Abigail, seorang murid Sekolah Menengah Atas yang berprestasi dan sering mendapat banyak penghargaan ternyata menyimpan luka dan trauma karena di tinggal meninggal dunia oleh mantan kekasihnya, Matthew. Cowok berprestasi yang sama-sama mengukir kebahagiaan paling besar di hidup Abigail.
Kematian dan proses penyembuhan kesedihan yang tak mudah, tak menyurutkan dirinya untuk menorehkan prestasinya di bidang akademik, yang membuatnya di sukai hingga berpacaran dengan Justin cowok berandal yang ternyata toxic dan manipulatif.
Bukan melihat dirinya sebagai pasangan, tapi menjadikan kisahnya sebagai gambaran trauma, luka dan air mata yang terus "membunuh" dirinya. Lalu, bagaimana akhir cerita cinta keduanya?
© toxic love
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Lita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 : Danau dan Buku Kesayangan Abigail
"Ngapain kamu masuk ke sini?" tanya Justin dengan nada dingin. Tatapan matanya menyala, tertuju pada Aurel.
Grace menghela napas pelan, lalu tersenyum kepada mereka berdua. "Jadi begini, sayang. Aurel itu baik sekali, ia ingin selalu menjaga kamu dalam keadaan apa pun!"
"Tidak usah, Bu. Justin sudah gede!" Grace berusaha sabar, ia meraih lengan putranya. Aurel merasakan tekanan mental yang dialami Grace sangat besar.
"Tante, tidak apa-apa. Ayo kita keluar!" Aurel tersenyum hangat, mengajaknya pergi dari sana.
Mereka kembali ke ruang tamu. Grace menemukan ketenangan di mata Aurel. Mereka duduk bersama, sedikit canggung karena tindakan Aurel mungkin membuat Justin atau ibunya tidak nyaman, karena telah mengusik privasi.
"Kalau kamu ingin menikah dengan Justin, Tante merestui!" Grace meraih tangan Aurel dan menciumnya. "Kamu adalah pasangan yang baik untuk Justin kelak!"
Justin tidak peduli. Ia berjalan tanpa mempedulikan mereka berdua. Aura dingin dan sikapnya yang ditunjukkan persis seperti John, ayahnya.
"Menikah ya, Tante?" tanya Aurel dengan sedikit malu.
Keberanian Grace muncul. Ia memutuskan untuk menyusul Justin keluar dan memintanya untuk berbicara sebentar.
"Justin, kamu dengar tadi apa yang ibu bilang?" Justin mengangguk. Ia mendengarnya. Pernikahannya dengan Aurel, kan? Padahal ia sejak dulu menolak permintaan itu.
"Tante, tidak perlu. Aku tidak meminta Justin untuk menjawabnya sekarang. Ia masih muda, masih banyak waktu untuk bersenang-senang!" kata Aurel.
Dahulu, jauh sebelum ini, Justin lahir dengan masa lalu yang cukup menyedihkan. Grace dan John tinggal di Meksiko bertahun-tahun. Joana, ibu John, mengasuh cucunya saat mengalami depresi. Ia memiliki sifat yang cukup kejam.
Selama itu juga, Justin kecil hingga dewasa sama sekali tidak pernah diperkenalkan dengan orang tuanya.
"Ngomong-ngomong, Tante kenapa tidak pernah memutuskan untuk bercerai kalau misalnya selama menikah yang didapat hanya tekanan mental?" tanya Aurel dengan hati-hati.
"Sulit. Selama ini Tante hanya dituntut untuk menutupi kebusukan John," Grace mencintai John, namun dia tidak suka pada perilaku dan pikirannya.
"Busuk?" tanya Aurel lagi. Ia cukup penasaran dengan apa yang membuat Grace benar-benar tidak mempedulikan itu semua.
"Iya, ada perusahaan besar yang membuat kekayaan Ayah dari Justin melesat. Sebuah perusahaan yang benar-benar disembunyikan dari badan publik. Bukan perusahaan yang saat ini dikelola oleh John dan Joanna."
O0O
Senja di tepi danau.
"Hai Abigail sayang!"
"Aku menulis surat ini di depan danau, surat yang kutulis sebagai bentuk cintaku kepada Justin, kekasih baruku! Entah mengapa, aku merasa begitu jatuh cinta padanya. Mungkin karena parasnya begitu rupawan dan mirip dengan kekasih lamaku, Matthew!"
"Beribu kata cinta yang bisa kuucapkan. Tetapi, ucapanku tetap, aku mencintainya. Aku yang rela membuang semua mimpinya, hanya untuk hidup dengannya. Aku sangat mencintainya!"
"Hm, sepertinya ibuku juga merestui hubungan kami!" Senyumnya berbinar saat mengingat itu.
Sejak beberapa jam yang lalu, Abigail telah mempersiapkan segalanya. Parfum yang wangi, polesan makeup agar terlihat cantik, buku diary kenangannya bersama Matthew untuk mengulang hari ini, dan lain sebagainya. Semuanya itu ia lakukan agar dirinya terlihat menarik di mata Justin.
