Karena hendak mengungkap sebuah kejahatan di kampusnya, Arjuna, pemuda 18 tahun, menjadi sasaran balas dendam teman-teman satu kampusnya. Arjuna pun dikeroyok hingga dia tercebur ke sungai yang cukup dalam dan besar.
Beruntung, Arjuna masih bisa selamat. Di saat dia berhasil naik ke tepi sungai, tiba-tiba dia dikejutkan oleh sebuah cincin yang jatuh tepat mengenai kepalanya.
Arjuna mengira itu hanya cincin biasa. Namun, karena cincin itulah Arjuna mulai menjalani kehidupan yang tidak biasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rcancer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Dua Wanita
"Permisi," sapa Tarmini kala langkah kakinya, berhenti tepat di depan sebuah warung yang menjual aneka jajanan bocah.
Mata perempuan yeng mengenakan pakaian seksi itu, jelalatan memperhatikan beberapa barang yang tersedia di sana.
"Ya..," seorang wanita muncul dari pintu belakang warung tersebut, lalu tangan wanita itu meraih kain untuk mengeringkan tangannya yang basah.
Tarmini sontak tersenyum pada wanita penjaga warung yang kelihatan kalau usianya lebih tua dari dirinya. Tarmini lalu melempar pandangan ke arah batagor yang nampak menggoda lidahnya.
"Kelihatannya, batagornya sangat enak, Bu," Tarmini mulai berbasa-basi. "Berapaan satu porsinya?"
Pemilik warung yang tak lain adalah Widuri, ibunya Juna, membalas senyuman wanita tersebut. "Satu porsi 10ribu, Neng. Tapi beli berapa aja juga boleh," jawab Widuri. "Apa anda kesini, disuruh Bratawali?"
Tarmini seketika tertegun. Dia agak kaget kala Widuri melempar pertanyaan dengan menyebut nama laki-laki yang menjadi mesin uangnya.
"Nggak perlu bingung, saya mengenal mobil itu," ucap Widuri. Meskipun agak kesal, tapi wanita itu mencoba bersikap biasa saja sambil menunjuk mobil hitam yang terparkir tak jauh dari sana.
Tarmini mengangguk paham dan dia langsung tersenyum. "Tidak," jawab Tarmini. "Tuan malah tidak tahu saya ke sini. Kalau boleh, saya beli batagornya satu porsi tapi makan di sini, bisa?"
"Silahkan," jawab Widuri. Sebenarnya dia bisa saja mengusir wanita itu untuk pergi. Namun, Widuri tidak melakukannya karena dia sedikit penasaran dengan kedatangan Tarmini.
Tarmini pun duduk di kursi yang ada di sebelah warung. Di sana juga tersedia meja karena memang, Widuri sengaja menyiapkan tempat itu untuk pembeli yang ingin makan di tempat.
"Apa Mbak sudah lama tinggal di sini?" Tanya Tarmini kala Widuri menghampiri, mengantar sepiring batagor untuk wanita tersebut.
"Yah lumayan, udah lebih dari 10 tahun," jawab Widuri.
"Kalau boleh, saya mau tanya sama Mbak," ucap Tarmini lagi sebelum pergi.
"Tanya apa ya?" Widuri pun langsung melempar pertanyaan dengan kondisi masih berdiri.
"Begini, sebelumnya saya mau ngasih tahu, kalau Tuan besar baru saja kehilangan cincin pusakanya."
"Hah!" Widuri sontak terkejut. "Kapan, hilangnya, Neng?"
"Satu bulan yang lalu," balas Tarmini. "Kasihan Tuan besar, akhir-akhir ini jadi sering melamun."
"Hmm," Widuri langsung bersikap ketus, lalu wanita itu duduk di kursi yang satunya. "Ya syukurlah kalau cincin itu hilang, biar orang tua itu tobat. Nggak terus-terusan berbuat semaunya sendiri."
Tarmini tertegun, mendengar dan melihat sikap wanita di hadapannya. "Sepertinya, Mbak senang dengan berita itu," Tarmini pun jadi penasaran.
"Yah, lebih ke bersyukur aja sih, Neng. Setidaknya orang itu masih diberi kesempatan untuk tobat," balas Widuri. "Apa kamu sengaja datang ke sini untuk menyampaikan berita itu?"
Tarmini langsung menggeleng, lalu dia kembali menceritakan tentang hilangnya cincin dan !alasan Tarmini mendatangi tempat Widuri.
"Sebulan yang lalu ya?" Widuri sontak berpikir, mengingat-ingat kembali kejadian saat itu. "Kayanya nggak mungkin deh, Neng. Mungkin saja cincin itu jatuh di sungai."
