Abigail, seorang murid Sekolah Menengah Atas yang berprestasi dan sering mendapat banyak penghargaan ternyata menyimpan luka dan trauma karena di tinggal meninggal dunia oleh mantan kekasihnya, Matthew. Cowok berprestasi yang sama-sama mengukir kebahagiaan paling besar di hidup Abigail.
Kematian dan proses penyembuhan kesedihan yang tak mudah, tak menyurutkan dirinya untuk menorehkan prestasinya di bidang akademik, yang membuatnya di sukai hingga berpacaran dengan Justin cowok berandal yang ternyata toxic dan manipulatif.
Bukan melihat dirinya sebagai pasangan, tapi menjadikan kisahnya sebagai gambaran trauma, luka dan air mata yang terus "membunuh" dirinya. Lalu, bagaimana akhir cerita cinta keduanya?
© toxic love
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Lita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1 : Hari Baru di Sekolah Baru
SUASANA dingin dari embun pagi dan keramaian di SMA Bina Harapan Nusantara menyambut kami, para murid, sesaat setelah matahari terbit. Sekolah ini selalu penuh aktivitas sejak pagi, terutama di area tribun yang menjadi favorit para siswi sebelum pelajaran dimulai.
"Uhuyy, Justin! Selamat pagi, sayangku, cintaku, semestaku, belahan jiwaku, hidup dan matiku!" teriak Anya, cewek paling centil di sekolah ini. Justin hanya tersenyum sambil melempar bola ke pinggir lapangan basket.
Teman yang berjalan di belakang Anya langsung mengernyit, menarik tangannya, "Berlebihan kamu!"
Contohnya ya, seperti itu.
"Apaan sih? Namanya juga cinta! Coba kamu tanya Justin deh. Cewek mana sih yang nggak tergoda sama dia?" Anya, dengan ciri khas poni tebalnya, menghentakkan kaki di lantai sekolah berulang kali.
"Lempar lagi, Roy!" seru Justin pada temannya, tampil gagah bersama rekan-rekannya saat bermain basket.
"Ah, Justin!"
Teman ceweknya kembali mencolek pinggangnya. "Bantuin aku bawa buku ke ruang guru, nanti aku kasih imbalan!"
"Imbalannya Justin, ya? Harus Justin!"
"Justin terus kepalamu itu!" protes rekannya.
"Tapi aku mau Justin! Harus Justin, ya!" rengeknya lagi.
"Iya, iya."
Bel berbunyi. Justin berhenti bermain, melempar bola sembarangan, lalu tersenyum tipis. "Tuh, lihat. Bener kan aku bilang? Cewek-cewek itu tergila-gila sama aku!"
Sambil menyelipkan sebatang rokok di antara bibirnya, temannya bertanya, "Mau pacaran, Bos?"
Justin menggeleng. "Enggak, nanti saja aku cari yang sesuai tipeku. Cewek centil kayak gitu, bukan tipeku. Nanti saja!"
"Bos, bos, bos!"
Sambil mematikan ujung rokok dan membuang sisa puntungnya, Justin menyela, "Aku lihat, kok!"
Di tempat lain, area parkir sekolah SMA Bina Harapan Nusantara.
"Sebetulnya aku heran, Yeon. Sebulan kita sekolah di sini. Aku mikir, kenapa mamaku bersikeras pindah ke sini setelah kematian Matthew dan Papa? Pindah rumah ke kompleks baru!" Abigail menghentakkan punggungnya ke jok mobil, tampak lesu. Banyak hal yang memberatkan pikirannya.
"Beruntungnya aku dapat dua slot buat olimpiade. Satu untuk CV, satu lagi untuk prestasi masuk kedokteran!"
Sahabatnya, Yeon, mengangguk. "Iya, kamu pikir kenapa?"
Abigail tersenyum tipis. "Mama sedang dalam fase move on, Yeon. Dia sedang berusaha menerima takdir karena kehilangan suaminya dan orang yang nyaris jadi menantunya."
"Aku juga bisa merasakannya, apa yang Mama rasakan!" kata Abigail lirih.
