Berawal dari hujan yang hadir membalut kisah cinta mereka. Tiga orang remaja yang mulai mencari apa arti cinta bagi mereka. Takdir terus mempertemukan mereka. Dari pertemuan tidak disengaja sampai menempati sekolah yang sama.
Aletta diam-diam menyimpan rasa cintanya untuk Alfariel. Namun, tanpa Aletta sadari Abyan telah mengutarakan perasaannya lewat hal-hal konyol yang tidak pernah Aletta pahami. Di sisi lain, Alfariel sama sekali tidak peduli dengan apa itu cinta. Alfariel dan Abyan selalu mengisi masa putih abu-abu Aletta dengan canda maupun tangis. Kebahagiaan Aletta terasa lengkap dengan kehadiran keduanya. Sayangnya, kisah mereka harus berakhir saat senja tiba.
#A Series
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Allamanda Cathartica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 34: Menembus Bahaya untuk Amplop Cokelat
Keesokan harinya, suasana di warung kopi terasa penuh ketegangan. Anggota geng Black Secret dan geng STMJ berkumpul untuk membahas langkah selanjutnya dengan hati-hati. Perasaan was-was menyelimuti mereka, tetapi tekad untuk melanjutkan misi tetap kuat.
"Jadi, kita bakal coba ambil amplop itu lagi," ujar Revan dengan nada tegas, memecah keheningan. Matanya menyapu satu per satu wajah anggota geng, memastikan tidak ada yang keberatan dengan keputusan tersebut. "Tapi kali ini, gue dan Alfariel yang masuk. Dimas sudah kasih kita kuncinya."
"Kenapa nggak kita semua aja?" tanya Abyan dengan nada cemas. Raut wajahnya penuh kekhawatiran. "Kalau cuma kalian berdua, risikonya bakal lebih besar. Gimana kalau ketahuan?"
Alfariel tersenyum tipis lalu menepuk pelan bahu Abyan. "Kalau terlalu banyak orang, kita malah bakal lebih gampang ketahuan, By. Ruang gerak kita juga jadi sempit. Lagian, gue dan Kak Revan lebih mudah bergerak cepat kalau cuma berdua."
Meskipun Abyan tampak masih diliputi keraguan, akhirnya dia mengangguk setuju. "Oke, tapi tolong hati-hati. Kalau ada apa-apa, jangan nekat. Langsung kabur aja."
Revan menepuk bahu Abyan sebagai tanda terima kasih atas dukungannya. Setelah memastikan semua detail rencana matang, Revan dan Alfariel bersiap untuk berangkat.
Mereka tiba di SMA Mentari saat suasana sekolah mulai sepi. Hanya ada beberapa siswa yang terlihat di kejauhan, kebanyakan sedang bersiap pulang atau masih sibuk di lapangan.
"Yuk, kita jalan pelan-pelan," bisik Revan sambil melirik ke arah gerbang sekolah. Dengan langkah hati-hati, mereka menyelinap masuk ke area lapangan basket, bersembunyi di balik deretan semak-semak.
"Tunggu sebentar. Pastikan nggak ada yang memperhatikan kita," ujar Alfariel, pandangannya menyapu sekeliling dengan waspada."Kuncinya?" bisik Alfariel.
Revan mengeluarkan kunci yang diberikan Dimas. "Ini dia. Pastikan nggak ada yang ngeliat kita."
Setelah memastikan situasi aman, Revan membuka pintu dengan perlahan. Mereka masuk ke dalam ruangan yang sepi. Aroma khas peralatan olahraga menyeruak di udara.
"Kamu cari di bagian rak, aku jaga di sini," ujar Revan.
Alfariel mengangguk cepat dan segera memeriksa setiap celah rak dengan teliti. Tangannya bergerak lincah, menyisiri setiap sudut rak yang berdebu. Tidak lama kemudian, matanya menangkap amplop cokelat yang mereka cari.
"Ketemu!" bisik Alfariel dengan nada penuh kemenangan sambil menunjukkan amplop itu kepada Revan.
Namun, sebelum mereka sempat memeriksa isinya, suara langkah kaki mendekat dari luar ruangan membuat mereka terkejut.
"Cepat sembunyi!" bisik Revan dengan nada panik sambil menarik Alfariel menuju sudut ruangan di balik lemari besar. Mereka merapat di ruang sempit, menahan napas, berharap tidak ketahuan.
Pintu ruang ekskul terbuka dengan keras, membuat suasana yang awalnya senyap berubah tegang. Beberapa anggota tim basket SMA Mentari masuk dengan wajah penuh kekesalan, langkah mereka terdengar berat di lantai.
"Ke mana amplopnya?" Salah satu pemain bertanya dengan nada panik. Matanya menyapu meja di tengah ruangan yang kosong. "Kemarin masih ada di sini!"
"Gue udah bilang jangan asal naruh barang sembarangan!" bentak seorang pria berbadan tegap, suaranya memenuhi ruangan. Dari cara berbicaranya yang tegas dan wibawanya yang terasa, Alfariel segera menebak bahwa dia adalah kapten tim. "Kalau sampai amplop itu hilang dan ketahuan, kita semua bakal kena masalah besar!"
