sebelum beranjak dari tempat duduknya.
Saka tidak menjawab. Kepalanya penuh dengan pikiran yang berputar-putar, bukan hanya tentang Gusti Ratih, tetapi juga tentang perasaan gelisah yang belakangan ini sering menghantui dirinya. Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, atau mungkin, sesuatu yang mendekat.
Hari itu, Saka memutuskan untuk keluar dari rumah, menghindari pembicaraan lebih lanjut tentang perjodohan. Ia berjalan menuju galeri batik keluarga, tempat yang selalu menjadi pelariannya ketika pikiran terasa berat. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat seorang seperti jatuh ke dalam sungai buatan tangan da tidak jauh dari galeri batik. Dengan cepat Saka melompat untuk menyelamatkan wanita tersebut.
"Hai, sadarlah," suara bariton Saka terdengar panik namun penuh ketegasan. Ia mengguncang pelan bahu wanita yang terbaring di lantai galeri batik keluarganya. Wanita itu mengenakan pakaian tradisional yang tak biasa—hanfu dengan sulaman yang rumit dan indah, kini basah kuyup, menempel di tubuhnya. Rambut panjangnya terurai, menutupi sebagian wajah pucatnya.
Saka membungkuk lebih dekat, mencoba memastikan wanita itu masih bernapas. Tiba-tiba, tubuhnya terbatuk keras, dan mulutnya memuntahkan air yang entah berasal dari mana. Saka langsung menopang bahunya, memastikan ia tidak terbaring lemas lagi.
"Syukurlah kamu sadar," ujar Saka sambil menatapnya dengan ekspresi campuran antara lega dan kebingungan. "Kamu siapa? Kenapa kamu di sini dengan kondisi seperti ini?"
Jian An mengangkat wajahnya perlahan, pandangannya kabur namun perlahan-lahan fokus pada pria di hadapannya. Dalam keheningan yang memisahkan dua jiwa dari waktu yang berbeda, Jian An menatap wajah Saka dengan penuh keterkejutan. Wajah itu... begitu mirip dengan suaminya, Banyu Janitra.
"Anda..." Jian An terdiam sejenak, suaranya serak. "Banyu...?" tanyanya dengan nada tak percaya.
Saka mengernyit, merasa aneh dengan panggilan itu. "Aku Adipati Saka Janitra. Bukan Banyu. Kamu mungkin salah orang," jawabnya, namun matanya tak bisa lepas dari pandangan wanita itu. Ada sesuatu yang berbeda sebuah aura tua dan misterius yang membuatnya merasa seakan-akan mereka pernah bertemu sebelumnya, meski ia tahu itu mustahil.
Jian An memegangi kepalanya, berusaha mengingat kejadian terakhir yang dialaminya. "Sumur... air dingin... dan... mereka membuangku," gumamnya, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.
"Sumur?" Saka mengulang kata itu, bingung. "Kamu perlu istirahat. Aku akan membawamu ke rumah sakit."
"Tidak!" Jian An memotong cepat, wajahnya penuh ketakutan. "Jangan bawa aku ke tempat seperti itu. Aku hanya butuh waktu... aku harus menemukan keluargaku."
Melihat kondisi Jian An yang masih lemah dan basah kuyup, Saka merasa perlu segera mengurus tempat istirahat untuknya. Ia mengeluarkan ponsel dari sakunya dan menghubungi asistennya.
"Pak Joyo, tolong carikan kamar hotel di dekat sini. Yang nyaman dan tenang," ucapnya cepat, sambil sesekali melirik Jian An yang kini duduk di sofa kecil di pojok galeri, tubuhnya masih bergetar kedinginan.
"Baik, Tuan Saka. Saya akan segera memesankan," jawab Pak Joyo di seberang telepon.
Setelah panggilan selesai, Saka berjalan mendekati Jian An. Ia meletakkan sebuah selimut hangat di bahunya dan menyodorkan secangkir teh panas yang diambilnya dari pantry galeri.
"Ini, minumlah. Kamu terlihat kedinginan," ujarnya dengan nada yang lebih lembut. Jian An menatapnya sejenak sebelum menerima teh itu dengan tangan yang masih gemetar.
"Terima kasih," gumamnya pelan, suaranya hampir tak terdengar. Ia masih belum bisa sepenuhnya memproses di mana dirinya berada dan bagaimana lelaki ini begitu mirip dengan Banyu, suaminya yang telah tiada.
Tak lama kemudian, Pak Joyo menelepon kembali. "Tuan Saka, kamar sudah dipesan di Hotel Meranti. Lokasinya hanya lima menit dari galeri. Saya juga sudah mengatur transportasi."
"Terima kasih, Pak Joyo," balas Saka sebelum mematikan telepon.
Ia berbalik kepada Jian An. "Aku sudah memesankan kamar hotel untukmu. Kamu butuh tempat yang lebih baik untuk beristirahat daripada di sini."
Jian An menggeleng pelan, tampak ragu. "Aku tidak ingin merepotkanmu," katanya dengan nada cemas.
"Kamu tidak merepotkan," potong Saka cepat. "Aku hanya ingin memastikan kamu aman. Kita akan bicara lebih banyak nanti, saat kamu sudah merasa lebih baik."
Jian An akhirnya mengangguk perlahan. Saka kemudian membantu wanita itu berdiri, tubuhnya masih tampak lemas. Dalam perjalanan menuju hotel, pikiran Saka terus dipenuhi pertanyaan tentang siapa wanita ini dan bagaimana ia bisa muncul dengan cara yang begitu aneh. Di sisi lain, Jian An berusaha keras menyembunyikan kegugupannya, ia merasa seperti berada di dunia yang sama sekali asing, dengan waktu yang berbeda, namun wajah yang begitu familier.