"Hai!" Abigail tersenyum saat Justin menghampirinya dan duduk di kursi taman di depan danau. Tubuhnya berbalik, lalu ia berlari dan memeluk Justin.
"Bersihkan makeupnya. Tidak usah kecentilan. Kalau bukan karena pintar, kamu sama sekali tidak dan tidak akan menarik!" bentak Justin. Ia menarik ujung baju Abigail dan menghapus makeup yang menempel di wajah kekasihnya. Ia juga menghapus polesan lipstik dengan kasar.
"Justin, ini demi kamu!"
Justin teringat masalah atau reputasi yang akan hancur. Ia tersenyum dan memeluk Abigail. Ia benci, dalam hatinya ia ingin memaki Abigail, tetapi ia teringat dirinya di masa lampau.
"Oh iya sayang, maaf. Aku cuma tidak mau kecantikan kamu dilihat sama banyak orang!" sela Justin.
Abigail mengedarkan pandangannya. Ia tidak menemukan orang ramai di sini. Kemudian, ia menangis karena perlakuan itu. Namun, Justin melarangnya
Abigail mengedarkan pandangannya. Ia tidak menemukan orang ramai di sini. Kemudian, ia menangis sedikit karena perlakuan itu. Namun, Justin kembali melarangnya dengan berbisik pelan, "Tidak usah pakai makeup, ngerti!"
"Iya," jawab Abigail sambil sedikit meringis. Di tengah tangisannya, ia teringat sesuatu. "Tetapi, kamu cinta, 'kan sama aku?"
"Iya, aku cinta sama kamu!" balas Justin pelan, begitu pelan hingga hampir tidak terdengar.
Pandangan Justin tertuju pada buku yang dipegang Abigail: buku diary Abigail, Dari Laki-laki Kesayanganmu, Matthew. Judul itu membuat Justin geram. Namun, Abigail melakukan ini untuk melepaskan kerinduannya kepada orang yang telah tiada.
"Matthew, aku mau minta penjelasan kamu terkait orang ini, boleh?" tanya Justin. Ia tiba-tiba tampak lembut. Bukan tanpa alasan. Justin hanya tidak ingin reputasinya hancur.
"Iya, aku jelaskan dulu. Matthew ini adalah mantanku. Meskipun begitu, aku sudah tidak melakukan apa-apa dengannya karena, dia juga sudah meninggal dunia!"
"Ia adalah kesayangan Ibu dan Ayahku, sebelum Ayahku meninggal dunia, sama seperti Matthew. Dan buku ini, ibarat pesan untukku agar tetap berjalan dan harus. Juga sebagai pengingat bahwa aku masih mengingat keduanya!"
"Hm, banyak foto Ayahku lho!" sambung Abigail. Ia berharap Justin bertanya dan ingin melihat mendiang calon mertuanya yang telah meninggal dunia. Tetapi ternyata tidak.
Justin menepis buku itu hingga terjatuh dan terbawa arus ke danau. Abigail histeris. Ia menangis dan panik, bagaimana caranya untuk mengembalikan buku itu ke pelukannya? Sebelumnya, buku ini sempat jatuh ke tempat sampah, dan sekarang ke danau.
"Justin, kok dibuang? Itu buku kesayanganku!" Abigail benar-benar menangis.
"Justin, jadi dia itu berarti benar-benar Justin!" Di ujung pohon dekat sana, seseorang mengawasi mereka berdua. Ia adalah Renata, anak kelasnya. Ia berpikir, apakah ini sifat asli Justin, dan mungkin...
Cekrek!
Cekrek!
Cekrek!
Beberapa potret mereka yang menampilkan Abigail tengah menangis, sementara Justin bersikap acuh padanya.
"Jadi ini yang disebut Most Wanted? Berarti selama ini Abigail juga merasa... Ah, aku kasih tahu Anya kalau begini!" Ide di kepalanya menari-nari. Ia mengirimkannya hanya di grup WhatsApp circle mereka saja.
Potret yang paling ia abadikan adalah potret saat Justin bersikap kasar kepada Abigail. Itu benar-benar membuatnya tergoda untuk memberi tahu Anya.
"Anya, penggemar berat Justin, harus tahu soal ini!"
"Kamu benar-benar sayang sama aku, kenapa begini?" Isak tangis Abigail masih terdengar. Justin tersenyum kepadanya. Tangannya memegang pundak Abigail, lalu ia bercerita, sebuah cerita omong kosong.
"Aku mencintaimu, oke? Cuma aku tidak mau, siapa pun orang di masa lalumu, menguasai kamu saat ini. Di saat kamu sudah punya aku. Aku cuma ingin pandangan matamu tertuju padaku, cuma ke aku, cuma itu!" Setelah itu, Abigail mengangguk patuh, lalu meminta maaf kepada kekasihnya.