menceritakan sepasang kekasih yang mau menikah beberapa bulan lagi namun gagal karena suatu kesalahan pahaman , membuat pernikahan yang telah dinanti nanti hancur , membuat keduanya tidak seperti dulu .........
maukah Wanita itu Bertahan dengan sang pria atau Berakhir ................
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Scorpionzs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#28
Satu tangan memegang ponsel, sementara tangan lainnya menopang dagunya. Tatapan Rifqi tertuju pada Altair, yang meskipun tampak tenang, jelas sedang memikirkan sesuatu.
“Ada yang kamu pikirin?” tanya Rifqi, akhirnya memecah keheningan.
Altair menoleh perlahan. “Aku pikir semuanya berjalan terlalu lancar.”
Rifqi mengernyit. “Bukannya itu hal bagus?”
Altair meletakkan cangkir teh ke atas meja marmer di depannya, lalu menyandarkan tubuh ke sofa. Tatapannya mengeras. “Terlalu lancar biasanya berarti akan ada masalah besar yang menunggu di depan.”
Rifqi tertawa pelan. “Kamu terlalu curiga.”
Altair menatapnya tajam. “Aku nggak hidup sejauh ini hanya dengan mengandalkan keberuntungan.”
Rifqi berdiri, lalu berjalan ke arah Altair. Ia duduk di samping istrinya dan menggenggam tangan Altair dengan lembut. “Aku ngerti kamu khawatir, Tar. Tapi kali ini, kamu nggak sendiri.”
Altair menatap Rifqi sebentar sebelum menghela napas panjang. “Aku tahu.”
Saat itu, suara langkah kaki kecil terdengar dari arah tangga. Rial berlari ke arah mereka, mengenakan piyama biru muda bergambar bintang-bintang. Wajahnya yang polos dan senyumnya yang lebar membuat Altair dan Rifqi secara refleks berbalik ke arahnya.
“Mommy! Daddy!” Rial berteriak senang sebelum melompat ke pangkuan Altair.
Altair mengangkat Rial dengan mudah dan memeluknya erat. “Ada apa, sayang?”
Rial menyandarkan kepalanya di dada Altair. “Aku mimpi buruk.”
Rifqi mengusap kepala Rial dengan lembut. “Mimpi apa?”
“Ada monster…” Rial bergumam pelan. “Dia mau ambil Mommy dan Daddy.”
Altair dan Rifqi saling menatap. Altair menurunkan Rial dari pangkuannya dan menatapnya dalam-dalam.
“Nggak akan ada yang ambil Mommy dan Daddy darimu,” ucap Altair tegas. “Selama Mommy di sini, nggak ada yang bisa menyentuh kamu.”
Rifqi tersenyum kecil. “Betul. Karena Mommy itu kuat banget.”
Rial menatap Altair dengan tatapan polos. “Mommy lebih kuat dari monster?”
Altair tersenyum tipis. “Jauh lebih kuat.”
Rial tertawa kecil. “Kalau gitu, Rial nggak takut lagi!”
Altair mengusap kepala Rial sebelum menurunkannya dari pangkuannya. “Sekarang, pergi tidur lagi. Mommy dan Daddy di sini.”
Rial mengangguk, lalu berlari kembali ke kamarnya. Setelah Rial pergi, Altair kembali bersandar ke sofa. Rifqi menatap istrinya dengan tatapan penuh arti.
“Kamu benar-benar kuat, Tar.”
Altair menutup matanya sebentar. “Aku nggak punya pilihan lain.”
“Tapi kali ini kamu nggak harus menghadapi semuanya sendiri,” gumam Rifqi pelan.
Altair menoleh ke arahnya, matanya yang berwarna biru dan merah menatap Rifqi dalam-dalam. “Aku tahu.”
•••
Satu Minggu Kemudian
Altair sedang berdiri di balkon lantai dua rumah mereka saat Rifqi datang menghampirinya. Angin malam yang dingin berembus, menyapu rambut putih Altair yang panjang. Rifqi menyampirkan jaket di bahu Altair sebelum berdiri di sampingnya.
“Kamu nggak tidur?” tanya Rifqi.
“Aku nggak ngantuk,” jawab Altair singkat.
Rifqi menatap pemandangan di bawah mereka — taman yang indah dengan kolam kecil di tengahnya, diterangi cahaya lampu-lampu taman yang remang.
“Kamu mikirin sesuatu?” Rifqi bertanya lagi.
Altair menghela napas panjang. “Aku cuma merasa… ini semua nggak akan bertahan lama.”
“Kenapa kamu selalu berpikir kayak gitu?” Rifqi menatap Altair dengan serius.
Altair menatap ke langit malam yang penuh bintang. “Karena aku tahu bagaimana dunia ini bekerja, Rifqi. Kebahagiaan itu jarang bertahan lama.”
