Untuk mengungkap penyebab adiknya bunuh diri, Vera menyamar menjadi siswi SMA. Dia mendekati pacar adiknya yang seorang bad boy tapi ternyata ada bad boy lain yang juga mengincar adiknya. Siapakah pelakunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10
"Pernah melihat saya? Sepertinya tidak, karena saya baru saja pindah ke sekolah Saga." Vera tersenyum kaku berusaha menutupinya. Untunglah mobil itu akhirnya berhenti di depan IGD.
"Terima kasih Om, biar saya urus sendiri saja. Om langsung antar putra Om saja." Vera membuka pintu mobil itu.
Sagara hanya melirik Vera yang berusaha menurunkan Dwiki dan tak bersuara sedikitpun.
"Biar aku bantu." Pak Shaka turun dari mobil dan membantu Dwiki keluar dari mobil lalu membawanya masuk ke dalam IGD. Dia menurunkannya di atas brankar IGD.
"Terima kasih, Om."
"Ya sudah. Nanti langsung hubungi saja orang tuanya ya."
Vera menganggukkan kepalanya. Dia menatap punggung Pak Shaka sesaat yang semakin menjauh. "Papanya Saga memang sangat baik. Gak seperti anaknya," gumam Vera.
Seorang perawat kini membantu menstabilkan kondisi Dwiki setelah memasang infus di tangannya, sementara dokter memasang ekspresi serius setelah menekan-nekan perut Dwiki yang tampak kaku dan bengkak.
“Ada pembengkakan pada lambungnya, kemungkinan akibat tendangan atau pukulan yang keras. Pasien harus menjalani rawat inap untuk observasi lebih lanjut,” kata dokter sambil mencatat sesuatu di clipboardnya.
Vera berdiri di dekat pintu, mendengar semua itu dengan dahi berkerut. "Tendangan keras?" gumamnya, merasa semakin curiga. Di mengingat wajah Dwiki yang pucat dan luka di bibirnya. "Sebenarnya dia berkelahi sama siapa."
Saat perawat mendorong ranjang Dwiki ke ruang rawat inap, Vera ikut mengambil tas milik Dwiki dan membawanya.
Baru saja duduk di bangku rumah sakit untuk menenangkan pikirannya sesaat, ponsel di dalam tas Dwiki bergetar. Vera membuka tasnya dan mencari ponsel itu. Sebuah panggilan masuk dengan nama kontak "Ibu" terlihat jelas.
Vera menatap layar ponsel itu sejenak, lalu menghela napas sebelum akhirnya mengangkatnya.
“Halo?”
Suara seorang wanita terdengar dari seberang, penuh kekhawatiran. “Dwiki, akhirnya setelah sekian lama kamu mengangkat telepon Ibu. Sekarang kamu sudah di sekolah. Nanti siang ...."
Vera menggigit bibirnya sejenak sebelum menjawab. "Maaf, ini bukan Dwiki. Saya Vera, teman sekelasnya. Dwiki sekarang ada di rumah sakit."
"Apa?!" suara wanita itu terdengar panik. "Kenapa dia di rumah sakit?! Apa yang terjadi?"
Vera menatap ke arah brankar Dwiki di dalam ruangan. Pemuda itu masih terbaring dengan mata terpejam.
“Dokter bilang ada pembengkakan di lambungnya, sepertinya akibat tendangan keras. Dia harus dirawat inap.”
Hening sejenak di seberang telepon. Kemudian suara sang ibu terdengar lagi, lebih pelan tapi penuh emosi. "Tendangan keras...? Apa ini karena ayahnya?"
Vera terdiam sesaat. Ayahnya?
"Saya tidak tahu pasti, Bu. Tapi kondisi Dwiki cukup serius. Kalau Ibu bisa datang, mungkin dia akan merasa lebih baik."
“Baik, terima kasih sudah memberi tahu saya, Vera. Saya akan segera ke sana.”
Setelah panggilan berakhir, Vera menatap layar ponsel Dwiki sesaat sebelum memasukkannya kembali ke dalam tas. Dia melirik ke arah Dwiki yang masih terbaring diam.
Ayahnya?
Jika benar Dwiki mendapat luka itu karena ayahnya, berarti hidupnya jauh lebih kacau dari yang dia bayangkan.
