realita kehidupan seorang gadis yang dari kecil cacat akan kasih sayang yang sebenarnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uppa24, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
seminar!!
Di rumah elvanzo
Elvanzo bersandar di kursinya, menatap pintu yang baru saja ia tutup. Ia merasakan campuran frustrasi dan penasaran yang makin sulit ditahan. Alendrox jelas tahu sesuatu, tetapi ia memilih bungkam.
“Kalau begitu,” gumamnya pelan, “aku harus mencari tahu sendiri. Aluna, siapa pria itu, dan kenapa dia membuatmu begitu tertekan? Aku akan menemukan jawabannya, cepat atau lambat.”
Tatapan Elvanzo mengeras. Ia merasa bahwa apa pun yang terjadi dengan Aluna, itu bukanlah hal kecil. Dan kini, ia bertekad untuk tidak hanya menjadi seorang dosen atau atasan di klinik, tapi seseorang yang benar-benar bisa membantu gadis itu mengatasi apa pun yang membebaninya.
...~||~...
Setelah lama merenung . Ia sadar, mendekati Aluna tidaklah mudah. Gadis itu seperti memiliki dinding tinggi yang tidak membiarkan siapa pun masuk.
“Aku harus mencari cara agar dia merasa lebih nyaman… mungkin dengan situasi di mana hanya ada kami berdua,” gumamnya sambil mengetukkan jarinya ke meja.
Saat itu, sebuah ide muncul. Minggu depan, ada jadwal dinas ke luar kota untuk menghadiri seminar dan workshop kesehatan. Aluna, sebagai asisten dosennya, bisa diajak untuk menemani. Selain membuatnya lebih memahami tugas asisten, perjalanan ini juga bisa menjadi momen untuk menghabiskan waktu bersama di luar lingkungan kerja yang formal.
Elvanzo tersenyum tipis. Ini adalah kesempatan yang sempurna.
Hari Perjalanan ke Luar Kota
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Aluna dan Elvanzo berangkat pagi-pagi ke kota tetangga, menempuh perjalanan selama beberapa jam menggunakan kereta cepat. Di dalam kereta, Aluna duduk dengan tenang, membaca dokumen seminar di tablet, sementara Elvanzo mencoba mencairkan suasana dengan obrolan ringan.
“Jadi, Luna, kau pernah menghadiri seminar kesehatan sebelumnya?” tanyanya sambil melirik dokumen yang sedang dibaca Aluna.
“Tidak banyak,” jawab Aluna singkat tanpa menatapnya. “Hanya beberapa kali untuk acara tertentu.”
Elvanzo tersenyum, tidak terganggu dengan jawaban singkat itu. “Kau akan menyukai yang ini. Banyak pembicara hebat yang akan membahas teknologi terbaru dalam pengelolaan pasien.”
Aluna hanya mengangguk, kembali fokus ke tablet.
Meskipun suasana terasa sedikit kaku, Elvanzo tetap mencoba berbicara tentang topik-topik santai sepanjang perjalanan. Dari buku yang ia baca, hobi saat akhir pekan, hingga film favoritnya. Sedikit demi sedikit, ia merasa Aluna mulai membuka diri, meski tidak secara terang-terangan. Sesekali ia tertawa kecil atau menganggukkan kepala lebih antusias, yang bagi Elvanzo adalah kemajuan besar.
Di Lokasi Seminar
Setelah acara resmi hari pertama selesai, Elvanzo memutuskan untuk mengajak Aluna makan malam di sebuah restoran kecil yang nyaman di dekat hotel.
Di tengah suasana hangat restoran, Elvanzo mulai memperhatikan sisi lain dari Aluna. Cara dia mendengarkan, menjawab, dan berkomentar sesekali, meskipun masih dibalut sikap dingin, menunjukkan kecerdasan dan ketenangannya yang luar biasa.
“Kau terlihat seperti seseorang yang selalu punya kendali penuh atas segalanya,” kata Elvanzo sambil menyeruput kopinya.
Aluna menatapnya sejenak, kemudian menurunkan garpu di tangannya. “Kalau tidak mengendalikan, maka segalanya akan kacau,” jawabnya sederhana.
“Tapi, terkadang, tidak apa-apa membiarkan sedikit kekacauan, bukan?” kata Elvanzo dengan nada ringan. “Beberapa hal paling menarik justru terjadi saat kita tidak berencana untuk itu.”
Aluna terdiam sebentar, lalu menatap ke luar jendela. “Saya tidak punya kemewahan untuk membiarkan kekacauan masuk ke hidup saya.”
Elvanzo tidak langsung menjawab, tetapi dalam hatinya, ia merasa memahami sedikit lebih banyak tentang gadis itu. Ada sesuatu yang membuatnya merasa harus menjaga kendali terus-menerus—sesuatu yang belum ia ceritakan pada siapa pun.
Hari pertama seminarpun berlalu
Hari kedua seminar diisi dengan sesi-sesi yang panjang, tetapi di luar jadwal resmi, Elvanzo tetap menjaga agar suasana ringan di antara mereka. Di sela-sela sesi, ia mengajak Aluna untuk jalan-jalan sejenak, menikmati pemandangan kota.
“Luna,” katanya saat mereka berjalan di taman dekat hotel. “Aku tahu kau bukan orang yang mudah didekati. Tapi aku ingin kau tahu, kalau kau butuh tempat untuk berbicara, aku selalu ada.”
Aluna menoleh padanya, tatapannya terlihat sedikit lebih lembut dari biasanya. “Terima kasih, ” ucapnya pelan, meskipun tidak ada jaminan ia akan benar-benar membicarakan sesuatu.
