**"Siapa sangka perempuan yang begitu anggun, patuh, dan manis di depan Arga, sang suami, ternyata menyimpan sisi gelap yang tak pernah ia duga. Di balik senyumnya yang lembut, istrinya adalah sosok yang liar, licik, dan manipulatif. Arga, yang begitu percaya dan mencintainya, perlahan mulai membuka tabir rahasia sang istri.
Akankah Arga bertahan ketika semua topeng itu jatuh? Ataukah ia akan menghancurkan rumah tangganya sendiri demi mencari kebenaran?"**
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pertengkaran
Di dalam kamar, Alya berdiri di depan Arga dengan wajah merah padam. Napasnya memburu, dan matanya memancarkan kemarahan yang jarang sekali ia tunjukkan.
“Kenapa kau membawa Mentari ke salon?” Alya menatap suaminya dengan penuh kecurigaan. Nada suaranya meninggi, sesuatu yang baru pertama kali terjadi dalam pernikahan mereka. Biasanya Alya lebih memilih mengeluh atau mengabaikan, tetapi kali ini, ia tak bisa menahan rasa cemburunya.
Arga, yang sedang melepas jasnya, hanya melirik Alya dengan tatapan tenang. “Aku hanya ingin dia terlihat lebih rapi,” jawabnya singkat, seolah pertanyaan Alya tidak terlalu penting.
Alya mendekat, nadanya semakin tajam. “Rapi? Mentari itu pembantu kita, Arga. Kenapa kau harus peduli pada penampilannya? Dan kenapa kau harus repot-repot membawanya sendiri?”
Arga berhenti sejenak, menatap Alya dengan tatapan datar yang penuh arti. Ia melihat istrinya yang berapi-api, dan jujur saja, ada sedikit perasaan terkejut dalam dirinya. Ini pertama kalinya Alya benar-benar menunjukkan sisi agresifnya. Namun, Arga tetap tenang, mengendalikan emosinya.
“Aku hanya ingin dia membantu mengurus beberapa hal untukku, Alya. Itu saja,” katanya, nada suaranya dingin, hampir tanpa emosi.
Namun, jawaban itu justru membuat Alya semakin geram. “Membantu? Kau tidak pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya, Arga! Jangan bilang kau mulai tertarik pada sepupuku itu!” Suaranya meninggi, membuat suasana di kamar menjadi tegang.
Arga menghela napas panjang, menahan dirinya agar tidak terpancing. “Alya, kau terlalu berlebihan. Mentari itu hanya sepupumu, dan aku tidak punya alasan untuk memperlakukan dia lebih dari itu,” katanya dengan nada tenang namun tegas.
Tapi Alya tidak puas. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan suaminya. Ia tidak bodoh; Arga belakangan ini berbeda, lebih dingin dan lebih sulit ditebak.
“Kenapa kau berubah, Arga?” tanya Alya dengan suara yang kini mulai melemah. Matanya menatap suaminya penuh rasa curiga dan kebingungan. “Kau tidak seperti biasanya. Dulu, setiap kali aku marah, kau selalu mencoba membujukku, mencoba menenangkanku. Tapi sekarang... Kau bahkan tidak peduli.”
Arga hanya diam sejenak, menatap Alya dengan pandangan yang sulit diartikan. Dalam hatinya, ia ingin meledak, ingin mengungkapkan semua rasa muaknya pada wanita ini, wanita yang telah menghancurkan kepercayaannya dengan perselingkuhan. Namun, ia menahan diri. Belum waktunya.
“Alya, aku hanya lelah,” kata Arga akhirnya. “Aku lelah menghadapi omelan dan tuduhan tak berdasar. Aku ingin kedamaian, itu saja.”
Kata-kata itu membuat Alya tertegun. Ia merasa aneh. Suaminya tidak biasanya berbicara seperti ini. Tapi sebelum ia sempat membalas, Arga sudah berbalik, menuju balkon, meninggalkan Alya yang masih berdiri mematung.
Dalam hati, Alya merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia merasa ada sesuatu yang besar sedang disembunyikan Arga darinya, tetapi ia tidak tahu apa itu. Sementara itu, Arga tersenyum tipis di balkon, menatap langit malam. Ia tahu, waktunya akan tiba untuk membuka semua kebohongan Alya. Tapi tidak sekarang.
Alya yang masih dipenuhi amarah berlari ke lantai bawah, menuju kamar Mentari. Tanpa ragu, dia mengetuk pintu dengan keras, membuat suasana rumah yang semula hening berubah tegang.
Tok! Tok! Tok!
“Mentari! Buka pintunya sekarang!” suara Alya melengking, penuh dengan emosi.
Mentari, yang baru saja selesai membersihkan kamarnya, membuka pintu dengan ragu. Wajahnya tampak pucat, dan matanya memancarkan ketakutan. Dia tahu betul, amarah Alya bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh.
"A-ada apa, Mbak Alya?" tanya Mentari dengan suara bergetar.
Alya mendorong pintu hingga terbuka lebar, langkahnya mendekat dengan sorot mata penuh kebencian. “Berani sekali kau, ya!” seru Alya, nadanya meninggi. “Mentari, aku sudah memperingatkanmu, jangan coba-coba menggoda suamiku!”