Vera berpindah duduk di kursi dekat brankar Dwiki dan menyandarkan tubuhnya sambil melipat tangan di dada. Matanya sesekali melirik ke arah Dwiki yang masih saja belum sadarkan diri.
Dia tidak tahu kenapa masih bertahan di sini. Seharusnya, setelah memberitahu ibunya Dwiki, dia bisa langsung pergi. Tapi entah kenapa, kakinya seakan enggan bergerak.
Beberapa menit kemudian, Dwiki akhirnya mengerjapkan mata. Kelopak matanya terbuka perlahan, menunjukkan tatapan kosong yang masih sedikit kebingungan. Dia mengerang pelan, mencoba menggerakkan tubuhnya tapi tidak bisa.
Vera segera menegakkan tubuhnya dan menatap Dwiki. "Akhirnya lo sadar juga."
Dwiki mengalihkan pandangannya ke Vera sekilas sebelum membuang muka ke arah jendela. "Kenapa lo bawa gue ke rumah sakit?"
"Karena lo pingsan. Gue nggak mungkin biarin lo mati di jalan." Vera merasa kesal karena bukannya terima kasih Dwiki justru marah padanya.
Dwiki tidak menanggapi. Dia hanya menatap jendela tanpa mempedulikan Vera sama sekali.
Melihat Dwiki yang diam saja, Vera akhirnya bertanya, “Luka di perut lo itu karena tendangan ayah lo?”
Dwiki tiba-tiba menoleh dengan sorot mata tajam. Rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal di atas selimut. "Lo ngapain tanya kayak gitu?" suaranya terdengar dingin, tapi penuh kemarahan yang tertahan.
Vera tetap menatapnya tanpa takut. "Gue cuma penasaran. Lo bisa aja mati kalau terus-terusan kena kekerasan kayak gini."
Dwiki mendengus pelan, lalu menatapnya dengan sorot mata yang tajam. "Hidup gue, urusan gue. Lo nggak usah sok peduli."
Vera menghela napas. "Gue nggak sok peduli. Tapi lo harus sadar kalau hidup lo bisa berubah kalau lo mau. Lo nggak perlu terus-terusan kayak gini."
Dwiki berdecak pelan, kemudian memalingkan wajahnya lagi. "Udah, lo pergi aja. Gue nggak butuh lo di sini. Lagian hidup gue juga nggak mungkin bisa berubah."
Vera menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya berdiri. "Baiklah, terserah lo. Udah ditolongin, gak ucapin makasih malah dibentak!" gerutu Vera sambil berjalan menuju pintu.
Dwiki terdiam, napasnya terdengar sedikit lebih berat. Namun, dia tidak mengatakan apa-apa lagi.
Vera melangkah menuju pintu, tapi sebelum keluar, dia sempat melirik ke belakang. Dwiki masih menatap jendela dengan ekspresi kosong, seolah menahan sesuatu yang tak bisa dia ungkapkan.
Vera hanya bisa menghela napas sebelum akhirnya meninggalkan ruangan itu. Tapi di depan pintu dia berpapasan dengan wanita paruh baya dan mirip sekali dengan Dwiki.
"Dwiki dirawat di sini kan?" tanya Bu Tiwi.
Vera menganggukkan kepalanya.
"Terima kasih sudah menolong Dwiki." kemudian Bu Tiwi masuk ke dalam ruang rawat itu.
Vera sengaja tidak pergi. Dia berdiri di dekat pintu untuk menguping pembicaraan mereka berdua.
"Dwiki, kenapa bisa seperti ini? Ayah kamu yang melakukan?" tanya Bu Tiwi setengah terisak.
Dwiki tak juga menatapnya. Dia tetap menatap jendela ruang rawat itu. "Peduli apa ibu sama aku. Meskipun aku mati, ibu juga tidak akan peduli sama aku."
"Dwiki, ibu sayang sama kamu. Kalau memang ayah kamu yang melakukan, ibu akan melaporkannya pada polisi."
Terdengar tawa sumbang dari bibir Dwiki. "Ibu pergi meninggalkanku demi lelaki lain dan membiarkanku hidup di neraka. Ini kan yang Ibu mau."
Vera menutup mulutnya mendengar itu semua. Jadi, Dwiki korban broken home ...
ok lanjuuut...