DASAR MANDUL!
6 tahun sudah, Hanabi Lyxia harus mendengarkan kalimat tak menyenangkan itu dikarenakan ia belum bisa memberikan keturunan.
Kalimat sumbang sudah menjadi makanannya sehari-hari. Meskipun begitu, Hana merasa beruntung karena ia memiliki suami yang selalu dapat menenangkan hatinya. Setia, lembut bertutur kata dan siap membela saat ia di bully mertuanya.
Namun, siapa sangka? Ombak besar tiba-tiba menerjang biduk rumah tangga nya. Membuat Hana harus melewati seluruh tekanan dengan air mata.
Hana berusaha bangkit untuk mengembalikan harga dirinya yang kerap dikatai mandul.
Dapatkah wanita itu membuktikan bahwa ia bukanlah seorang wanita mandul?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ATM7
Tok!
Tokk!
Tokkk!
"Mas Damar, kamu udah tidur belum ya?"
Suara Tuti dari sebalik pintu, seketika membuat aktivitas panas Hana dan Damar terhenti.
Hana menghela napas panjang sembari menggelengkan kepalanya, wanita itu tak habis pikir.
'Di mana sih letak otak perempuan itu?!' batin Hana kesal.
Hana membenarkan baju tidur nya, begitupun juga dengan Damar.
"Biar Mas saja yang buka pintu," ujar Damar.
"Gak usah, biar aku saja!" cegah Hana ketus.
Hana turun dari ranjang, langkahnya tergesa-gesa. Dadanya menyimpan amarah yang nyaris meledak.
Ceklek!
"Mau apa?" sinis Hana saat membuka pintu, keningnya mengernyit.
Bola mata hazel itu memindai pakaian yang dikenakan Tuti. Begitupun juga dengan Tuti, wanita berbadan dua itu tengah memindai pakaian yang dikenakan kakak madunya.
Kedua jemari Hana mengepal erat, Tuti memakai baju tidur yang sama dengannya.
'Oh, ternyata Mas Damar juga membelikan pakaian yang sama denganku, untuk Si Gundik ini.' geram Hana dalam hati.
"Mau apa?!" tanya Hana sekali lagi.
"Eh ... itu ... Mas Damar ada, Mbak?" tanya Tuti sambil celingukan, mengintip dari celah pintu.
"Ada, mau apa? Gak sabar mau malam pertama? Eh, kedua? Atau ketiga? Atau ke seribu kali?" sindir Hana.
"Ih, Mbak kok gitu sih ngomongnya? Pikiran nya kotor banget," jawab Tuti.
"Pikiran ku yang kotor, atau kalian yang lebih dulu melakukan hal-hal kotor?" tanya Hana sambil memiringkan kepalanya.
"A-apaan sih kamu, Mbak?!" Tuti tergagap. "Sudahlah, aku ke sini mau ketemu Mas Damar, aku takut tidur sendirian!"
"Oh, jadi ini alasan kamu menggoda suami orang? Karena takut tidur sendirian?" cemooh Hana.
"Mbak! Jangan kelewatan ya!" peringat Tuti.
Wanita berbadan dua itu menatap sengit Hana. Namun, kakak sepupunya itu justru tak gentar.
Hana maju selangkah, wajahnya begitu datar dan dingin. Tuti mundur selangkah, wanita itu merasa terintimidasi.
"Ada apa sih ribut-ribut begini? Udah malam loh ini, malu sama tetangga," tegur Damar.
"Mbak Hana nih, Mas. Padahal aku ngomong baik-baik dari tadi." Tuti mengerucutkan bibirnya.
"Coba dari dulu kamu juga ngomong baik-baik ada niatan mau rebut suamiku, Tut. Pasti kepala sama badanmu sekarang udah misah." Hana menatap tajam.
"Sayang ...," tegur Damar lembut, pria itu mengusap lembut punggung Hana.
"Mas, temani aku tidur dong. Aku takut tidur sendirian, Mas kan tau aku paling sulit beradaptasi sama tempat baru," pinta Tuti.
"Tapi malam ini Mas ingin bersama Mbak mu, Tut," tolak Damar.
"Ayolah, Mas. Kasian anak mu ini, aku gak mau ada dampak buruk pada kandungan ku, akibat efek dari ketakutan ku sekarang ini ...," bujuk Tuti.
Damar menghela napas panjang, ia menatap wajah Hana. Menerka-nerka apa yang sedang dipikirkan sang istri.
"Sayang, Mas nemanin Tuti dulu ya. Pintu kamar jangan dikunci, nanti Mas balik lagi,"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Pagi-pagi sekali, Hanabi bangun terlebih dahulu. Selagi ia melangkah ke dapur, ditatapnya pintu kamar Tuti.
Sedih, kecewa, marah, semua bercampur aduk menjadi satu kala mengingat suaminya mengingkari janji. Damar tak kunjung kembali ke kamarnya, sampai pagi ini.