“M-mbak Alya, saya tidak—” Mentari mencoba menjelaskan, tetapi kata-katanya langsung dipotong.
“Diam!” Alya menunjuk wajahnya dengan jari telunjuk yang gemetar karena marah. “Kau ini sepupuku, Mentari! Aku sudah memberimu pekerjaan, tempat tinggal, dan semua yang kau butuhkan! Kau pikir aku akan diam saja kalau kau melanggar batas?”
Mentari tertegun, matanya mulai berkaca-kaca. “Saya tidak pernah bermaksud begitu, Mbak Alya. Saya hanya melakukan apa yang diperintahkan oleh Pak Arga...”
“Perintah?” Alya mendengus sinis, menatap Mentari dengan penuh curiga. “Perintah macam apa sampai dia membawamu ke salon? Kau pikir aku bodoh? Aku tahu apa yang kau lakukan! Kau sengaja berusaha menarik perhatiannya, kan?”
Mentari menggeleng keras. “Tidak, Mbak Alya! Saya tidak pernah berpikir seperti itu. Saya hanya menjalankan tugas saya. Pak Arga bilang saya harus—”
“Sekali lagi kau menyebut nama suamiku, aku tidak akan memaafkanmu!” Alya memotong dengan suara menggertak. “Ingat, Mentari, kau hanya pembantu di rumah ini! Jangan lupa tempatmu! Jika aku melihat kau bersama suamiku lagi, aku akan memastikan kau tidak punya tempat tinggal, tidak punya pekerjaan, dan tidak punya apa-apa!”
Mentari hanya bisa diam, tubuhnya gemetar. Dia tidak tahu harus berkata apa lagi. Perasaan takut dan tak berdaya menguasai dirinya.
Alya, yang merasa puas telah meluapkan emosinya, berbalik dengan langkah cepat, meninggalkan Mentari yang berdiri terpaku di ambang pintu. Hati Mentari terasa hancur. Tidak hanya karena tuduhan Alya, tetapi juga karena rasa bersalah.
Keesokan paginya, Alya bangun dengan perasaan berdebar. Di ponselnya, terdapat sebuah pesan dari Reza:
"Aku sudah di hotel. Jangan lupa datang, sayang. Aku tunggu."
Alya membaca pesan itu dengan senyum manis di wajahnya. Ada perasaan bahagia yang aneh setiap kali dia bertemu dengan Reza, meskipun di sudut hatinya dia tahu apa yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan besar.
Namun, kali ini ada hal yang membuatnya sedikit bingung. Arga sedang berada di rumah. Biasanya, suaminya selalu sibuk di kantor atau bertemu klien. Bagaimana dia bisa keluar dengan alasan yang masuk akal?
Setelah beberapa saat berpikir, Alya akhirnya menemukan cara. Dia mendekati Arga yang sedang duduk di ruang kerja. Suaminya tampak sibuk dengan dokumen-dokumen, wajahnya tenang seperti biasa.
“Mas, aku mau keluar sebentar ya,” kata Alya, berusaha terdengar santai.
Arga mengangkat wajahnya, menatap Alya sekilas. “Keluar ke mana?” tanyanya dengan nada datar.
“Ke butik, Mas. Aku butuh beli beberapa barang baru. Ada acara minggu depan, kan?” jawab Alya sambil tersenyum, berharap alasan itu terdengar masuk akal.
Arga terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Oh, begitu. Ya sudah, hati-hati di jalan.”
Alya merasa lega mendengar jawaban itu. Dia tidak menyangka Arga akan mengizinkannya dengan mudah. Tanpa banyak berpikir, dia segera bersiap dan pergi meninggalkan rumah.
Namun, begitu Alya pergi, Arga tersenyum tipis. Senyum yang penuh arti. Dalam hatinya, dia tahu betul apa yang sedang terjadi. “Pasti dia mau bertemu Reza lagi,” pikir Arga. Rasa muak yang selama ini dia tahan semakin membesar, tetapi dia tetap menjaga ketenangannya.
Arga mengambil ponselnya, menghubungi seseorang. “Kamu tahu apa yang harus dilakukan,” katanya singkat sebelum menutup telepon.
Sementara itu, Alya tiba di hotel dengan hati yang berdebar. Dia berjalan masuk dengan penuh percaya diri, tidak menyadari bahwa semua gerak-geriknya sudah diawasi dari kejauhan.
Di kamar hotel, Reza menyambutnya dengan senyum lebar. “Akhirnya kau datang juga,” katanya sambil menarik Alya ke dalam pelukannya.
Alya tertawa kecil. “Tentu saja aku datang. Kau pikir aku akan menolak?”
Namun, mereka tidak menyadari bahwa di luar kamar, seseorang telah memotret setiap momen mereka secara diam-diam. Semua yang terjadi di hotel itu adalah bagian dari rencana Arga untuk mengumpulkan bukti perselingkuhan istrinya.
Arga, yang masih berada di rumah, menerima pesan di ponselnya. Foto-foto Alya bersama Reza di hotel dikirimkan kepadanya. Dia melihatnya satu per satu dengan ekspresi dingin, meskipun dalam hatinya terasa seperti ada luka yang semakin menganga.
“Sudah cukup,” gumamnya pelan. “Sebentar lagi, semua akan berakhir.”
semangat Thor