Jihan yang polos dan baik hati perlu mengumpulkan uang dalam jumlah yang besar untuk membayar tagihan medis ibunya yang sakit parah. Terpaksa oleh situasi, dia menandatangani kontrak pernikahan dengan CEO perusahaan, Shaka. Mereka menjadi suami istri kontrak.
Menghadapi ibu mertua yang tulus dan ramah, Jihan merasa bersalah, sedangkan hubungannya dengan Shaka juga semakin asmara.
Disaat dia bingung harus bagaimana mempertahankan pernikahan palsu ini, mantan pacar yang membuat Shaka terluka tiba-tiba muncul...
Bagaimana kisah perjalanan Jihan selama menjalani pernikahan kontrak tersebut.?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Jihan sedang merapikan meja kerja saat sebuah pesan masuk ke ponselnya. Wanita dengan bulu mata lentik itu melirik sekilas ponselnya di atas meja, pesan masuk dari 'Pak Shaka'.
Jihan menyelesaikan pekerjaannya lebih dulu karna sudah waktunya jam pulang. Dia baru membuka pesan dari Shaka begitu mejanya selesai di rapikan.
'Saya tunggu di mobil. Kita ke rumah sakit bersama.'
Jihan membaca pesan dalam hati, dia memasukkan ponselnya ke dalam tas setelah membalasnya. Jangan sampai Shaka mengamuk karna dibiarkan menunggu lama, walaupun rasanya tidak mungkin Shaka bisa mengamuk.
Langkah Jihan berhenti di samping mobil mewah warna hitam yang mengkilap. Saking mengkilapnya, rasanya debu saja insecure untuk menempel di sana. Jihan jadi ragu mengetuk mobil mewah tersebut.
Di tengah keraguan Jihan, pintu mobil tiba-tiba di buka dari dalam.
"Masuk.!" Titah pria yang duduk di belakang kemudi.
Jihan mengangguk kecil dan masuk ke dalam mobil mewah tersebut. Mobil itu tidak sama dengan mobil kemarin. Walaupun sama-sama mahal, tapi mobil yang satu ini kelihatan masih sangat baru. Untuk seorang Sultan seperti Shaka, bergonta-ganti mobil sudah menjadi hal yang lumrah. Jihan belum lihat saja koleksi mobil mewah keluarga Shaka yang berjajar rapi di garasi.
"Orang tua Pak Shaka jadi ke rumah sakit.?" Jihan membuka obrolan untuk sekedar mencairkan suana. Rasanya sayang sekali naik mobil mewah seperti ini tapi suasananya tegang dan mencekam. Terlebih Jihan bukan orang yang betah diam seribu bahasa tanpa suara.
"Kalau nggak jadi, ngapain saya ikut ke rumah sakit." Jawabnya cuek.
Shaka melirik sekilas. Tatapan mata keduanya sempat beradu. Sorot mata Shaka memang tegas dan dalam, siapapun yang menatapnya seolah tertarik, seperti ada magnet di dalamnya.
Jihan tersenyum kikuk. Shaka memang tidak bisa di ajak basa-basi. Bibir Jihan yang biasanya cerewet, mendadak terkunci rapat. Sebab lawan bicaranya seperti kulkas 4 pintu.
Mobil mewah itu melaju dengan kecepatan sedang menuju rumah sakit. Jihan akhirnya diam walaupun sebenarnya tidak betah. Mulutnya sudah gatal ingin bicara, tapi melihat wajah datar dan sikap cuek Shaka, lebih baik Jihan memang diam saja.
...******...
Jihan menyapa sopan dan ramah kedua orang tua Shaka. Sepasang suami istri itu rupanya sudah 10 menit datang lebih awal di rumah sakit. Mata Jihan sampai berkaca-kaca karna terharu. Dia seperti menemukan keluarga baru yang begitu peduli dengan keluarga kecilnya. Padahal Sonia dan Mahesa orang kaya yang terpandang, tapi tak memandang rendah seorang Jihan yang terlahir dari keluarga sederhana.
Belum menjadi istri Shaka, Jihan merasa sudah di limpahi kebahagiaan tak terkira. Bagaimana kalau nanti benar-benar menjadi istri Shaka dan menjadi menantu dari kedua mertua yang baik itu.
Jihan rasanya ingin menangis bahagia, namun sebuah kenyataan cukup menamparnya. Membuat Jihan sadar bahwa pernikahannya dengan Shaka hanya sandiwara.
"Tadi Mama sudah bertemu adikmu. Dia Mama suruh keluar beli makanan, katanya belum makan sejak siang." Tutur Sonia seraya merangkul pundak Jihan dan mengajaknya duduk di sofa.
Dewi, Mama Jihan itu terbaring pulas di ranjangnya setelah minum obat 1 jam yang lalu. Kedua orang tua Shaka belum sempat bicara dengan Mama Jihan.
"Maaf Mah, adik Jihan jadi merepotkan." Lirih Jihan tak enak hati, karna orang tua Shaka jadi harus menjaga Mamanya.