Seorang pemain lain yang terlihat lebih muda memberanikan diri bertanya dengan nada ragu. "Tapi, Kapten ... sebenarnya isi amplop itu apa, sih?"
Kapten itu langsung menatapnya tajam, membuat si pemain muda tersentak mundur. "Nggak usah banyak tanya! Kerjain aja bagian lo! Cepat cari sampai ketemu!"
Di balik lemari besar di sudut ruangan, Revan dan Alfariel saling bertukar pandang. Mata mereka penuh ketegangan, napas ditahan sepelan mungkin. Suasana semakin mencekam, setiap suara gesekan kaki atau dentingan barang yang dipindahkan membuat mereka berdua semakin waspada.
Beberapa menit berlalu, ruangan masih dipenuhi suara anggota tim basket yang sibuk mengobrak-abrik meja dan rak. Tiba-tiba seorang pemain berlari masuk ke ruangan dengan tergesa-gesa, napasnya terengah-engah.
"Kapten! Ada anak SMA Global di lapangan basket!" teriaknya, nada suaranya penuh kegelisahan.
Kapten dan anggota lainnya langsung berhenti bergerak. Tanpa berkata apa-apa lagi, mereka semua buru-buru keluar dari ruangan, langkah mereka bergema keras di koridor.
Begitu suara langkah kaki mereda, Revan mengintip dari balik lemari untuk memastikan ruangan benar-benar kosong. Setelah yakin, dia memberi isyarat pada Alfariel untuk keluar dari persembunyian.
"Kita harus lihat apa yang terjadi di lapangan," bisik Revan, suaranya terdengar lirih.
Alfariel mengangguk. Mereka bergerak cepat keluar dari ruangan, berjalan hati-hati di sepanjang koridor lalu bergegas menuju lapangan basket. Mereka penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi di sana.
***
Di lapangan basket, suasana sudah memanas seperti api yang disiram bensin. Anggota geng Black Secret dan geng STMJ berhadapan dengan tim basket SMA Mentari. Mereka saling melempar tatapan tajam dan kata-kata penuh emosi.
"Kalian main curang di pertandingan kemarin!" Zidan berteriak dengan nada marah, telunjuknya mengarah tajam ke salah satu anggota tim basket. "Jangan kira kami nggak tahu rencana busuk kalian!"
Seorang pemain basket SMA Mentari, seorang pria tinggi dengan ekspresi dingin, melangkah maju. "Bukti apa yang kalian punya?" tanyanya dengan nada sinis. "Kalau nggak ada bukti, jangan sok nuduh!"
Ucapan itu seperti menyiram bensin ke api kemarahan Zidan. "Lo pikir gue asal ngomong, hah?" Zidan menggertak, nadanya semakin meninggi.
Pertengkaran verbal itu dengan cepat berubah menjadi fisik. Salah satu pemain basket SMA Mentari tiba-tiba melayangkan pukulan ke wajah Zidan membuatnya terhuyung mundur.
Zidan tidak tinggal diam. Dengan reflek cepat, dia membalas bogem mentah ke lawannya dan seketika itu juga kedua kelompok terlibat dalam perkelahian sengit. Pukulan dan dorongan bertubi-tubi dilayangkan, menciptakan keributan besar yang menarik perhatian siapa saja di sekitar lapangan.
"Stop! Udah cukup! Jangan tambah masalah!" Fariz berteriak, mencoba melerai keributan itu. Dia berdiri di antara kedua pihak, tangannya terentang untuk memisahkan mereka. Tapi usahanya sia-sia. Pertengkaran sudah terlalu panas. Kedua belah pihak tidak lagi mendengar suara alasan.
Suara bentakan keras tiba-tiba memecah keributan. "Semua berhenti sekarang juga!"
Beberapa petugas keamanan sekolah muncul dari arah pintu masuk lapangan. Mereka dengan sigap memisahkan kedua kelompok, menahan para siswa yang masih ingin melayangkan pukulan. Dengan suara penuh wibawa, salah satu petugas menegur keras. "Kalian pikir ini tempat apa? Kalau kalian terus bikin masalah, kita nggak segan-segan lapor ke pihak sekolah kalian!"
Geng Black Secret dan geng STMJ akhirnya dipaksa mundur, meskipun sorot mata mereka masih dipenuhi emosi yang membara. Dengan langkah berat dan tatapan penuh penyesalan, mereka digiring oleh petugas keamanan menuju pos satpam. Lapangan yang tadinya penuh hiruk-pikuk kini berubah menjadi sunyi, hanya menyisakan bekas-bekas perkelahian yang baru terjadi.
Di pos satpam, suasana semakin tegang. Para anggota geng berdiri berjajar dengan wajah tertunduk. Sementara itu, para petugas melontarkan serentetan teguran keras.
