Satu digit, dua, tiga, empat, lima, hingga sejuta digit pun tidak akan mampu menjelaskan berapa banyak cinta yang ku terima. Aku menemukanmu diantara angka-angka dan lembar kertas, kau menemukanku di sela kata dan paragraf, dua hal yang berbeda tapi cukup kuat untuk mengikat kita berdua.
Rachel...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon timio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Buku Harian
"Waduh beneran asam lambung gua nih, bening banget ya dewa.... ", jerit Rachel dalam hati melihat bagaimana sempurnanya pahatan pria yang menggendongnya ini.
"A-aku bisa kak... ", cicit Rachel yang wajahnya sudah se merah kepiting rebus.
"Aku yang ngga bisa, Rachel." jawab Vano sembari terus melangkah memasuki rumah itu.
Sesampainya di pintu Rachel memasukkan passcode, masih tetap dalam gendongan Vano. Jika dilihat sekilas mereka seperti pasangan muda yang baru saja menikah. Meski terlihat setenang itu sumpah demi apapun dalam hatinya ia sangat ingin pingsan, ia hampir tidak bisa meng-handle kupu-kupu yang membangun kerajaan di perutnya.
"Waduh... Jantung tolong diem, jangan baperan terus, ngga usah salting, ingat elu remahan sari roti sedangkan dia bongkahan batu emerald." Bisik Rachel dalam hati mengingatkan dirinya.
"Ini rumah aku kak, bahkan ruangan kantor kamu jauh lebih besar." Seru Rachel ketika Vano meletakkan ya di sofa kecil milik Rachel lalu duduk di sampingnya.
"Tapi nyaman banget kok." Balas Vano dengan senyum.
Vano yang biasa dikenal Rachel sudah kembali, tidak lagi kulkas yang mengancam menyeretnya dari gudang.
Kriuuuukkk... Bunyi perut Vano, seketika wajah pria tampan itu berubah pink.
"Laper ya? Tadi belum makan ya?".
Vano hanya menanggapi pertanyaan itu dengan cengiran menunjukkan deretan gigi kecilnya.
"Kita delivery aja ya, apa nih alamatnya?", tawar Vano.
"Ngga usah kak, kemarin aku dikirimin banyak lauk sama mamanya temen aku. Entah kakak udah tahu atau belum, aku besar dan tumbuh di panti asuhan, temen aku yang itu di adopsi, dan kami masih deket sampai sekarang, sampai mama adopsinya juga se perhatian itu ke aku."
Vano bertingkah biasa saja.
"Kakak udah tahu ya? Kakak ngga masalah gitu?", heran Rachel.
"Masalah? Apanya yang masalah, Hel. Satu-satunya masalah disini kamu ngga jawab perasaan aku, kamu tetep diem, ngga jawab apa-apa. Itu aja yang masalah." frontal Vano.
"Anjiw... Gua di ulti." Batin Rachel meringis. "Laper kan kak? Bentar aku panasin makanannya, ngga usah di bantuin. Kaki aku ngga se cengeng itu." Seru Rachel mengalihkan topik sambil menggunakan tongkat yang sudah disediakan Vano untuk membantunya sementara ini.
"O-okay...", seru Vano ragu, meski ia sudah mulai melangkah tadi.
Vano mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan kecil yang rapi itu.
"Kak, kalo cape rebahan aja di kamar aku." Tawar Rachel dengan santainya sembari mengeluarkan makanan dari kulkas.
"Ngga papa nih?", Vano sudah ovt.
"Iya, ngga papa. Mikha juga sering kok."
"Tapi ngga bawa cowonya kan?", tanya Vano.
"Bawa kalo berantem, debatnya disini, setelah baikan langsung pulang, aneh kan."
Jawaban konyol itu hanya dijawab Vano dengan kekehan kecil yang masih terdengar Rachel, suaranya agak menjauh sepertinya Vano memang masuk ke kamarnya. Rachel sibuk dengan kompor dan piring yang di tatanya, sementara Vano sedang room tour mandiri. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan yang tidak terlalu lebar itu. Ruangan bersih, rapi, dan satu yang ia ingat penuh dengan baunya Rachel, aroma lembut, segar, seperti peach yang di campur susu.
Sama seperti ruangan ini, penuh dengan nuansa peach. Ia mendekati meja riasnya yang diisi beberapa kosmetik ala kadarnya, skin care, hair care, dan parfum, semua berasal dari brand lokal yang biasa. Berbeda sekali dengan yang ia punya semua dari brand mahal, brand impor dan lain-lain.
Ada laci yang sedikit terbuka, meski semua yang didalam ruangan itu didominasi oleh warna peach yang lembut, ada sesuatu yang berwarna merah menyala dari laci yang sedikit terbuka itu, jelas langsung menarik perhatian.
"Ah... Buku harian... ", lirih Vano dengan lancangnya membuka halaman pertama buku itu.
Dear diary...
