"Buang obat penenang itu! Mulai sekarang, aku yang akan menenangkan hatimu."
.
Semua tuntutan kedua orang tua Aira membuatnya hampir depresi. Bahkan Aira sampai kabur dari perjodohan yang diatur orang tuanya dengan seorang pria beristri. Dia justru bertemu anak motor dan menjadikannya pacar pura-pura.
Tak disangka pria yang dia kira bad boy itu adalah CEO di perusahaan yang baru saja menerimanya sebagai sekretaris.
Namun, Aira tetap menyembunyikan status Antares yang seorang CEO pada kedua orang tuanya agar orang tuanya tidak memanfaatkan kekayaan Antares.
Apakah akhirnya mereka saling mencintai dan Antares bisa melepas Aira dari ketergantungan obat penenang itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3
Antares masih duduk diam-diam di belakang Aira. Dia hanya ingin memastikan wanita itu baik-baik saja karena sepertinya mentalnya sedang terguncang.
Aira menarik napas panjang dan membuangnya. Dia berdiri dan menoleh ke belakang. Dia terkejut melihat Antares yang masih duduk dengan santai menatapnya. "Kenapa kamu ada di sini? Jangan-jangan kamu juga orang jahat! Kamu mau apa?"
"Orang jahat? Aku cuma mastiin, kamu gak bunuh diri di sini. Takutnya tempat ini jadi angker. Tempat nongkrong aku ada di sini, jangan sampai diganggu arwah gentayangan," kata Antares sambil tersenyum kecil. Dia sengaja menggoda Aira agar perasaan Aira lega setelah marah-marah padanya.
Aira menggembungkan pipinya. Dia mengambil tasnya yang jatuh di tanah. "Bunuh diri? Aku gak mungkin bunuh diri di sini."
Antares tersenyum miring. Dia berdiri dan mendekati Aira. "Terus kamu mau bunuh diri dimana? Kabari aku kalau butuh bantuan. Aku bisa mempercepat prosesnya." Antares menunjuk botol obat yang sedari tadi dia genggam. "Obat penenang yang digunakan untuk orang gangguan mental."
"Kamu pikir, aku gila!"
"Orang waras, gak mungkin kecanduan dengan obat ini."
Aira mengambil botol itu dengan paksa. Dia berjalan jenjang meninggalkan Antares. "Kalau aku gila, gak mungkin aku dapat beasiswa sampai S2 dan bekerja di perusahaan besar di Jepang," gumam Aira yang bisa didengar oleh Antares.
"Wow, mengejutkan sekali prestasi kamu." Antares masih saja mengikuti Aira.
Aira menghentikan langkah kakinya. Baru kali ini dia bertemu dengan pria menyebalkan. "Kenapa kamu ngikutin aku?"
"Kamu mau kemana? Kan tadi kamu sudah tidak boleh pulang sama ayah kamu."
"Terserah aku mau kemana!"
"Tidak tahu terima kasih." Antares memakai helmnya lalu menaiki motornya. "Ayo, aku antar."
Aira tidak mengiyakannya. Dia justru berjalan di pinggir jalan yang sepi.
"Dia keras kepala sekali. Ini sudah malam, bahaya jalan sendiri seperti itu." Antares meminjam helm pada temannya lalu melajukan motornya pelan di samping Aira "Ayo! Di depan sana ada anak motor dari geng lain. Nanti kamu diculik!"
"Biar sekalian aku dibunuh."
"Ya udah, ayo, aku bunuh sekalian."
Aira menghentikan langkah kakinya dan semakin menatap kesal Antares. "Bukan kamu!"
Beberapa saat kemudian ponsel Aira berbunyi. Dia mengambil ponsel itu di tasnya. Dia menatap panggilan dari ibunya. Rasanya malas sekali dia mengangkatnya.
"Ibu kamu pasti khawatir. Angkat saja," kata Antares. Dia sengaja melihat nama yang tertera di layar ponsel Aira.
Aira akhirnya mengangkat panggilan itu.
"Aira, dimana kamu? Kenapa sampai sekarang belum pulang?"
"Ayah tidak bolehin aku pulang."
"Cepat pulang dan bawa pacar kamu yang katanya anak berandal itu. Ibu tahu, pasti itu akal-akalan kamu saja kan. Mana mungkin kamu kenal anak geng motor."
"Iya, aku akan pulang sendiri. Ngapain aku bawa pacarku ke rumah. Aku tidak mau Ibu bicara yang tidak-tidak. Apalagi membahas pekerjaan atau kekayaannya. Sudah cukup Ibu ikut campur dengan hubunganku dan Rizal dulu hingga akhirnya kita putus."
"Kamu saja yang bodoh tidak mempertahankan pria royal kayak Rizal."
Aira menutup panggilan itu lalu memasukkan ponselnya ke dalam tas. Kemudian dia menatap Antares yang masih setia menunggunya di atas motor.