Meski begitu, Elvanzo merasa ada kehangatan kecil yang tumbuh di antara mereka. Aluna mungkin tidak menunjukkan banyak ekspresi, tetapi bagi Elvanzo, kehadirannya sendiri sudah cukup membuatnya merasa nyaman.
“Sepertinya perlahan aku mulai masuk ke dalam dunianya,” pikir Elvanzo sambil tersenyum kecil. Dalam hati, ia bertekad untuk terus melangkah, meski harus menghadapi rintangan demi rintangan.
Setelah ia bergelud dengan tekat di kepalanya ia melirik sedikit ke arah aluna , yang tampak tenang tetapi jelas menunjukkan tanda-tanda kelelahan dari caranya menghela napas ringan.
“Bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar? Menghirup udara malam. Kota ini cukup indah di malam hari,” ajak Elvanzo.
Aluna menatapnya sebentar, ragu, sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Baiklah, tapi jangan terlalu lama. Saya masih harus menyusun laporan singkat untuk presentasi esok.”
Elvanzo tersenyum tipis. “Tentu, Nona Perfeksionis. Jalan sebentar saja, janji.”
Mereka pun berjalan di sepanjang taman kota yang diterangi lampu-lampu temaram. Angin malam yang sejuk menyapu wajah mereka, membuat suasana terasa lebih rileks. Tidak banyak percakapan di antara mereka, tetapi keheningan itu terasa nyaman bagi Elvanzo.
Saat mereka melintasi sebuah sudut taman, perhatian Elvanzo tertuju pada sebuah gerobak penjual es krim. Ia langsung berhenti dan melirik Aluna.
“Kau suka es krim?” tanyanya sambil menunjuk gerobak tersebut.
Aluna tampak sedikit bingung, tetapi akhirnya menjawab, “Kadang-kadang. Kenapa?”
“Aku akan beli. Kau harus coba. Setelah seminar sepanjang hari, es krim adalah penyelamat dunia,” ucap Elvanzo dengan nada main-main.
Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, ia berjalan ke arah penjual, memesan dua es krim rasa stroberi untuk mereka. Ia kembali dengan senyuman di wajahnya, memberikan satu pada Aluna.
“Ini, pegang sebentar,” kata Elvanzo, menyerahkan es krimnya sambil mengambil ponselnya dari kantong untuk membayar.
Aluna menerima es krim itu tanpa banyak bicara. Namun, sesaat setelah pembayaran selesai, alih-alih langsung mengambil es krim miliknya, Elvanzo mencondongkan diri dan mengambil gigitan kecil dari es krim yang dipegang Aluna.
“Apa—!?” Aluna langsung terdiam, matanya melebar sedikit karena terkejut.
“Hmm, rasanya enak. Kayaknya punyamu lebih manis daripada milikku,” ucap Elvanzo santai, seakan-akan hal itu bukan masalah besar.
Aluna tetap mematung selama beberapa detik, sebelum akhirnya menyerahkan es krim tersebut dengan ekspresi dingin seperti biasanya. “Kalau begitu, makan saja semuanya,” katanya datar.
Elvanzo tertawa kecil melihat reaksi itu. “Aku bercanda, Luna. Aku tidak akan mencuri milikmu… sepenuhnya.” Ia memberikan es krim itu kembali, mencoba untuk tidak terlalu kentara menyembunyikan senyumannya.
Meskipun ekspresi Aluna tetap dingin, jelas ada sesuatu di matanya—sebuah kegugupan kecil yang tak bisa ia sembunyikan. Telinganya bahkan terlihat sedikit memerah.
“Terima kasih,” gumam Aluna dengan nada datar, tetapi Elvanzo tahu bahwa perasaan sebenarnya gadis itu sedang kacau.
“Ah, kau ini, Luna. Sulit sekali membaca pikiranmu, tapi momen-momen seperti ini cukup menyenangkan,” ujarnya sambil tersenyum.
“Memangnya ini menyenangkan?” tanya Aluna, berusaha menjaga wajahnya tetap netral.
“Buatku, iya,” jawab Elvanzo dengan nada riang. “Kau harus lebih sering menunjukkan sisi ini—kalau kau tidak mengusirku karena terlalu menyebalkan.”
Tanpa membalas ucapan itu, Aluna hanya berbalik, melanjutkan langkahnya sambil menikmati es krimnya. Meski begitu, dalam hatinya, ia tahu dirinya mulai kehilangan kendali kecil-kecil atas emosi yang selama ini berhasil ia simpan rapat.
Elvanzo memandangi punggungnya sambil tersenyum. "Sedikit demi sedikit, Aluna," pikirnya. "Aku akan menembus pertahananmu dengan cara yang paling lembut."
Di Jalan Kembali ke Hotel
Suasana lebih cair setelah kejadian tadi. Meskipun Aluna tetap bersikap formal, ada jeda kecil di mana ia tampak lebih santai. Dalam perjalanan kembali ke hotel, Elvanzo mencuri pandang ke arah gadis itu, yang kini terlihat sedikit lebih lembut dalam cahaya lampu taman.
“Aku tahu kita hanya berjalan sebentar,” ucap Elvanzo tiba-tiba. “Tapi aku sangat menikmati ini. Terima kasih karena tidak menolak ajakanku.”
Aluna meliriknya sekilas, mengangkat bahu. “Saya tidak terlalu suka keramaian. Tempat ini cukup tenang, jadi tidak masalah.”
"Aluna, aku semakin menyadari kalau kau adalah misteri yang menarik untuk dipecahkan,” kata Elvanzo sambil tersenyum.
Aluna tidak menjawab, hanya sedikit mempercepat langkahnya. Tetapi dari sudut matanya, Elvanzo bisa melihat tanda-tanda kecil itu lagi—salah tingkah yang ia sembunyikan di balik sikap dinginnya.
Dan itu sudah cukup membuat Elvanzo tersenyum puas.