NovelToon NovelToon
Aku Masih Normal

Aku Masih Normal

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Cinta Terlarang / Cinta Seiring Waktu / TKP / Kontras Takdir / Bercocok tanam
Popularitas:997
Nilai: 5
Nama Author: Ruang Berpikir

Anzela Rasvatham bersama sang kekasih dan rekan di tempatkan di pulau Albrataz sebagai penjaga tahanan dengan mayoritas masyarakat kriminal dan penyuka segender.

Simak cerita selengkapnya, bagaimana Anz bertahan hidup dan membuktikan dirinya normal

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ruang Berpikir, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

25_Luar Nalar

Albert berusaha melepaskan lilitan nyaring yang melilit tubuhnya setelahnya ia naik ke atas lagi, lebih tinggi lagi melalui tali tersebut sedangkan Abi yang berada di bawahnya, mengikuti.

Mereka berdua kini sudah berada di atasa ranting pohon besar itu, mereka berdua merebahkan badannya, cucuran keringat membasahi tubuh mereka, walau cuaca dingin mulai mengiringi lebih dingin lagi.

Mereka berdua saling berpandangan dan napas yang terengah-engah "apapun kondisinya, usahakan tenang, Al."

Albert mengangguk mengiyakan.

Setelah beberapa saat, tubuh mereka mulai merasakan dingin kembali dan jantung mereka sudah terpompa normal kembali "mari kita pulang."

"Bagaimana caranya?" ucap Albert menunjuk seekor ular yang sedang memuntahkan telur dari mulutnya.

Decakan kesal kembali terdengar dari Abi. Abi merangkak mendekati ular tersebut yang kemudian menepisnya kuat sehingga ular yang tidak bersalah itu harus terjatuh ke bawah dan telurnya itu belum sepenuhnya habis keluar dari perutnya itu.

Albert memelototkan matanya, ini orang, banyak diam sekali bertindak di luar nalar, monolog Albert mengikuti Abi yang turun perlahan dari atas pohon besar itu, melalui ranting-rantingnya yang kemudian meloncat ketika ia rasa ranting yang ia injak sudah mendekati tanah.

Albert juga melakukan hal yang sama. Pandangan mata Albert mengarah pada ular tersebut yang keberadaannya sedikit jauh dari mereka. Ular itu masih sibuk memuntahkan telur-telurnya itu yang entah sudah muntahan yang keberapa.

"Bi," panggil Albert "Abi," panggil Albert lagi "tungguin," berlari mendekati Abi yang lebih dulu jalan di depan. "Bi, ular itu bagaimana," menoleh ke belakang melihat ular.

Abi menghentikan langkahnya sejenak "maksudmu?"

"Itu ularnya, kasian," masih menatap ular "kayaknya ular itu keselek dengan telurnya sendiri deh."

Tatapan mata datar Abi tunjukan "bantuinlah," melirik ular itu sebentar yang kemudian kembali melangkahkan kakinya.

"Gak berani," berlari kecil kembali menyeimbangkan langkahnya dengan Abi.

Abi terus berjalan tanpa lagi mempedulikan Albert yang berada di samping yang entah mengatakan apa.

Sedangkan Albert yang tidak ditanggapi oleh Abi, akhirnya memilih diam dan mengikuti, berjalan beriringan dengan Abi.

Lebih dari satu jam langkah mereka berdua melangkah, kini keberadaan Abi dan Albert sudah berada di lapas kembali.

Abi dengan tetap konsisten pada pilihan awalnya yaitu istirahat di barak, langsung melangkah kaki menuju barak setelah sampai di barak tanpa lagi mengganti bajunya, ia langsung merebahkan badannya di kasur miliknya itu "melelahkan," lirihnya, tidur terlentang, tangan di atas kepala dan matanya menatap fokus loteng barak yang berwarna putih.

Rekan-rekannya yang lain, mereka semua sudah sibuk berkelana dalam alam mimpi masing-masing dan tidak menyadari kehadiran dirinya dan Albert yang sudah kembali.

Di lain sisi, Anz dan juga Ahmed masih berada di atas kuda yang terus melangkah dengan suara tapakan bagaikan ketukan yang berirama, seirama ketukan di dalam jarum jam yang akan terus berdenting setiap detiknya.

Hembusan angin menerpa kulit wajah Anz. Hidung Anz yang sedikit mancung sudah terasa dingin dan lagi kedua tangan Anz, Anz sembunyikan di antara ketiaknya sendiri dan kadang-kadang Anz menggosok-gosok kedua telapak tangannya sendiri, lalu menghembusnya perlahan.

"Apakah terasa sangat dingin, nona?"