"Aku butuh bantuan kamu. Nanti kalau aku sudah dapat pekerjaan dan gajian, aku akan bayar kamu."
Antares tersenyum miring. "Apa?"
"Kamu pura-pura jadi pacarku, lalu nanti kamu bilang kalau kamu ketua geng motor dan siapapun yang berani merebut aku dari kamu akan berurusan dengan geng motor kamu."
Antares tertawa cukup keras. "Aku? Menjatuhkan harga diriku hanya demi kamu! Asal kamu tahu, aku bergabung dengan geng motor bukan untuk menakuti orang. Kamu pulang saja! Ibu kamu pasti menunggu kamu dan lebih baik kamu jadi istri kedua saja lalu kuras habis seluruh hartanya. Ide yang bagus bukan? Kamu tenang, orang tua kamu senang."
Aira menatap Antares dengan kesal. Dia tak bergerak sama sekali hanya meremat tangannya sendiri.
Melihat ekspresi itu, Antares khawatir anxiety-nya akan kambuh lagi. "Ya udah, ayo! Kamu gak perlu bayar," kata Antares akhirnya mengalah. Dia menarik tangan Aira agar tersadar dari rasa kesalnya. "Kamu jangan terlalu larut dengan emosi kamu sendiri. Kontrol emosi, apa kamu mau bergantung sama obat itu selamanya."
Aira menarik napas panjang dan membuangnya.
"Kamu naik. Aku akan hilangkan stres kamu. Kamu teriak saja sepuasnya." Antares memberikan helm untuk Aira.
Aira memakai helm itu. Kemudian dia naik ke boncengan Antares.
"Nama kamu siapa?" tanya Antares sambil menoleh Aira.
"Aira."
"Oke, aku Ares. Kalau takut jatuh, kamu pegangan, aku ngebut."
Aira memegang jaket Antares. Ini pengalaman pertamanya dibonceng anak motor. Tanpa aba-aba, Antares tancap gas dan melaju dengan kencang.
Angin malam yang menerpa wajahnya membuat Aira merasa segar. Beban pikiran yang menggunung seperti menguar begitu saja. Dia juga berteriak sepuasnya melawan suara angin.
Antares tersenyum kecil mendengar teriakan Aira. Setelah mengajak berputar-putar di jalan yang sepi dan menjadikannya seperti arena balap, Antares memelankan laju motornya. "Rumah kamu dimana?" tanya Antares sambil sesekali menoleh Aira.
"Ke jalan Panjaitan, lurus saja, ada pertigaan belok kanan."
Antares menganggukkan kepalanya. Dia memelankan laju motornya saat berada di jalan raya. Setelah lurus dan belok kanan, dia memasuki kawasan perumahan.
"Blok apa?"
"Blok B, no. 11."
Antares berbelok ke blok B dan mencari rumah nomor 11. Dia kini menghentikan motornya di depan rumah nomor 11 itu.
Kemudian Aira turun dari motor Antares dan melepas helmnya. "Makasih ya."
Antares kini melihat kedua orang tua Aira yang mendekatinya. Dia melepas helmnya dan turun dari motor. Dengan penampilannya yang sekarang, kedua orang tua Aira tidak mungkin mengenali bahwa dia mantan idol dan sekarang seorang CEO di perusahaan besar.
"Aira, kamu masuk!" suruh Rika pada putrinya.
Aira menoleh Antares sesaat dan memberinya kode agar melakukan apa yang dia bilang sebelumnya.
"Kamu masuk, kita mau bicara."
Antares hanya menganggukkan kepalanya. Dia menahan tawanya melihat ekspresi marah kedua orang tua Aira. Dia tidak menyangka, ternyata ada orang tua yang memanfaatkan anaknya hingga anaknya depresi.
Antares duduk dengan santai. Dia tidak akan menunjukkan kesopanannya pada kedua orang tua Aira.
"Apa kamu memang pacarnya Aira?" tanya Rika. Dia duduk berdampingan dengan suaminya.
"Iya. Aira, wanita yang hebat. Pantas menjadi pasangan ketua geng motor." Antares tersenyum miring. Aktingnya sudah pasti meyakinkan sebagai mantan aktor papan atas.
"Ketua geng motor? Apa pekerjaan kamu?"
Antares memajukan dirinya dan menatap orang tua Aira secara bergantian. "Om dan tante tenang saja, Aira tidak akan kelaparan bersamaku dan batin dia juga tidak akan tertekan. Dia akan menikmati kebebasan yang sebenarnya."
"Maksudnya, gaji kamu hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari? Jangan-jangan uang itu hasil dari kamu malak."
Antares tersenyum miring dan tatapannya tajam seperti ingin menerkam kedua orang tua Aira.
Rika menelan salivanya sambil menyenggol suaminya. "Iya, lebih baik kamu pulang saja."
akhirnya ngaku juga ya Riko...
😆😆😆😆
u.....