NovelToon NovelToon
Tetangga Gilaku

Tetangga Gilaku

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Cinta Murni / Teman lama bertemu kembali / Enemy to Lovers
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Karangkuna

"Meskipun aku ditodong dengan pisau, aku tidak akan pernah mau menjadi pacarnya. Kalau begitu aku permisi."

"Apa?! Kau pikir aku bersedia? Tentu saja aku juga menolaknya. Cih! Siapa yang sudi!"

Raga heran kenapa setiap kali di hadapkan pada gadis itu selalu akan muncul perdebatan sengit. Bri jelas tak mau kalah, karena baginya sang tetangga adalah orang yang paling dibencinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 27

Bri memegang erat dompet di tangannya dan masuk ke dalam mobil, ia bersiap untuk pergi sebentar ke minimarket, tetapi saat tangannya memutar kunci untuk menghidupkan mesin, mobil tiba-tiba mati begitu saja—tanpa suara peringatan, tanpa tanda-tanda akan menyala kembali.

Bri mengernyit, lalu mencoba menyalakan mesin lagi. Ia memutar kunci kontak, tetapi yang terdengar hanya bunyi klik yang tak berdaya. Tidak ada dengungan mesin, tidak ada tanda kehidupan.

Bri mencoba lagi. Kali ini lebih lama, berharap mobilnya akan menyala. Namun, hasilnya tetap sama. Ia mengetuk setir dengan kesal, lalu meraih ponselnya, bersiap menghubungi bengkel atau siapa pun yang bisa membantunya.

Dari rumah sebelah, terdengar suara pintu terbuka. Bri melirik sekilas dan mendapati sosok yang tak asing berdiri di beranda—Raga, dengan kaus oblong dan celana pendek, tampak menyandarkan bahu di kusen pintu sambil menatapnya dengan alis terangkat.

Tentu saja, kenapa harus sekarang?

Bri menghela napas, menatap mobilnya yang tak mau menyala, lalu kembali melirik ke arah Raga yang jelas-jelas menyadari kesulitannya.

“Kau sedang apa? Berpikir keras bagaimana cara memperbaiki mobil?”

Bri menoleh dan mendapati Raga berdiri di sana dengan tangan bersedekap dan senyum mengejek.

“Tidak usah sok pintar,” sahut Bri ketus. “Mobilku mogok.”

Raga mendekat, menepuk kap mobil Bri seolah-olah sedang menenangkan seekor kuda liar. “Sini aku lihat.”

Bri mendengus dan mengangkat bahu. “Kau yakin? Tapi kalau rusak makin parah, kau harus menggantinya dengan mobil baru.”

“Percayalah, aku lebih tahu soal mesin daripada kau yang hanya bisa mengeluh.”

Raga membuka kap mobil dan memeriksa bagian dalamnya. Tak butuh waktu lama sebelum ia menggeleng.

“Olinya harus diganti,” katanya.

Bri mengerutkan kening. “Apa hubungannya oli dengan mobil mogok?”

Raga mendesah seperti seorang guru yang sabar menghadapi muridnya yang bodoh. “Oli itu seperti darah bagi mobil. Tanpa oli yang cukup atau yang masih layak, mesin tidak bisa bekerja dengan baik.”

Bri menyilangkan tangan di dada. “Aku rasa aku pernah menggantinya.”

“Rasa tidak cukup. Kau harus yakin.”

“Baiklah, aku yakin... mungkin.”

Raga menatapnya tajam. “Kalau yakin, kenapa masih pakai kata ‘mungkin’?”

Bri mengerucutkan bibir. “Jadi, apa yang harus dilakukan?”

“Aku akan membeli oli. Mau ikut atau mau tinggal di sini dan berdoa supaya mobilmu sembuh sendiri?”

Bri mendecak, lalu berjalan menuju mobil Raga. “Ayo pergi. Tapi kalau kau membawa motor dengan ugal-ugalan, aku akan melompat ke jalan.”

Raga terkekeh. “Wah, kurasa aku akan menantikannya.”

Dalam perjalanan, Bri memandangi jalanan dan tiba-tiba matanya melebar. Ia menepuk lengan Raga dengan antusias.

“Itu! Sekolah kita dulu!” serunya.

Raga meringis. “Berhentilah memukul lenganku.”

Bri mengabaikan protesnya. “Aku ingin melihatnya! Apa sekolah itu masih buka?”

Raga melirik ke arah sekolah itu. “Sepertinya masih, hanya sudah lewat jam pelajaran.”

Ia melambatkan laju motornya. “Mau mampir?”

Bri menoleh penuh harap. “Bisakah?”