"Saya juga mikirnya gitu, Mbak," balas Tarmini. "Tapi, semua orang suruhan Tuan besar, sudah dikerahkan untuk mencari cincin itu, tapi hasilnya kosong, tidak ada satupun yang berhasil menemukan."
Widuri nampak manggut-manggut. "Tapi nggak mungkin lah kalau anakku yang menemukannya. Apa lagi saat itu, anakku habis babak belur karena berkelahi sama preman, sampai bajunya basah kuyup. Itu sebabnya gerobagnya langsung saya jual."
"Hm..." Tarmini mencoba memahami. "Emang basah kuyup kenapa, Mbak? Bukankah malam itu tidak hujan ya?
"Siapa bilang tidak hujan? Mungkin anak saya berkelahinya saat hujan masih gede," jawab Widuri. "Kalaupun anak saya yang menemukan cincin itu, paling kalau nggak dibuang, akan dikasih ke Bapaknya. Tapi kan mereka nggak tahu kalau cincin itu ada penunggunya."
"Emang Mbak nggak pernah cerita sama keluarga?" tanya Tarmini lagi.
"Buat apa," balas Widuri, suaranya agak meninggi. "Nggak penting juga keluargaku tahu tentang cincin itu. Kalau aku lihat cincinnya juga bakalan aku buang."
Tarmini tersenyum tipis. Meski cerita Widuri nampak meyakinkan, tapi Tarmini justru makin penasaran dengan anak Widuri.
Karena merasa mengalami hal buntu, Tarmini pun segera mengalihkan obrolan ka cerita lainnya agar Tarmini tidak dicurigai. Saat Tarmini merasa sudah cukup lama berada di sana, akhirnya dia memutuskan pamit dengan alasan yang dibuat-buat.
"Gimana, Non?" tanya Sarjo begitu Tarmini masuk ke dalam mobil.
"Katanya sih nggak mungkin cincin itu ada pada mereka," balas Tarmini. "Tapi aku ngerasa kalau anak laki-lakinya yang menemukannya."
"Kok bisa? Gimana ceritanya?" Sarjo semakin penasaran. Begitu juga dengan Sarno yang sudah menyalakan mesin mobil dan bersiap untuk pergi.
Tarmini lantas menceritakan semua informasi yang dia dengar dari Widuri.
"Iya yah, aneh," sahut Sarno. "Aku yakin banget malam itu di sana udah nggak hujan. Lagian jarak sungai sampai daerah ini, tidak terlalu jauh. Kalau sampai rumah pakaian anaknya masih basah kuyup, berarti kemungkinan anak itu turun ke sungai."
"Bisa jadi itu," sahut Sarjo. "Gini aja deh, buat mastiin, gimana kalau kita intai anak itu?"
"Emang kamu tahu, wajah anak itu seperri apa?" tanya Tarmini.
"Ya tahu lah. Aku kan beberapa kali pernah melihatnya jika diminta memantau oleh Tuan besar," jawab Sarjo antusias.
"Ya udah, kita cari tempat buat mantau," titah Tarmini, dan langsung disetujui kedua pria yang bersamanya.
"Wah... gawat kalau kaya gini," gumam sosok tak kasat mata yang diam-diam mendengarkan obrolan mereka.
Karena penasaran, Klawing memilih tidak mengikuti Juna. Dia memutuskan kembali ke rumah, untuk menguping pembicaraan Ibunya Juna dengan wanita yang saat ini sudah meninggalkan rumah Juna.
Dugaan Klawing ternyata benar, wanita itu mendatangi rumah Juna untuk mencari informasi tentang cincin. Klawing tidak menyangka kalau firasat wanita itu sangat kuat.
Namun, ada hal lain yang cukup mengganggu pikiran Klawing. Sikap Ibunya Klawing saat mendengar kabar tentang cincin milik Bratawali. Klawing merasa kalau ibunya Juna mengenal majikannya, sampai dia paham dengan cincin pusaka yang hilang.
"Apa hubungannya majikanku dengan Ibunya Juna ya?" Klawing pun bertanya-tanya. "Apa mungkin, Ibunya Juna pernah menjadi korban kejahatan majikanku?"
Klawing terus kepikiran akan hal itu. Sosok tak kasat mata tersebut benar-benar dilanda penasaraan yang sangat kuat.
"Tunggu dulu," Klawing sempat terperanjat oleh pikirannya sendiri. "Jangan-jangan Ibunya Juna adalah...."
lanjut thor 🙏