Rifqi terdiam sejenak sebelum akhirnya menatap Altair dengan pandangan penuh tekad. “Kalau gitu, kita buat kebahagiaan ini bertahan selamanya.”
Altair menoleh ke arah Rifqi, menatapnya dalam-dalam. “Kamu pikir kita bisa?”
“Kita bisa,” Rifqi menjawab dengan tegas. “Selama kita tetap bersama.”
Altair terdiam cukup lama sebelum akhirnya bergumam pelan, “Aku harap kamu benar.”
Saat itu, suara ponsel Altair bergetar. Altair mengambil ponselnya dan melihat satu pesan singkat dari salah satu asistennya di ZEROUN. Wajah Altair langsung mengeras setelah membaca pesan itu.
“Ada apa?” tanya Rifqi, memperhatikan perubahan ekspresi Altair.
“Masalah.” Altair menyimpan ponselnya di saku dan berbalik menghadap Rifqi. “Aku harus ke markas ZEROUN sekarang.”
Rifqi mengernyit. “Sekarang?”
Altair berjalan melewati Rifqi, matanya yang tajam kembali memancarkan aura dingin dan berbahaya. “Jaga Rial. Aku nggak tahu berapa lama aku akan pergi.”
Rifqi mengejar Altair, lalu menarik pergelangan tangannya. “Aku ikut.”
Altair berbalik dan menatap Rifqi dengan tajam. “Kamu nggak bisa ikut.”
“Aku bisa,” Rifqi bersikeras. “Aku suamimu. Aku punya hak untuk melindungi kamu.”
Altair mendekat, matanya berkilat dingin. “Aku bisa melindungi diriku sendiri.”
“Tapi aku nggak akan membiarkan kamu menghadapi ini sendirian,” jawab Rifqi tegas.
Mata Altair menyipit. Dalam keheningan itu, Rifqi dan Altair saling menatap — sebuah ketegangan tercipta di antara mereka.
Akhirnya, Altair menghela napas panjang. “Kalau kamu ikut, jangan jadi beban.”
Rifqi tersenyum tipis. “Aku nggak akan jadi beban.”
Altair menatap Rifqi sekali lagi sebelum berbalik. “Baiklah. Kita berangkat sekarang.”
Rifqi mengikuti Altair yang berjalan menuju garasi. Altair membuka pintu sebuah mobil sport hitam yang tampak garang dan masuk ke dalamnya. Rifqi masuk ke kursi penumpang di sebelahnya.
Altair menyalakan mesin mobil, dan suara gemuruh mesin terdengar memecah keheningan malam. Altair menekan pedal gas, dan mobil melesat dengan kecepatan tinggi keluar dari gerbang rumah mereka.
Rifqi melirik Altair yang mengemudi dengan ekspresi dingin dan fokus. “Siap menghadapi masalah?”
Altair tersenyum samar, matanya bersinar tajam di bawah cahaya dashboard mobil. “Selalu.”
Mobil itu melaju di jalanan gelap, menuju pusat kekuatan ZEROUN, di mana bayang-bayang masa lalu dan ancaman baru telah menunggu mereka di balik kegelapan.
Pulau ZEROUN – Markas Utama
Altair menghentikan mobilnya di depan gerbang utama markas ZEROUN. Gerbang baja raksasa itu perlahan terbuka setelah sistem pengenalan biometrik memverifikasi identitas Altair.
Di balik gerbang, lusinan pengawal bersenjata lengkap berdiri berjajar, memberi hormat saat Altair dan Rifqi keluar dari mobil.
Altair melangkah dengan mantap, postur tubuhnya menjulang tinggi dan penuh wibawa.
Rifqi mengikuti di belakangnya, memperhatikan bagaimana semua orang yang ada di sana menundukkan kepala dengan penuh rasa hormat — atau mungkin ketakutan.
Draven, salah satu anggota inti ZEROUN, menghampiri mereka dengan langkah cepat. Rambut hitamnya yang sedikit acak-acakan dan bekas luka di pipi kirinya membuatnya terlihat garang.
“Pemimpin,” Draven menunduk hormat. “Masalahnya serius.”
Altair menatap Draven tajam. “Apa yang terjadi?”
Draven menyerahkan sebuah tablet kepada Altair. Di layar terlihat rekaman CCTV yang memperlihatkan sebuah kapal perang asing mendekati perairan ZEROUN.
------------------------------------------------------------------------
Rial ngomong sudah lancar ya.
Altair Juga Ketua dari Organisasi No 1 di seluruh dunia Yaitu ZEROUN yang berada di dunia bawah namun ZEROUN itu legal karena menjual barang tambang , Organisasi ZEROUN tidak akan menyerang kecuali di serang lebih dulu.