Agnes tak pernah menyangka, sebuah foto yang disalahartikan memaksanya menikah dengan Fajar—dosen pembimbing terkenal galak dan tak kenal kompromi. Pernikahan dadakan itu menjadi mimpi buruk bagi Agnes yang masih muda dan tak siap menghadapi label "ibu rumah tangga."
Berbekal rasa takut dan ketidaksukaan, Agnes sengaja mencari masalah demi mendengar kata "talak" dari suaminya. Namun, rencananya tak berjalan mulus. Fajar, yang ia kira akan keras, justru perlahan menunjukkan sisi lembut dan penuh perhatian.
Bagaimana kelanjutan hubungan mereka? Apakah cinta bisa tumbuh di tengah pernikahan yang diawali paksaan? Temukan jawabannya di cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Agnes terdiam, tubuhnya kaku di bawah sentuhan lembut namun penuh kendali dari Fajar. Ciuman itu bukan hanya tentang gairah, tetapi juga tentang perasaan yang selama ini terpendam di antara mereka. Bibir Fajar bergerak perlahan, seolah ingin menyampaikan sesuatu yang tak mampu diungkapkan dengan kata-kata.
Saat akhirnya mereka berpisah, Agnes masih terengah, jantungnya berdetak tak karuan. Pikirannya kosong, hanya bisa menatap Fajar yang masih begitu dekat. Tatapan pria itu intens—ada kemarahan, kekecewaan, dan sesuatu yang lain... sesuatu yang terlalu dalam untuk bisa ia artikan dalam satu kedipan mata.
Fajar menarik napas panjang, seakan ingin mengatakan sesuatu. "Agnes—"
Agnes tersentak, kesadarannya seakan baru kembali. Panas menyelimuti wajahnya, dan seketika itu juga otaknya memerintahkan untuk kabur. Ia merasakan gelombang emosi yang begitu asing—campuran malu, gugup, dan ketakutan akan sesuatu yang tak ia mengerti.
"Tunggu—aku... aku ke kamar mandi dulu!" katanya terbata, suaranya lebih tinggi dari biasanya.
Fajar sempat mengernyit, mencoba memahami reaksinya, tapi sebelum ia bisa mengatakan apapun, Agnes sudah berdiri tergesa. Langkahnya goyah, tersandung kursi bioskop saat berbalik. Ia tak peduli. Yang penting pergi dari sini sebelum otaknya benar-benar meledak.
Fajar hanya bisa menatap punggungnya yang menghilang ke lorong bioskop. Sekian detik berlalu sebelum akhirnya ia menyandarkan punggung, menatap layar film tanpa benar-benar melihatnya.
"Kamar mandi?" gumamnya, setengah tak percaya. Ia mengusap wajah, lalu menghela napas panjang. "Serius?"
Fajar kembali menata posisi duduknya dan menangkan diri, sayangnya semua itu tidak berhasil. "Harusnya skenarionya nggak begini, kan?" gumamnya sendiri, suaranya pelan tapi penuh emosi. Ia menatap layar bioskop dengan tatapan kosong, lalu memegang kepalanya yang kini terasa panas.
"Harusnya aku bilang sesuatu yang romantis, terus dia nangis terharu, lalu... argh!" Fajar mengepalkan tangan, meninju udara seolah sedang bertarung dengan nasibnya sendiri. "Kenapa dia malah pergi duluan?! Aku bahkan belum selesai bicara!"
Seorang penonton di barisan depan menoleh dengan wajah heran, tapi Fajar hanya mendelik tajam, membuat orang itu buru-buru memalingkan wajah.
***
Agnes berdiri di depan cermin kamar mandi, mencoba menenangkan diri. Wajahnya masih memerah, dan ia memercikkan air ke pipinya berulang kali. Namun, refleksi di cermin tetap menampilkan ekspresi panik dan malu.
"Kenapa aku malah kabur?" gumamnya frustrasi. "Ya Tuhan, Agnes, kamu kenapa kayak ABG yang baru pertama kali dicium?!" Suaranya terdengar lirih tapi penuh dengan rasa kesal pada diri sendiri.
Ia menatap lekat bayangan dirinya di cermin, bibirnya terkatup rapat, tapi pikirannya berkecamuk. "Tapi... yang seperti tadi itu memang pertama kali," bisiknya pelan. "Dan... kenapa rasanya bikin nagih?" Wajahnya kembali memerah saat mengingat tatapan mata Fajar—penuh kendali, namun ada kelembutan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Menghela napas panjang, ia mencoba bicara pada dirinya sendiri. "Balik ke sana. Balik, Agnes. Kalau nggak, dia bakal makin marah." Namun, kakinya justru tetap terpaku di tempat, seolah enggan menuruti perintah otaknya.
"Arghhh... Memalukan sekali." Ia meraup wajahnya dengan kedua tangan. Jantungnya masih berdebar keras, dan meskipun ia mencoba mengatur napas, usahanya sia-sia.
Dalam kepanikan, ia mengambil ponselnya dan memutuskan untuk menghubungi Berta. Dia pasti punya solusi, pikirnya. Begitu tombol panggil ditekan, suara ceria Berta langsung terdengar, tak memberi jeda.
"Nape? Udah selesai nangkap suami yang lagi selingkuh? Jadi gimana, udah dapat talak belum?"
"Ahhhh, Ta! Ini di luar prediksi BMKG. Tiba-tiba ada kejadian aneh," ucap Agnes cepat, tanpa memedulikan candaan Berta.