Lembar pertama diisi tentang kejadian bertahun lalu, jelas itu di tujukan untuk Samuel, semua umpatan kekesalan, dan lain sebagainya, begitu isinya hingga tiga lembar berikutnya. Lalu lembar ke-empat adalah tempat mencurahkan sakit hati, dan rasa kehilangannya, rindu, dan niat ingin kembali. Lembar ke lima, ke enam, masih berisi sama, lalu lembar ke tujuh kosong.
"Begitu aja? Cuma itu?", pekiknya. Sungguh hatinya sakit, ternyata Rachel memang tidak menyukainya. Tidak ada niat sedikit pun untuk melirik ke arahnya, buktinya tidak ada satu lembar pun yang menyebutkan tentang diirnya.
"Ahh iya gua aja yang ke geeran, bahkan dia ngindarin gua terus sejak gua confess, dia mending terluka di gudang ketimbang duduk nyaman di kantor gua, gua ngarepin apaan." Batinnya sembari asal terus membuka diary yang halaman tengahnya sudah kosong itu.
Deg
Beberapa lembar sebelum akhir terisi.
Jan, 24 2023
Pagi ini gua interview kerja di Numbers, semoga kegabutan gua kali ini ada hasilnya. Ya kali bajigur, seorang Rachel yang lulusan kampus nugu masuk ke sana, lolos syukur, ga lolos ya emang udah espek.
Lahh, kayaknya Tuhan kasian banget ya liat gua, di lulusin jir 🤣 plot twistnya, ada cowo yang cakepnya kek Min Suga tiba-tiba nyungsep didepan gua, hafalan wawancara gua auto hilang semua dari otak gua yang tak seberapa ini. Kasian bgt woy, ga ada yang peduliin, padahal manusia disana bejibun. Wat depak bgt, dia direkturnya 😭
Vano tersipu-sipu tersenyum mengulum bibirnya membaca halaman pertama itu.
Jan, 25 2023
Aduh, watdepak part 2, baru mulai hari pertama gua udah pengen resign anjir. Dari sekian luas bumi Timio ini ngapain gua harus kerja di tempat yang sama, sama Sam. Aohhh... Resign gak yaa
Ngga ah, ntar dia ke geeran, ini bimbelnya yang aneh, apa memang gua yang aneh, sejak kapan direktur se ruangan sama asistennya, bukan asisten direktur woy, asisten biasa, apaan... Jantung gua ga siap ka Vano 😂
"Direkturnya yang aneh, Hel. Bukan kamu." Lirih Vano semakin tersenyum membacanya.
April, 08 2023
Demi apa ini... Bisa-bisanya dia confess ke gua, bahu gua yang tak seberapa ini pegel banget woy disandarin, aduh....
Sumpah gua ngga tidur semaleman inget pengakuan dia, gua harus ngapain, anjir, kabur kah? Kabur kemana? Sejak kapan gua punya tempat buat kabur.
But,
Se senengnya gua akan hari ini, semua akan berlalu begitu aja, gua tahu siapa gua, gua cukup paham tempat gua dimana. Maaf ka Vano, tolong buka mata kamu lebar-lebar, jangan kebawa euforia hanya karena kita sering bareng. Kita itu jomplang banget, jangan samain remahan sari roti sama batu emerald, jauh kak. Hehe...
Dia bilang itu pertama kalinya megang payung, pertama hujan-hujanan bareng orang yang dia suka, dan itu juga pertama kalinya gua ngiketin tali sepatu seseorang, gerakan refleks tanpa mikir panjang, apa gua juga udah suka saat itu?
Ngga, gua sukanya baru-baru ini, gua suka dia duduk didepan gua sambil makan, gua terbiasa ngabisin waktu gua bareng dia, gua suka suaranya, gua suka semuanya yang dia punya, kecuali posisinya dia yang direktur itu, itu satu-satunya alasan gua ngga akan gubris apapun perasaan dia. Karena dia butuh seseorang yang hebat, yang latar belakangnya bagus, bukan yang kayak gua. Kayaknya gua mau resign aja dari sana, sebelum perasaan gua ke dia ngga bisa gua atur lagi.
Ngga papa ya, Hel. Biasa juga lu ngga punya siapa-siapa, biasanya juga lu bela diri lu sendiri, nolong diri sendiri, kenapa sekarang malah meleyot gini. Ngaca, Hel... Lu siapa, dia siapa!!!
Deg
Bagian terakhir itu membuat Vano diam tertegun, ternyata perasaannya tidak bertepuk sebelah tangan, gadis yang akhir-akhir ini menjaga jarak ternyata punya perasaan yang sama. Tapi alasan Rachel yang merendahkan dirinya sendiri hanya karena dia hanya seorang asisten pengajar dan Vano direkturnya, itu sangat tidak bisa Vano Terima?
"Memangnya kalau asisten kenapa? Apa salahnya?", dumel Vano lagi sembari mengembalikan buku harian merah itu ke dalam laci.
Ia melangkah pelan mendekati Rachel yang masih sibuk dengan mangkuk dan piring, lalu ia duduk di meja makan Rachel yang punya 4 kursi itu.
"Katanya mau istirahat kok cepet banget baliknya?", heran Rachel.
"Laper, Hel."
"Udah siap kok kak. Sebentar aku buat minuman dulu."
