Halimah, Seorang ibu muda yang tengah mengandung yang harus menerima kenyataan di gugat cerai oleh suaminya karena suaminya lebih memilih perempuan lain yang lebih cantik, lebih mudah dan lebih memperhatikan penampilan dari pada dirinya. dia pun menyetujui permintaan suaminya tersebut dengan syarat dia meminta waktu 40 hari kepada suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuri_Pen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
hari Pertama
"Beri aku waktu selama 40 hari, Mas. Setidaknya sampai anak kita terlahir ke dunia. Aku ingin dia terlahir memiliki seorang ayah. Dan juga, jangan hubungi perempuan itu selama 40 hari itu. Anggap saja sebagai bentuk kesetiaan terakhirmu kepadaku. Setelah itu, kita akan bercerai, dan kau boleh menikahinya."
Kata-kata itu selalu terngiang di kepalaku. Semangat yang kemarin menggebu ingin berpisah dengannya, entah kenapa sekarang mendadak lesu lalu menguap begitu saja.
[Assalamu'alaikum, A. Kita jadikan bertemu hari ini?] Ponselku berderit. Pesan dari Maira, perempuan cantik yang membuatku bergetar seperti tersengat listrik saat bertemu dengannya.
[Tentu saja. Ada hal yang ingin aku bicarakan denganmu] balasku cepat. Aku tidak suka banyak berbasa-basi, karena harus kembali fokus bekerja.
[A, nanti langsung ke rumah aja ya. May mau ngajar les anak-anak dulu.] Balasnya cepat, seperti dengan sama-sama sibuk, dan ingin segera menutup ponsel. Maira adalah seorang guru TK yang menurutku begitu mempesona.
[Siap Tuan Putri.] Ku selipkan emoticon bermata lope berderet.
‘Ah apakah aku bisa tak ada kontak dengannya selama 40 hari?’ Baru saja aku menyanggupinya, tapi kenapa sekarang merasa akan sulit?
Aku kembali fokus dengan pekerjaanku. Banyak laporan keuangan yang harus ku tuntaskan. Akhir tahun adalah laporan penentu laba rugi sebuah perusahaan. Maka jangan sampai aku hilang fokus dan melakukan kesalahan dalam pembukuan.
***
Rumah yang sederhana namun terasa nyaman. Dimana lagi kalau bukan di rumah Maira calon kekasihku.
"Diminum teh nya, Nak Ridwan." Bu Arumi menyuguhi ku teh dan beberapa cemilan buatannya sendiri. Katanya memasak dan membuat cemilan adalah hobinya yang sulit ditinggalkan. Hingga tak heran, jika di rumahnya tersaji makanan dan camilan yang enak. Meskipun sederhana.
"Iya, Bu." Ku seruput teh hangat buatan Bu Arumi. Namun kali ini, gulanya kemanisan. Tidak seperti racikan Halimah yang selalu ku minum setiap pagi.
"Gimana enak nggak?" tanyanya menunggu jawabanku.
"Enak banget, Bu.” Tidak mengapa bukan, jika sesekali berdusta untuk membahagiakan hati orang tua?
"Alhamdulillah. Tunggu sebentar ya, Nak. Maira masih ngajar les. Paling sebentar lagi juga selesai,” ucapnya sembari duduk di depanku.
"Iya Bu, aku selalu menunggu anak ibu. Hehe," jawabku malu.
"Ah Nak Ridwan ini bisa aja. Eh ngomong-ngomong, gimana kelanjutan hubungan kalian? Kalau May si dia gak mau pacaran, Nak." Nampaknya Bu Arumi mulai membahas inti permasalahan. Ia nyaris sama denganku yang tidak suka berbasa-basi.
"Ah iya Bu, maka dari itu saya kesini mau ada yang dibicarakan sama May," tukas ku. Aku mengambil lapis legit yang ada di piring, lalu memakannya.
“Oh gitu, Ibu mah ikut seneng aja, Nak. Semoga kalian the berjodoh, ya!” Ia mengusapkan kedua tangannya ake wajah, berharap ucapannya menjadi kenyataan.
"Assalamu'alaikum." Seorang perempuan cantik tengah berdiri di depan pintu, suaranya tak asing di runguku.
"Wa'alaikum salam, nah itu Maira. Sini masuk, May! Ini Ridwan dari tadi nungguin kamu, lo!” Bu Arumi seperti menggoda kami, Maira berjalan menghampiri kami, lalu duduk di hadapanku dengan malu-malu. "Ibu tinggal dulu ya." Bu arumi berlalu ke dapur. Memberi ruang kepada anaknya untuk berbicara dari hati ke hati. Orang yang pernah muda pasti akan merasakannya.
Ah Maira ku memang selalu tampil anggun dalam berbagai situasi. Pakaiannya yang selalu berwarna cerah, serasi dengan warna kulitnya yang putih.
"Aa gimana kabarnya?" Ia mulai membuka percakapan.
"Alhamdulillah baik, kamu gimana, May?" tanyaku sembari menatapnya.
"Kemarin aku sakit, sekarang mendadak sembuh." Lagi dia menunduk malu-malu. Menyembunyikan senyum mengembangnya.
"Emang kamu sakit apa, May? Kenapa kamu gak bilang sama A? Terus sekarang kamu sudah minum obat?" Aku memberondong pertanyaan tanda khawatir kepadanya.
"Aku sakit rindu, dan obatnya A. Hehe," ujarnya malu-malu. Ah kena, sepertinya dia tipe perempuan bucin yang merindukan seorang imam dalam waktu yang singkat.
"Ah bisa aja kamu, May." Kami tergelak bersama.
