Netha Putri, wanita karir yang terbangun dalam tubuh seorang istri komandan militer, Anetha Veronica, mendapati hidupnya berantakan: dua anak kembar yang tak terurus, rumah berantakan, dan suami bernama Sean Jack Harison yang ingin menceraikannya.
Pernikahan yang dimulai tanpa cinta—karena malam yang tak terduga—kini berada di ujung tanduk. Netha tak tahu cara merawat anak-anak itu. Awalnya tak peduli, ia hanya ingin bertanggung jawab hingga perceraian terjadi.
Sean, pria dingin dan tegas, tetap menjaga jarak, namun perubahan sikap Netha perlahan menarik perhatiannya. Tanpa disadari, Sean mulai cemburu dan protektif, meski tak menunjukkan perasaannya.
Sementara Netha bersikap cuek dan menganggap Sean hanya sebagai tamu. Namun, kebersamaan yang tak direncanakan ini perlahan membentuk ikatan baru, membawa mereka ke arah hubungan yang tak pernah mereka bayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menikmati Hidup
Cahaya matahari pagi perlahan menyelinap masuk ke sela-sela jendela kamar. Jarum jam menunjukkan pukul lima tepat ketika Netha terbangun. Untuk pertama kalinya dalam hidup barunya ini, ia bangun lebih pagi dengan tekad bulat. Tak ingin berlama-lama di tempat tidur, ia segera bangkit, mencuci muka, dan menggosok gigi di kamar mandi. Wajahnya yang segar terlihat lebih bercahaya, meskipun tubuhnya masih berat dengan lemak berlebih.
“Mulai hari ini, aku harus berubah,” ucap Netha pada dirinya sendiri di depan cermin. “Nggak ada lagi malas-malasan. Ini waktunya hidup sehat.”
Ia mengambil pakaian olahraga berupa training abu-abu yang ia temukan di lemari semalam. Meskipun agak ketat di beberapa bagian, Netha tidak peduli. Setelah memasang tali sepatu olahraga dengan rapi, ia keluar dari kamar dengan langkah percaya diri.
Udara pagi menyambutnya saat ia membuka pintu depan. Segar dan menenangkan. Langit masih redup dengan semburat oranye, menandakan matahari baru akan terbit. Tanpa ragu, Netha mulai berlari kecil menyusuri jalanan komplek yang begitu rapi dan tenang.
Komplek ini adalah perumahan kelas atas yang dihuni oleh orang-orang kaya. Rumah-rumah besar dengan halaman luas berjajar rapi di sepanjang jalan. Pohon-pohon rindang tumbuh di tepi trotoar, memberikan suasana yang asri. Beruntungnya, penghuni komplek ini adalah tipe orang yang sibuk dengan urusan masing-masing. Mereka jarang sekali ikut campur dalam kehidupan tetangga.
“Ah, senangnya tinggal di sini. Bisa olahraga pagi tanpa harus diganggu atau dinilai macam-macam,” gumam Netha sambil tersenyum.
Meskipun begitu, seluruh komplek ini tahu siapa dirinya. Sulit untuk tidak mengenal Netha, satu-satunya wanita bertubuh gemuk di sini yang memiliki suami tampan, Sean Jack Harison, seorang komandan militer yang disegani, dan dua anak kembar yang sama tampannya. Kadang, pandangan orang tertuju padanya, tetapi Netha mengabaikannya.
Sesekali, tetangga yang lewat menyapa Netha, dan ia pun membalas sapaan itu dengan ramah. Beberapa kali juga ia yang memulai menyapa lebih dulu. Tidak ada yang menatapnya aneh atau menyindir tubuhnya, mungkin karena ia adalah istri Sean, seseorang yang tak banyak orang berani ganggu urusannya.
Setelah beberapa putaran mengelilingi komplek, Netha sampai di taman utama. Taman itu begitu indah dan luas. Ada taman bunga yang tertata rapi, area jogging track, lapangan basket, lapangan voli, dan juga arena bermain anak-anak. Fasilitas di taman ini teramat baik, layaknya taman di komplek mewah yang dirawat dengan profesional.
Di sudut taman, terlihat banyak orang yang sedang beraktivitas. Ada yang jogging, ada juga yang berjalan santai, dari anak muda hingga orang tua. Bahkan beberapa pedagang kaki lima berjejer rapi di sekitar taman, menjual berbagai makanan ringan dan minuman.
“Wah, nyaman sekali ya di sini,” ujar Netha sambil mengatur napasnya. Setelah berlari selama dua jam, tubuhnya mulai terasa sedikit lelah, tetapi hatinya terasa lebih ringan.
Ia duduk di salah satu kursi taman yang kosong dan mengeluarkan botol air mineral yang baru saja ia beli dari pedagang. Sambil meneguk air, Netha menatap taman dengan senyum kecil.
“Damai sekali…” bisiknya. Ia mendongakkan kepala, menatap langit yang mulai terang. Di kehidupan sebelumnya, Netha tidak pernah merasakan ketenangan seperti ini. Hidupnya hanya berkisar antara kantor dan rumah, bekerja tanpa henti. Pemandangan indah seperti ini hanya ia lihat dari layar komputer atau ponsel.
“Sekarang aku punya kesempatan untuk menikmati hidup. Mungkin ini adalah hadiah kedua untukku,” lanjutnya dalam hati sambil tersenyum puas.