Begitu sampai di dapur, Hana menghembuskan nafasnya berkali-kali. Puluhan peralatan makan yang kotor, menumpuk di atas wastafel.
'Di bully mandul, suami nikah lagi, sekarang? Haruskah aku menjadi babu di rumah ini?!' batin Hana kesal.
Keran air yang mengucur, kembali ia tutup. Wanita cantik itu mengurungkan niatnya untuk mencuci piring.
"Istri di rumah ini bukan hanya aku saja, kan?" gumam Hana sembari tersenyum sinis.
Hana menyambar wajan yang menggantung di dinding, lalu mengisinya dengan segelas air. Di sambarnya sebungkus mie instan dan sebutir telur. Tak perlu waktu lama, mie instan dengan khas rasa soto sudah tersaji di atas meja. Hana menyantapnya dengan nikmat.
Begitu selesai makan, Hana dengan semangat membawa peralatan makan dan peralatan masak yang kotor ke atas wastafel. Di tatap nya tumpukan benda-benda kotor itu sembari tersenyum sinis.
"Welcome to my home, Tuti! Setidaknya kau harus bermanfaat di dalam rumah ini," gumam Hana dengan senyuman licik.
Hana lekas kembali ke kamar dan mengunci pintunya dari dalam. Wanita itu lekas berbaring di atas ranjang dan memejamkan matanya.
"Mulai sekarang, aku bisa bangun siang!"
Sementara itu, tiga jam kemudian. Tuti disembur habis-habisan oleh Jumiah. Wanita baya itu geram, nyaris setengah jam ia dan Dinar menunggu di depan rumah.
"Bisa-bisanya jam segini kamu baru bangun, Tuti? Perempuan macam apa kamu?!" sinis Jumiah.
Tuti menundukkan kepalanya, wajah bulat itu memerah. Kepalanya semakin tertunduk saat Dinar ikut-ikutan menatapnya tajam.
"Mana Hana?!" tanya Jumiah ketus.
"Sepertinya masih tidur, Bu," jawab Tuti.
"Tidur?!" Jumiah seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
Jumiah menatap jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi.
"Tidur lagi, Bu, karena tadi Hana sudah bangun. Damar ada denger suara orang beraktifitas di dapur. Pasti dia bangun, beberes rumah, masak, terus tidur lagi," ujar Damar.
"Benarkah?" sudut bibir Jumiah mengembang.
Damar mengangguk, lalu berjalan menuju pintu depan.
"Kamu mau kemana, Sayang?" tanya Tuti.
"Beli rokok," jawab Damar.
"Kurang-kurangin merokok, kamu itu kalau gak merokok satu hari aja udah kayak orang gila." Nasihat jumiah sambil menatap punggung putranya yang semakin menjauh.
Begitu Damar pergi, wanita baya itu menuju ruangan makan dengan langkah tergesa-gesa. Perutnya sudah kelaparan, sudah dari sejak pagi Jumiah berkhayal ingin menyantap masakan buatan Hana.
Namun, khayalan indah itu mendadak kandas, kala Jumiah melihat meja makan dalam keadaan kosong melompong.
"Apa-apaan ini? Belum ada sarapan?" Wanita baya itu melongo.
Dengan wajah masam, Jumiah melangkah menuju dapur. Bola mata wanita baya itu nyaris melompat keluar. Tumpukan piring dan gelas kotor membuat matanya sakit.
"Astaga nagaaa!" Jumiah meraung sendirian.
Dengan hati dongkol dan perut kelaparan, gegas Jumiah menuju ke kamar Hana. Pintu kamar itu diketuknya sekuat hati.
"Hana! -- Han?! -- Hanabi ...!" jerit Jumiah kesekian kali tepat di depan pintu kamar yang terkunci.
Jumiah masih setia mengetuk pintu dengan membabi buta, sesekali kakinya ikut menendang-nendang. Wanita baya itu tak tau, di balik pintu, Hana tengah tertawa tanpa suara.
"Aku tau kau sudah bangun Hana, buka pintunya atau aku dobrak?!" ancam Jumiah.
Raut wajah Jumiah semakin kesal, saat sang menantu tak menggubris ancamannya.
"Kau menantang ku, Hana? -- Baiklah, siap-siap saja kau di dalam sana!" teriakannya semakin kencang.
Jumiah mundur beberapa langkah, lalu memasang kuda-kuda. Wanita bertubuh gempal itu siap-siap akan mengerahkan seluruh kekuatannya.
Jumiah menghitung di dalam hati. 'Satu ... dua ... tiga ...!'
Ibu mertua Hana berlari sekencang-kencangnya, bola mata wanita itu membulat sempurna saat pintu terbuka lebar kala ia nyaris menerobos masuk. Jumiah kehilangan imbang.
BRUGH!
"Aduuuuuuh!"
lagi seru2nta cerita abis.
ditunggu up doblenya ya thot
Wahhh....seru nihhh....bkln rme lg kya'nya,scra yg gila rbut sm yg gila jg....