"Oh iya, katanya ada yang mau A Ridwan sampaikan sama, May? Apa tuh?" Maira menatapku serius. Aku meneguk secangkir teh untuk menghilangkan grogi, takutnya salah menyampaikan.
"Gini, May. A tidak bisa menghubungi bahkan bertemu denganmu selama 40 hari kedepan," jelas ku hati-hati.
"Loh kenapa, A?" Dia merenggut, menggemaskan sekali. Andai dia halal untukku, sudah ku cubit pipinya sedari tadi.
"Eum, A sibuk, May! Ada proyek yang harus A selesaikan dalam waktu dekat ini. Dan A hanya ingin fokus agar hasilnya maksimal lalu segera melamar mu," jawabku berbohong. Sebenarnya Aku tak mungkin bicara pada May tentang syarat yang diajukan istriku. Bisa-bisa May pergi dariku selamanya. Dia tak pernah tahu aku seorang suami sekaligus seorang ayah.
"Heum, ko lama banget si, A?" Ada kesedihan dari netranya. Ia memilin ujung jilbabnya.
"Iya, May. Setelah itu A janji akan langsung menikahi, May.” Lagi, aku berdusta. Kata orang jangan percaya ucapan lelaki, karena ucapannya hanya bualan semata. Dan kebanyakan memang seperti itu adanya.
"A serius?" Netranya berbinar mendengar penuturan ku.
"Serius,” jawabku ragu-ragu. Khawatir tiba-tiba tak bisa memenuhi janjiku sendiri.
"Baiklah, kalau begitu. Tapi A janji, ya, jangan ganjen-ganjen selama gak komunikasi sama May." Dia mencubit pinggangku gemas.
"Aww... Galak banget si. Siap laksanakan Tuan Putri.” Kami tergelak bersama.
"Kita ketemu nanti 1 Januari ya. A pamit dulu." Aku tak mau lama-lama di sini, takutnya Halimah berfikir yang tidak-tidak tentangku.
"Siap. Eh ko Aa sebentar banget di sini nya?" May merajuk. Ia berusaha menahan kepulanganku.
"Supaya tugas Negara segera selesai, dan segera ngelamar Neng May." Entah dusta keberapa yang ku ucapkan, aku hanya ingin membuat nya tenang dan tidak berfikir macam-macam.
"Hehe yaudah hati-hati di jalan ya, A." Ia mengantarku ke depan, lalu dengan cepat mencium tanganku takzim. Aku yang belum siap malah terpaku dengan kejadian ini.
"Iya. Jaga dirimu baik-baik ya, May. Assalamu'alaikum.” Ku usap kepalanya singkat, lalu segera beranjak menuju mobil.
"Wa'alaikumsalam" jawabnya. Kesedihan tergambar jelas di raut wajahnya. Berat sebenarnya berpisah dari seseorang yang kita cintai. 'Ayo semangat Ridwan! Kamu pasti bisa! Ini hanya sebentar saja.’ Aku hanya berusaha menyemangati diri sendiri agar tetap menjalankan hari dengan baik, tanpa hadirnya sang pujaan hati.
***
" Assalamu'alaikum, Dik." Perlahan ku ketuk pintu rumah. Tak seberapa lama, derap langkah kaki terdengar mendekat.
"Waalaikumsalam, Hay!” Limah melambaikan tangan ke arahku, “kenalkan namaku Halimah," imbuhnya. Aku dibuat terheran oleh istriku sendiri.
"Oh iya, nama Mas siapa?" sambungnya lagi.
"Dik, kamu sedang sakit? atau mungkin kepalamu terbentur?" Aku memegang keningnya, namun tak panas, dan tak ada tanda-tanda ia sedang sakit.
"Mas ini ditanya nama ko malah pegang-pegang. Ish Mas mau saya laporin ke Pak RT setempat karena sudah berusaha menggodaku, ha?” Halimah menepis lenganku begitu saja.
"Astaghfirullah Dik, kamu kenapa? Apa tadi pagi ada obat yang salah kamu makan?" Aku kembali heran menghadapi wanita di depanku ini.
"Aku gak kenapa-napa, Mas. Oh iya, mulai sekarang kita temenan aja, ya! Kalau pertemanan kita bagus, kita naik ke tahap persahabatan, kalau bagus lagi ya mungkin naik lagi. Oke!" Lagi, aku dibuat mematung dengan pernyataannya yang tak ku mengerti sama sekali.
"Nak, salim dulu sama, Om!" Limah menuntun tangan Jingga untuk bersalaman denganku.
"Om? Aku ini ayahnya jingga. Apa lagi ini maksudnya?" Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Benar-benar aneh tingkah istriku ini.
"Mas, jika tidak keberatan, antarkan aku ke rumah baruku, ya! Kan sekarang kita temenan, masa ia serumah? Kalau keberatan si gak apa, aku naik taksi online aja." Dia menyeret dua koper besar dari balik pintu.
"Eh kamu mau kemana, Limah?" Aku segera menutup pintu, lalu menyusulnya.
"Ayo, Mas. Kurasa kau tidak keberatan bukan mengantarkan kami ke rumah baru." Dia sudah berdiri di pintu mobilku. Jingga yang polos hanya anteng dengan boneka Barbie miliknya.
"Baiklah, aku ikuti permainanmu, Limah" Dengan kesal aku menuju mobil untuk menaikkan kopernya, setelah semua naik, ku kendarai mobil dengan pelan, meninggalkan pelataran rumah kami.
"Oh iya, tadi nama Mas siapa?" Lagi, Limah membuatku kesal.
"Tahu, ah." Dia hanya tersenyum puas.