Raga menyeringai. “Tentu. Aku kenal dengan penjaganya.”

Bri menatapnya curiga dan tak percaya dengan apa yang pria itu katakan.

“Terserah. Mau masuk atau tidak?” Bri menghela napas panjang.

Mereka turun dari mobil dan berjalan menuju pos penjaga. Seorang pria berusia lima puluhan menyambut mereka dengan ramah.

“Mas Raga! Lama tidak bertemu!” Bri melongo. Jadi dia tidak berbohong?!

“Pak, boleh kami masuk sebentar?” tanya Raga.

“Tentu saja. Tapi jangan berbuat onar.”

“Tidak mungkin, Pak. Saya ini orang baik-baik,” ujar Raga dengan senyum manis. Bri memutar mata. Ya, tentu saja.

Begitu masuk ke area sekolah, Bri langsung diliputi nostalgia. “Ini terasa aneh. Dulu aku sering berlari di sini saat terlambat.”

Raga menatapnya dengan ekspresi geli. “Jadi kau mengakui bahwa dirimu memang murid yang suka terlambat?”

Bri mendengus. “Bukan salahku kalau kantin lebih menarik daripada kelas.”

Mereka berjalan menuju lapangan basket di belakang gedung utama. Saat tiba di sana, Bri tersenyum lebar. Lapangan itu masih sama, hanya sedikit lebih tua.

Raga melihat bola basket tergeletak di pinggir lapangan dan mengambilnya. “Mau main?”

Bri tertawa kecil. “Aku sudah lama tidak bermain.”

Raga memantulkan bola beberapa kali. “Mungkin kau pernah hebat, tapi aku yakin sekarang kau payah.”

Bri menyipitkan mata. “Aku menerima tantanganmu.”

Mereka pun mulai bermain satu lawan satu. Bri mencoba menggiring bola, tetapi Raga dengan mudah merebutnya dan mencetak skor.

“Hei! Kau terlalu serius!” protes Bri.

Raga menyeringai. “Aku tidak bisa berpura-pura lemah.”

Bri mendengus. “Lihat saja nanti.”

Ia mencoba menipu Raga dengan gerakan cepat, tetapi malah kehilangan keseimbangan dan hampir jatuh.

Raga dengan refleks menangkapnya sebelum ia menyentuh tanah.

“Kau baik-baik saja?” tanyanya sambil menahan tawa.

Bri terpaku menatap wajah Raga sedekat itu, detak jantungnya bertalu dengan cepat sinar senja berwarna jingga memantul dari matanya, ada kesan aneh di dalamnya. Bri tersadar dan mengangguk cepat. “Tentu saja. Lepaskan aku.”

Raga tertawa kecil sebelum melepaskannya. “Aku pikir kau akan menang, tapi ternyata kau hanya ahli dalam jatuh.”

Bri merengut. “Aku hanya pemanasan.”

Raga tertawa lebih keras. “Kalau pemanasan membuatmu hampir jatuh, aku tidak bisa membayangkan bagaimana kau saat bertanding sungguhan.”

Mereka terus bermain sambil saling mengejek, hingga akhirnya kelelahan dan duduk di tepi lapangan.

Bri menatap langit yang mulai berubah warna. “Hari ini menyenangkan.”

Raga menoleh menatap gadis itu dengan tatapan yang dalam. “Jangan bilang kau mulai menyukaiku?”

Bri mendengus. “Jangan terlalu percaya diri.”

“Tapi kau tidak menyangkal.”

Bri terdiam sejenak sebelum berdiri. “Dalam mimpimu. Ayo pergi, oli mobilku masih harus diganti.”

Raga terkekeh. “Baiklah, tetanggaku. Mari.” Raga membantu Bri bangkit dengan menarik kedua tangannya. Yang tanpa Raga sadari, Bri tersenyum kecil menatapnya dari belakang.

“Mungkin lain kali kita bisa bermain lagi,” katanya pelan.

Raga berbalik menatapnya sebentar sebelum tersenyum. “Aku akan menang lagi.” Bri hanya mendecak. Hari ini mungkin ia kalah, tapi lain kali? Siapa tahu.

1
Siska Amelia
okayy
lilacz
dari segi alur dan penulisan membuat aku tertarik
lilacz
jgnn lama-lama update part selanjutnya ya thor
Karangkuna: terima kasih untuk dukungannya :)
total 1 replies
ulfa
wah genre favorit aku, dan ceritanya tentang enemy to lovers. ditunggu next part ya kak. semangat /Smile/
Karangkuna: happy reading, terima kasih sudah mampir :)
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!