Sonia menggeleng disertai senyum teduh.
"Jangan sungkan. Lagipula sambil menunggu kalian datang."
Jihan menahan diri untuk tidak memeluk Nyonya Sonia. Wanita paruh baya itu terlalu baik padanya, tentunya dengan kebaikan yang tulus karna Jihan bisa merasakannya.
Di pojok ruangan, Juna sedang menyantap makanannya dengan lahap. Dia belum sempat makan siang karna langsung kembali ke rumah sakit sepulang dari kampus.
Tadi orang tua Shaka memberikan beberapa lembar uang pecahan seratus ribuan padanya untuk dibelikan makanan.
Jihan beranjak dari duduknya dan menghampiri Juna.
"Kamu beli makanan sebanyak itu, memangnya ada uangnya.?" Lirih Jihan setengah berbisik.
Juna tidak hanya membawa sebungkus nasi padang untuknya makan, tapi juga membawa beberapa cemilan, kue dan minuman yang sudah diletakkan di atas meja. Di depan Shaka serta kedua orang tuanya.
Juna dengan santainya mengeluarkan beberapa lembar uang dari saku celananya. Sisa uang kembalian tadi. Masih ada 2 pecahan seratus ribuan dan beberapa lembar pecahan lainnya.
Kening Jihan mengernyit. Juna belum pernah dia kasih uang sebanyak itu.
"Dari Mamanya Mas Shaka. Juna bersyukur Mba Jihan mau menikah sama Mas Shak, orang tuanya baik semua. Nggak masalah walaupun Mas Shakanya jutek." Jawab Juna lirih.
"Juna, kenapa kamu terima uangnya.? Mba nggak pernah ngajarin kamu begitu." Jihan tak fokus dengan ucapan Juna, dia malah khawatir dengan tindakan adiknya tersebut. Takut di nilai buruk karna begitu mudah menerima uang.
"Rejeki nggak boleh di tolak kan Mba.?" Juna balik bertanya, membalikan ucapan Jihan yang sering dia ucapkan pada adiknya tersebut.
"Ini juga di paksa, aku sudah menolak berkali-kali." Sambung Juna meyakinkan.
Jihan menghela nafas pasrah tanpa mendebat lagi, lalu kembali bergabung dengan Shaka dan kedua orang tuanya.
...*****...
Sonia dan Mahesa sudah pulang 30 menit yang lalu, begitu juga Shaka.
Sebenarnya kedua orang tua Shaka ingin mengobrol dengan Mama Jihan sebelum tindakan operasi di lakukan nanti malam. Tapi melihat Mama Jihan tertidur pulas, Sonia memutuskan pulang dan akan kembali besok pagi.
Jihan keluar dari kamar mandi. Penampilannya tampak segar dengan rambut yang masih basah. Sudah malam ke 4 Jihan dan Juna bermalam di ruang rawat inap rumah sakit. Penat dan lelah sudah pasti melanda keduanya. Namun demi menjaga sang Mama, mereka tak mengeluh sedikitpun. Sebab menjaga dan merawat orang tua yang sedang sakit merupakan salah satu kewajiban anak. Tapi semua itu tak akan sebanding dengan pengorbanan Dewi saat merawat Jihan dan Juna sejak kecil.
Malam itu pukul 7, Dewi di bawa ke ruang operasi.
Beberapa pesan dan nasehat di untai kan pada kedua anaknya. Meminta keduanya untuk saling menjaga dan menyayangi. Wanita paruh baya itu memikirkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi jika operasinya gagal. Jadi berpesan pada kedua anaknya sebelum masuk ke ruang operasi.
Di luar ruangan, kakak beradik itu duduk gelisah di kursi panjang yang sama. Lantunan do'a di panjatkan mereka dalam hati untuk keselamatan orang terkasih. Satu-satunya orang tua yang masih tersisa.
...******...
Shaka dalam perjalanan menuju rumah sakit. Mobil mewahnya menyusuri padatnya kota Jakarta malam itu. Kendaraan umum dan pribadi saling berhimpitan, bunyi klakson di mana-mana. Orang-orang yang kelelahan setelah seharian bekerja, tampak sudah tidak sabar ingin segera sampai di rumah dan istirahat.
Sudah hampir 40 menit berkendara, Shaka belum juga tiba di rumah sakit yang jaraknya hanya 7 kilometer. Padahal jarak tersebut biasa di tempuh hanya dalam waktu 20 menit saja menggunakan mobil pribadi.
Pria dengan pakaian santai itu tampak menyadarkan punggungnya dan menghela nafas kasar. Kalau bukan karna paksaan sang Mama, mana mau Shaka pergi ke rumah sakit untuk menemani Jihan.
Sore tadi Shaka cukup lama mengurung diri di ruang kerjanya hingga jam makan malam. Sebenarnya Shaka tidak sengaja mengurung, sebab ada pekerjaan yang harus segera dia selesaikan.
untuung kau masih warasss dan babynya kuat ga knp2.. 0