Pandangan Netha teralih ke sebuah kerumunan kecil. Beberapa orang sedang mengantre di depan gerobak bubur ayam yang terlihat ramai. Perutnya tiba-tiba berbunyi pelan, membuatnya tertawa kecil.
“Hmm… beli bubur enak juga nih,” gumamnya. Dengan langkah ringan, ia menghampiri penjual bubur dan ikut antre. Setelah beberapa menit, tibalah gilirannya.
“Bungkus tiga ya, Bang. Satu porsinya kecil saja, dua lagi sedang,” ujar Netha sambil tersenyum.
Penjual bubur itu mengangguk sambil melayani pesanannya. Setelah menerima bungkusan bubur ayam, Netha berjalan pulang dengan langkah santai, senyum masih mengembang di wajahnya.
Sementara itu, di rumah, El dan Al baru saja bangun. Keduanya keluar dari kamar dengan piyama yang masih kusut. Mereka menuju kamar mandi, mencuci muka, dan menggosok gigi seperti kebiasaan pagi mereka.
Saat keluar dari kamar mandi, keduanya terdiam di koridor rumah. Mereka saling berpandangan, keheranan dengan pemandangan di sekitar mereka. Rumah yang biasanya berantakan kini terlihat begitu bersih. Lantai berkilau, meja rapi, dan tak ada satu pun sampah berserakan.
“El, lihat deh. Rumahnya jadi… bersih,” ujar Al dengan suara pelan namun penuh rasa tak percaya.
El hanya mengangguk kecil, menatap sekeliling dengan mata waspada. “Iya. Tapi… mana wanita itu?” tanyanya dengan nada datar.
Keduanya berjalan ke kamar Netha, mengetuk pintu perlahan. Namun, tidak ada jawaban dari dalam. Ketika pintu kamar dibuka, ruangan itu kosong. Mereka berjalan ke dapur, tetapi Netha tidak ada di sana juga.
“Jangan-jangan… dia pergi?” gumam Al sambil menatap kakaknya.
El menatapnya dengan tajam. “Maksudmu dia meninggalkan kita?”
Al mengangguk kecil. “Iya. Papa sama dia kan mau cerai. Kalau sekarang Mama pergi, terus kita ditinggal sendirian gimana?”
Wajah mereka langsung murung. El dan Al berjalan pelan menuju teras rumah dan duduk di tangga depan dengan pikiran masing-masing. Mereka mencoba mencerna apa yang sedang terjadi.
“Kalau dia pergi… kita ikut Papa, kan?” tanya Al pelan.
El diam sejenak, lalu mengangguk. “Iya. Papa nggak mungkin ninggalin kita.”
Namun, tetap saja, perasaan mereka bercampur aduk. Mereka masih anak-anak yang berharap keluarganya bisa utuh. Duduk di teras rumah, keduanya hanya menatap kosong ke halaman depan yang masih sepi.
Beberapa menit berlalu, seorang tetangga yang baru selesai berlari pagi dan berbelanja sayuran melihat mereka berdua duduk dengan wajah cemberut. Tetangga itu adalah seorang wanita paruh baya yang tinggal beberapa rumah dari mereka.
“Hai, El, Al! Kenapa kalian di luar pagi-pagi begini? Dingin, lho,” sapanya ramah sambil mendekat.
El dan Al menoleh, sedikit terkejut dengan kedatangan tetangga itu. “Tante… Mama nggak ada di rumah,” jawab Al pelan.
“Oh? Ke mana Mamamu? Kok kalian duduk di sini?” tanya wanita itu lagi dengan penasaran.
“Kami nggak tahu, Tante. Kami pikir… dia pergi ninggalin kami,” sahut El dengan suara datarnya.
Tetangga itu tertawa kecil, menggelengkan kepala. “Eh, kalian ini gimana sih? Tadi Tante lihat Mamamu lagi olahraga di taman. Kelihatannya dia sudah mau pulang, kok. Jangan khawatir, ya.”
Kedua anak itu langsung menatap satu sama lain, lega. “Oh, gitu ya? Makasih, Tante,” ucap Al sambil tersenyum kecil.
“Sama-sama. Sekarang kalian masuk ke dalam, jangan duduk di luar lama-lama. Nanti masuk angin,” nasihat wanita itu sebelum berlalu pergi.
El dan Al mengangguk kecil, lalu bangkit berdiri. Mereka masuk kembali ke dalam rumah dan duduk di sofa sambil menunggu Netha pulang. Pikiran mereka sedikit lebih tenang setelah mendengar penjelasan dari tetangga.
Tak lama kemudian, pintu depan terbuka. Netha masuk dengan nafas sedikit terengah setelah perjalanan pulang dari taman. Di tangannya ada kantong plastik berisi tiga bungkus bubur ayam.
“Eh, kalian sudah bangun?” sapa Netha sambil tersenyum kecil.
El dan Al menoleh ke arahnya. Mata mereka berbinar kecil, lega melihat wanita itu kembali. Namun, mereka tidak langsung menjawab.
“Ini, aku beli bubur ayam buat sarapan. Ayo makan,” lanjut Netha sambil berjalan ke dapur untuk menyiapkan mangkuk.
El dan Al hanya saling berpandangan, lalu mengikutinya ke meja makan. Dalam hati, mereka merasa sedikit lebih nyaman dengan kehadiran Netha yang, entah bagaimana, terlihat berbeda dari biasanya.
To Be Continued…