"Sedikit," jawab Anz agak bergetar merinding karena kedinginan hembusan angin dan di tambah lagi Ahmed yang bersuara tepat di samping telinganya. "Aku masih bisa menahannya."

Suara deruan ombak mulai terdengar pelan. "Apa kita hampir sampai?"

"Iya, nona," tersenyum "kita hampir sampai nona. Dibalik pohon cemara laut itu," menunjuk rentetan pohon yang tumbuh memanjang bagaikan baris di sepanjang jalan di hadapan mereka dari timur hingga barat sejauh pandangan mata mereka memandang, pohon cemara laut itu yang tumbuh semua "di sanalah laut yang saya maksudkan nona."

Angin malam terus berhembus lebih cepat kala keberadaan mereka semakin mendekati laut. Suara ketukan dari tapakan kuda masih terdengar nyaring di jalanan aspal, perlahan, setelah beberapa langkah tapakan kuda itu kehilangan suaranya.

Anz melihat ke bawah, *oh, sudah memasuki area pasir ternyata, *monolog Anz.

"Apakah Anda sering datang ke tempat ini," menoleh ke samping, berusaha melihat wajah Ahmed.

"Begitulah kira-kira nona," tersenyum lagi.

Suara deruan ombak semakin terdengar keras, tapakan langkah kuda yang terus berjalan, pohon cemara laut yang mereka lihat tadi tumbuh berderet di sepanjang pesisir pantai kini pohon cemara laut itu sudah terlewati.

"Indah sekali," lirih Anz.

Tidak ada sahutan dari Ahmed, namun ia turun dari atas kuda yang kemudian mengulurkan tangan kanannya pada Anz "mari nona. Turunlah."

Anz tersenyum singkat menerima uluran tangan Ahmed, mengenggamnya erat, menginjakkan kaki kanannya kuat pada injakan kaki khusus yang ada di pelana yang terpasang di badan kuda itu.

"Terimakasih," tersenyum menatap Ahmed. "Pantai ini menenangkan ya!" Melihat ombak yang yang saling berkejaran dan saling menggulung.

Ahmed tidak menjawab apa-apa hanya senyuman di wajah tampan berkulit putih, hidung mancung, alis tebal dan juga lesung pipi tercipta di kedua pipinya kala senyuman terpancar dari wajahnya itu.

Pandangan mata Anz melihat Ahmed yang juga menatap dirinya. Ahmed berjalan beriringan dengan Anz di pesisir pantai itu dan tangannya tidak lepas memegang tali kekang kudanya itu.

Dengan segera Anz mengalihkan pandangannya kembali melihat ke laut, sinaran cahaya bulan yang memantul dari air laut terlihat begitu cantik, indah dan begitu menenangkan.

Percikan dari air ombak terkena di sepatu bot milik Anz dan Ahmed. Jejakan tapakan langkah mereka meninggalkan bekas di setiap langkah mereka di pasir basah itu.

Obrolan ringan terdengar dari mereka berdua.

Entah sudah berapa lama mereka terus melangkah mengikuti jalan sepanjang pesisir pantai itu, terlihat bekas tapakan mereka yang tertinggal di pasir basah itu.

Hembusan napas panjang Anz lakukan kala pandangan matanya tanpa sengaja mengarah ke langit, melihat langit yang kian berubah warna, dari gelap menjadi kemerahan perlahan. Anz melihat ke arah Ahmed dan hendak berkata namun harus terhenti karena Ahmed yang berkata duluan "mau pulang," tersenyum lagi.

"Iya," jawab Anz.

Tanpa ada aba-aba Ahmed ucapkan, Ahmed memegang badan Anz dan menaikkan badan Anz ke atas tubuh kuda itu.

Napas Anz bagaikan terhenti, jantung berpacu cepat dan matanya melotot melihat Ahmed yang tersenyum melihat dirinya yang sudah terduduk di atas pelana kudanya yang kemudian Ahmed ikut naik juga dan duduk tepat di belakang Anz. Posisi mereka sama seperti posisi awal perjalanan mereka tadi.

"Anda membuat saya kaget."

"Maaf nona, saya pikir itulah jalan cepatnya."

"Cepat berpulang ke Tuhan, iya," memutar bola matanya malas.

"Maaf nona. Sekarang tolong pegangan yang kuat ya," hendak menarik tali kekang kuda.

1
Không có tên
Ceritanya bikin merinding, ga bisa lepas ya!
_Sebx_
Seneng banget nemu cerita sebaik ini, terus berkarya thor!
AcidFace
Jangan tinggalkan aku bersama rasa penasaran, thor! 😩
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!