Bugh bugh bugh....
Ketukan keras di pintu dan panggilan dari luar yang samar.
"Rara.... Rachel... Raa...... Raraaa.... ".
"Aku aja Hel yang buka. Kamu terusin aja."
Lalu Vano melangkah mendekati pintu tanpa melihat Intercom dulu.
Klek
"Elu...? ".
"Lu ngapain disini?!", sergah Samuel.
"Lu yang ngapain, udah tahu Rachel kasih peringatan berkali-kali, tetep aja lu ganggu."
"Itu bukan urusan lu Vano. Jawab pertanyaan gua, ngapain lu disini."
"Ya bukan urusan lu juga. Penting amat gua ngasih tahu urusan gua." Tantang Vano.
"Siapa kak?", tanya Rachel sembari berjalan dengan tongkatnya.
"Ohh.. Satpam, Hel." seru Vano asal sambil mendorong Samuel untuk menjauh dari pintu.
"Apaan sih lu, minggir ngga lu. Gua mau masuk anak setan... VANO... MINGGIR... ".
Vano dan Samuel saling dorong berdesakan agar tidak ada yang memasuki pintu. Ditengah sibuknya dia pria itu Rachel muncul dengan tongkatnya terperangah dengan apa yang ia lihat. Dua pria matang yang selalu ia lihat dengan penampilan paripurnanya, berkelas, kini tidak ubahnya dua bocah yang sedang berebut mainan.
"Kalian berdua kenapa?", tanya Rachel kemudian.
Brugh... Samuel mendorong Vano dengan kuat sehingga pria itu tersungkur.
"Ka Vano.... ", kaget Rachel.
Vano bangkit dan mengangkat tangannya sebagai isyarat dia tidak apa-apa.
"Kamu mau ngapain kesini." Datar Rachel.
"Tadi sore aku ke Numbers katanya kamu kecelakaan di gudang. Gimana? Masih sakit? Kamu butuh sesuatu?", Samuel membombardir Rachel dengan pertanyaan-pertanyaan itu.
"Ayo makan."
"Hah?".
"Kamu belum makan kan? Ayo kita semua makan dulu."
"O-okay."
Samuel tersenyum lebar dengan menatap Vano dengan ekspresi yang sangat menyebalkan. Jika bisa ia ingin memasukkan Samuel ke dalam karung lalu menanamnya di halaman belakang Numbers.
Mereka bertiga makan di meja yang sama, Rachel dan Samuel duduk bersama sementara Vano didepan mereka. Ekspresi pria putih pucat itu tetap datar, jika ditanyan se kesal apa, jawabnya sampai ke ubun-ubun.
Bagaimana Samuel bertingkah didepannya, sok perhatian dan yang lainnya, memberikan potongan ikan atau ayam ke piring Rachel, meski Rachel tidak berekspresi sama sekali, tetap saja Vano merasa tersisih.
Apakah ciuman nya tidak ber efek sama sekali? Bahkan Rachel santai sekali seolah tidak terjadi apa-apa.
"Masakannya tante masih kayak dulu ya." Seru Samuel sok asyik, membuat Vano merasa kalah 1 poin.
"Mau bawa pulang? Stok aku masih banyak, aku juga ngga akan habis kalau makan sendirian."
"Boleh, Ra." Girang Samuel kembali menatap Vano dengan ekspresi menyebalkannya tadi.
Vano hanya diam dan terus fokus pada makanannya, meski sebenarnya hatinya tidak baik-baik saja.
Skip
Rachel mencari tas bekal di kamarnya untuk membungkus lauk yang dijanjikannya pada Samuel. Vano hanya tetap diam dan lirik sana sini dengan rasa iri. Samuel dengan gaya sok tuan rumahnya sedang sibuk di wastafel, dengan telaten ia membersihkan semua piring.
Vano? Ia sama sekali tidak tahu cara mencuci piring. Jangankan mencuci piring, memegang payung saja baru kali ini. Karena sejak kecil ia hanya tahu belajar, belajar, dan berbisnis, hanya itu yang ia tahu. Ia ingat semua umpatan yang Rachel sematkan untuk Samuel di buku harian merah itu, tapi kenapa tidak sesuai dengan situasi sekarang.
Keduanya bertingkah seperti pasangan muda dan Vano lah tamunya. Vano lah pihak ketiganya. Raut wajah malasnya terlihat jelas, tapi ia enggan pergi sebelum Samuel.
"Nih, udah aku lengkapin semua. Langsung masukin kulkas."
"Iya, Ra. Makasih."
"Hati-hati di jalan."
"Ok, Rara." Samuel tersenyum lebar. "Lu ngga balik?", tanyanya pada Vano.
"Ah.. Gu-gua... ", bingung Vano.
"Ka Vano pulangnya belakangan, ada program yang mau kita bahas dulu." Serobot Rachel.
"Harus sekarang?".
"Iya. Harus sekarang. Kamu hati-hati di jalan ya. Bye.... ", seru Rachel mendorong Samuel keluar pintu dan klek...
"Akhirnya.... "
.
.
.
TBC... 💜