"Kejadian apa?" Berta langsung serius, meskipun nada penasaran terdengar jelas.
Agnes menggigit bibirnya, ragu. Namun akhirnya ia berkata, "Tiba-tiba, Ta... celana dalamku basah, mukaku merah, jantungku kayak habis lari maraton."
Berta terdiam sesaat sebelum menjawab, "Nes, kamu jangan bikin aku khawatir. Kamu habis ngapain? Kenapa ada acara celana dalam basah? Kamu ujan-ujanan?"
"Enggak, Ta," jawab Agnes sambil memutar bola matanya. "Aku habis dapat serangan Fajar."
"Woy, dodol, cerita yang bener napa?! Jadi kamu dapat serangan Fajar atau Pak Fajar? Terus kenapa bisa sampai basah?!" suara Berta terdengar setengah menahan tawa.
Bukannya menjelaskan, Agnes malah mengeluh, "Ta, tadi aku habis dapat serangan Fajar, terus karena malu aku kabur gitu aja. Gimana ini, Ta?!"
Berta mendengus kesal. "Agnes, jangan bikin teka-teki dah!"
"Dasar jones! Masa iya aku harus ngomong terus terang kalau tadi di dalam bioskop aku habis ciuman sama Pak Fajar sampai celana dalamku basah, terus karena malu aku kabur? Hah, yang bener aja, kamu Ta!" jelas Agnes akhirnya, tanpa sadar mengungkapkan semuanya dalam satu tarikan napas.
Di seberang, Berta langsung tertawa terbahak-bahak, nyaris tercekik oleh tawanya sendiri. "Nes, aku rasa kamu itu terlahir bukan dari rahim ibu, tapi dari planet lain!"
"Duhhh... Malah bercanda!" Agnes memprotes, wajahnya makin memanas.
"Ya, kamu sendiri yang ngajakin bercanda! Kalau udah kayak gini, tandanya kamu udah nggak tertolong, Nes. Udah bobol aja gawang kamu. Lagian, aku udah bilang kan, kamu suka sama Pak Fajar. Buktinya sekarang kamu mau dicium sama dia, kan? Udah nggak nolak sambil ngucapin kata serapah."
Agnes terdiam, hatinya berdebar lebih kencang. "Jadi... bener aku suka sama dia?" tanyanya pelan, hampir seperti bisikan.
"Aduh... Masalahmu lebih berat dari judul skripsimu. Udah sana balik lagi ke Pak Fajar! Jangan kayak anak kecil!" Tanpa memberi kesempatan untuk membalas, Berta langsung memutuskan sambungan.
"Ta... Halo, Ta..." Agnes mendesah, menatap ponselnya. Kini ia berdiri diam di depan cermin, pipinya masih memerah, hatinya penuh kebingungan, tapi juga... harapan kecil.
Agnes menarik napas dalam-dalam sebelum keluar dari kamar mandi. Tubuhnya masih terasa kaku, sementara pikirannya terus memutar ulang momen ciuman itu—dan ekspresi wajah Fajar yang begitu dekat. Harusnya aku nggak kabur tadi. Sekarang pasti dia ilfeel sama aku yang kayak anak kecil.
Saat kembali ke tempat duduknya, Fajar menoleh pelan. Tatapannya dingin, namun ada sedikit kehangatan yang menyelinap di balik sorot matanya. Agnes langsung menundukkan pandangan, tak berani menatap lebih lama.
“Lama,” ujar Fajar singkat. Suaranya rendah, sedikit serak, tapi cukup untuk membuat Agnes semakin gugup.
“Hah?! Ah... Iya tadi di kamar mandi antre,” jawab Agnes membuat alasan. Ia duduk dengan hati-hati, menampilkan senyum canggung.
Fajar mendekatkan wajahnya pada Agnes saat gadis itu sudah duduk dengan tenang dan matanya tertuju ke layar film yang masih diputar. Detak jantung Agnes semakin berpacu, membayangkan akan ada ciuman selanjutnya. Ia pun langsung memejamkan mata, membuat Fajar menarik sudut bibirnya.
“Kenapa kamu merem?” tanya Fajar, membuat mata Agnes langsung terbuka lebar.
“Hah?!”
“Iya, kenapa kamu merem? Aku mau nawarin popcorn. Kamu mau?” tanya Fajar sembari menyodorkan satu cup popcorn ke arah Agnes.
“Ah... Iya, mau, Pak.” Agnes mengambil satu biji popcorn lalu memasukkan ke dalam mulutnya.
Fajar memandang Agnes dengan alis terangkat, ekspresi di wajahnya sulit ditebak. “Satu aja?” tanyanya santai, tapi nadanya jelas menyindir.
Agnes merasa pipinya memanas lagi. “Eh, iya... Pak,” jawabnya gugup, sambil memasukkan tangan ke cup popcorn lagi untuk mengambil beberapa biji sekaligus. Namun, gerakannya begitu kikuk sehingga beberapa butir popcorn jatuh ke pangkuan Fajar.
Agnes buru-buru mengambil butir popcorn yang terjatuh itu, tanpa sadar memegang sesuatu yang tak seharusnya. Dengan polosnya ia pun bertanya, “Pak, Bapak bawa pisang, ya?”
eh ini kok malah minta tolong ke fajar buat jd kekasih adiknya sehari.. haduuh itu malah bikin sherly tambah gila lah
licik sekali kamu Serly,,,,,,