"Apa yang kalian pikirkan masuk ke wilayah sekolah lain tanpa izin?" suara salah satu petugas terdengar lantang, nyaris seperti ledakan yang menghantam keberanian mereka. "Kalau sampai ada yang terluka atau terjadi sesuatu, kalian yang harus bertanggung jawab penuh!"
Revan mencoba berbicara. "Kami cuma lewat, Pak. Nggak ada niat buat bikin masalah, apalagi sampai bikin ribut."
Namun, petugas itu tidak luluh. Dia menggeleng tegas, tatapannya tajam menembus kelompok siswa yang kini terdiam kaku. "Nggak ada alasan seperti itu! Kalau kejadian ini sampai terulang lagi, kami nggak akan ragu melaporkan kalian ke pihak sekolah. Ini peringatan terakhir!"
Kata-kata itu menggantung di udara, menyisakan tekanan berat di pundak mereka. Setelah mendapat peringatan keras dan ancaman sanksi yang lebih berat, geng Black Secret dan geng STMJ akhirnya diizinkan pergi.
Dengan langkah gontai dan wajah lesu, mereka meninggalkan pos satpam. Tidak ada kata-kata di antara mereka, hanya rasa malu dan penyesalan yang tersirat dari ekspresi masing-masing. Setibanya di warung kopi, mereka duduk terdiam, suasana hening dan canggung melingkupi kelompok itu.
"Ini bener-bener di luar rencana," gumam Zidan sambil mengusap pipinya yang memar. "Gue nggak nyangka bakal seberantakan ini."
Revan menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Yang penting kita udah keluar dari masalah ini. Tapi sekarang, kita harus lebih hati-hati. Kita nggak bisa bikin kesalahan lagi."
Semua mengangguk setuju. Meskipun kejadian tadi meninggalkan luka di ego mereka, itu juga menjadi pengingat bahwa langkah berikutnya harus lebih matang dan penuh perhitungan. Mereka tahu, ini baru permulaan dari konflik yang lebih besar yang harus mereka hadapi.
"Ini semua gara-gara gue," gumam Zidan, suaranya sarat penyesalan. "Gue nggak bisa nahan emosi tadi."
"Bukan salah lo, Zan," sahut Abyan berusaha menenangkan. "Kita semua tahu, mereka yang mulai duluan."
Revan yang sejak tadi duduk diam sambil memegang amplop cokelat yang berhasil mereka ambil, akhirnya membuka isi amplop tersebut. Di dalamnya, terdapat beberapa dokumen penting terkait pertandingan. Ada jadwal pertandingan, catatan strategi tim basket SMA Mentari, dan sesuatu yang lebih mencengangkan.
"Lihat ini," kata Revan, sambil mengangkat salah satu lembar dokumen. Wajahnya serius. "Ada catatan tentang wasit yang dibayar. Ini bukti kecurangan mereka."
Semua terdiam, menatap dokumen itu dengan ekspresi campur aduk. Ketegangan di ruangan semakin terasa.
"Jadi benar, mereka curang," ujar Abyan dengan nada geram. "Nggak heran mereka menang terus."
Alfariel menggelengkan kepala. "Tapi ini bukan hanya tentang pertandingan lagi. Kalau kita salah langkah, mereka bisa balik menyerang kita. Apalagi sekarang kita udah ketahuan masuk wilayah mereka."
Fariz akhirnya angkat bicara. "Gue setuju. Kita harus bahas ini lebih matang. Kalau nggak hati-hati, ini bisa berbalik jadi masalah besar buat kita semua."
"Jadi, apa langkah kita selanjutnya?" tanya Zidan, matanya memandang penuh harap ke arah Revan.
Revan menarik napas dalam, mencoba meredakan ketegangan dalam pikirannya. "Kita cari bukti tambahan dulu. Dokumen ini belum cukup buat mengungkap mereka secara terang-terangan. Kita harus punya strategi yang nggak cuma buat ngebongkar kebusukan mereka, tapi juga buat melindungi diri kita."
Percakapan tersebut menjadi titik awal misi. Mereka sadar bahwa situasi ini lebih besar dari sekadar persaingan antar geng atau pembalasan dendam.
"Kita nggak bisa gegabah," ujar Revan tegas. "Kalau salah langkah, semua yang kita bangun bisa runtuh."
Masing-masing anggota geng terlihat merenung. Rencana ini bukan hal yang bisa diselesaikan dengan otot saja, tetapi perlu dibutuhkan kecerdasan, strategi matang, dan keberanian untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi.
"Aku bakal coba cari tahu lebih banyak soal mereka," usul Alfariel. "Mungkin ada hal lain yang bisa kita pakai sebagai bukti atau senjata cadangan."
Zidan menambahkan dengan suara lebih tenang dari biasanya, "Dan kalau perlu, kita libatkan orang-orang yang bisa bantu kita. Tapi, cuma yang bisa dipercaya."
"Kita harus kompak kali ini. Apa pun yang terjadi, kita jalan bareng. Kalau salah satu dari kita jatuh, yang lain harus siap bantu," ujar Abyan.
Ucapan itu diikuti anggukan dari anggota geng.
***
Bersambung ...