Surga Dunia Jenna Dan Jagat

"Rosaline Cafe?" ulang Jagat, lalu terdiam sejenak. Dia ingat betul bahwa Jenna berpamitan untuk pergi ke salon. "Ah, ya." Jagat tersenyum cukup lebar. "Kemarin, aku sangat lelah. Jadi, tidak bisa menemaninya."

"Begitu rupanya." Harvey manggut-manggut. "Tapi, aku tidak tahu ada masalah apa antara istrimu dengan ...." Harvey terdiam sejenak. Dia seperti ragu melanjutkan kalimatnya.

"Dengan siapa?" Jagat menatap lekat penuh penasaran.

"Um, seorang wanita paruh baya. Istrimu melakukan sesuatu yang menurutku sangat tidak sopan kepada wanita itu," terang Harvey.

"Tidak sopan bagaimana?" Kali ini, Jagat menatap tak mengerti. "Setahuku, Jenna adalah wanita lembut yang _____"

"Istrimu menyiramkan minuman ke wajah wanita yang jadi lawan bicaranya," sela Harvey. "Bukan hanya aku yang melihat itu, Kawan. Kebetulan, kemarin aku sedang minum kopi bersama Anton dan Farhat. Jika kamu tidak percaya dengan apa yang kukatakan, silakan tanyakan kepada mereka."

"Untuk apa? Aku percaya pada istriku. Dia tidak akan melakukan sesuatu tanpa ada alasan jelas. Kalaupun Jenna bertindak seperti itu, aku yakin pasti ada penyebabnya." Jagat berusaha membela Jenna, meskipun ada perasaan aneh yang tiba-tiba muncul. Satu tanda tanya besar hadir, atas ketidakjujuran istrinya.

"Maafkan aku, Kawan. Aku tidak tahu kepan dan di mana kamu mengenal Jenna. Namun, Anton bercerita kalau dia pernah melihat seseorang yang sangat mirip dengan istrimu di Bali. Wanita itu bernama Jasmine."

Seketika, Jagat terdiam. Ingatannya kembali pada beberapa waktu silam, saat bertemu tanpa sengaja dengan Bastian Halim dan seorang wanita bernama Kania, yang mengaku sebagai teman lama Jenna.

"Bali?" ulang Jagat, seraya menautkan alis.

"Ya. Seminyak."

Jagat kembali terdiam.

"Mungkin itu hanya kebetulan. Kita tahu bahwa ada beberapa orang yang memiliki kemiripan secara fisik, meskipun bukan saudara kandung. Akan tetapi, aku hanya mendengarkan cerita Anton yang .... Entahlah. Lupakan saja apa yang kukatakan barusan." Harvey tersenyum kalem, lalu bersiap memukul bola.

Namun, Jagat sudah kehilangan konsentrasi. Dia cukup terpengaruh oleh ucapan Harvey. Terlebih, dirinya memang tidak tahu-menahu tentang asal-usul Jenna.

Hari itu, Jagat tidak terlalu menikmati permainan golf bersama Harvey. Padahal, olahraga mahal tersebut merupakan kesukaannya. Namun ucapan Harvey telah membuat pikiran Jagat jadi tak menentu. Dia ingin segera pulang.

"Bagaimana hari ini?" tanya Jenna lembut, setelah Jagat selesai mandi. Dipeluknya pria itu dari belakang. Aroma segar sabun mandi menguar dari tubuh tegap Jagat, yang hanya mengenakan handuk sebatas perut.

"Biasa saja," jawab Jagat, membiarkan Jenna mengusap-usap lembut perut dan dadanya.

"Aku akan membuatkan makanan kesukaanmu untuk makan malam nanti," ucap Jenna lembut, seraya mengecup mesra pundak bagian belakang Jagat.

"Terima kasih." Jagat tersenyum kalem, seraya mengarahkan kepala ke belakang sehingga bersentuhan dengan kepala Jenna. "Kita harus membeli cinderamata terlebih dulu. Kamu punya ide?"

"Hm. Apa, ya?"

"Sesuatu yang mungkin tidak ada di Belanda," ujar Jagat ragu.

"Rempah-rempah," canda Jenna, diakhiri tawa renyah.

"Ayolah, Sayang." Jagat ikut tertawa, meskipun itu bukan candaan yang terlalu lucu untuk ditanggapi.

"Kita pikirkan saja nanti. Lagi pula, apa pun cinderamata yang kita berikan, tidak akan memengaruhi perjalanan mereka. Jadi, tidak usah terlalu pusing memikirkan hal itu."

Jenna kembali mengecup lembut pundak Jagat. Perlahan, tangannya membuka gulungan handuk di perut pria itu hingga terlepas. Nakal, Jenna meraih sesuatu, lalu memainkannya perlahan.

Embusan napas berat dan dalam meluncur dari bibir Jagat. Dia memejamkan mata, merasakan gerakan perlahan bagai pijatan lembut yang teramat memanjakan. Kenikmatan itu membuat Jagat seketika lupa pada perbincangan dengan Harvey.

Sesaat kemudian, Jagat membalikan badan jadi menghadap Jenna. Diciumnya mesra wanita itu hingga beberapa saat.

"Aku sudah siap memberikan apa yang kamu inginkan," ucap Jenna pelan, setelah puas berciuman. Senyum manis terlukis indah, memberikan godaan besar yang membuat hasrat kelelakian Jagat kian terbangkitkan.

Jagat yang sudah dalam keadaan bertelanjang bulat, tersenyum samar. Sebagai pria normal, dia memang sudah menantikan saat-saat di mana bisa memiliki Jenna seutuhnya. Menikmati cinta, mereguk keindahan serta kenikmatan dengan cara berbeda.

Ditatapnya Jenna yang tengah melepas pakaian satu per satu, tanpa berpaling sedetik pun. Jagat menelan ludah dalam-dalam, ketika beberapa bagian tubuh Jenna sudah terekspos sempurna.

Sungguh merupakan satu keindahan yang tak dapat dipungkiri. Jenna memiliki kesempurnaan fisik yang diidamkan setiap wanita. Lekukan dan tonjolan menggoda, yang menjadi daya tarik luar biasa bagi lawan jenisnya.

"Semoga Sakha tidur nyenyak kali ini," bisik Jagat, setelah menarik Jenna ke dalam rangkulannya.

"Dia tahu apa yang kamu inginkan."

"Sama seperti yang kamu inginkan juga, kan?"

Jenna tertawa renyah. "Tentu saja. Kamu sangat tampan dan ...." Jenna menatap lembut penuh cinta. "Sentuh dan miliki sekarang juga."

"Dengan senang hati."

Untuk pertama kali setelah cukup lama menanti. Sejoli itu akhirnya bisa sama-sama saling memiliki, merasakan kehangatan masing-masing dalam satu dekapan.

Tubuh keduanya merapat sempurna, tanpa ada jarak yang tersisa. Embusan napas beradu, menghadirkan irama syahdu yang mengiringi penyatuan panas penuh gelora.

Sekian lama, Jagat tak merasakan kenikmatan seperti itu. Dia seperti baru terbangun dari mimpi yang panjang.

Begitu juga dengan Jenna. Dia sangat menikmati, meskipun pergumulan panas itu tiba-tiba mengingatkannya pada sosok Haris alias Om Tio.