"Gabriella Abigail, kamu ingat cowok yang itu? Yang sebulan lalu kita perkenalan."
"Mungkin sedikit mirip Matthew, ya?" Sahabatnya mengamati Abigail yang masih terlihat belum move on. "Ini juga, gimana kamu mau move on kalau semua buku-buku kamu adalah pemberian dari Matthew?"
Abigail tersenyum tipis. "Iya, iya."
"Nanti aku temenin kamu ke mana pun, oke? Oh iya, olimpiade!" Yeon sedikit berteriak. Abigail mengangguk.
"Kamu sudah bilang ke Mama? Juga kepala sekolah?"
"Ke Mama sudah. Ke kepala sekolah belum, kayaknya abis ini. Aku nggak nyangka, baru pindah sudah langsung ditunjuk ikut olimpiade nasional!"
Yeon tersenyum bangga. "Hebat, kamu memang ditakdirkan jadi calon dokter yang berprestasi!"
Abigail tertawa kecil. Setelah berbincang, mereka mendengar bel masuk. Mereka pun turun dari mobil, membawa tas masing-masing, menyusuri setiap koridor hingga sampai ke kelas 12.
"Enggak nyangka ya, sebentar lagi kita kuliah! Waktu itu cepat banget rasanya!" kata Abigail saat mereka berlari kecil masuk ke kelas, tepat beberapa menit sebelum guru datang.
"Selamat pagi, anak-anak!" sapa guru wanita itu. Para murid menjawab serentak, "Pagi, Bu!"
---
Abigail mulai fokus pada pelajaran, mengambil buku catatan dan pensil untuk menyalin catatan di papan tulis. Namun, seorang cowok terus-menerus mengganggunya dengan melempar kertas yang sudah diremas ke arahnya.
"Hei, culun!" serunya, melempar satu lagi kertas.
Abigail berbalik dengan tatapan tajam. "Culun? Kamu yakin? Cewek sebadass aku kamu bilang culun?"
"Iya deh, cantik!"
Beberapa saat kemudian, Abigail berdiri di depan kelas dan berkata kepada teman-temannya, "Guys, kalau ada cewek yang berhasil luluhkan Justin, kasih tahu aku, ya?"
Saat Abigail menatap ke arah Justin, dia merasakan ada sesuatu yang berbeda, seolah sebuah pertanda. Yeon, sahabatnya, menyela. "Aku mau nulis, minggir dong!"
Cewek itu berjalan sambil tersenyum ke arah tempat duduk Justin, yang dengan genit memukul pelan pantatnya saat dia lewat.
"Justin, dasar genit!"
Waktu berlalu, dan Abigail tidak merasa kesulitan memahami pelajaran meski suasana kelas cukup bising. Hingga wali kelasnya masuk dan memanggil namanya. "Abigail, ikut ibu ke ruang guru sebelum bel istirahat."
Abigail menutup bukunya. "Baik, Bu."
"Abi, good luck!" Yeon membuat simbol cinta dengan tangannya, membuat Abigail tertawa kecil.
Di ruang guru, kepala sekolah menyapanya hangat. "Prestasi kamu luar biasa, Abigail. Ibu bangga. Semua medali dan pencapaian kamu sangat menginspirasi."
"Terima kasih, Pak. Kalau begitu, saya pamit dulu," jawab Abigail dengan senyum hangat.
Saat bel istirahat berbunyi, Yeon langsung menyambut Abigail di depan pintu.
"Gimana, Bi?"
"Olimpiade, Yeon," jawab Abigail dengan tenang.
"Kenapa kelihatannya murung? Kamu tuh luar biasa! Pinter, cakep, sempurna deh!" Yeon merangkul Abigail dengan semangat.
"Ya, kamu benar, tapi aku masih merasa ada yang hilang," kata Abigail, terkejut saat seorang cowok tinggi dengan tatapan tajam—mirip Matthew, mantan kekasihnya—berdiri di hadapannya.
Laki-laki itu menggenggam tangannya lembut. "Kalau kamu ikut olimpiade, aku yakin kamu menang. Semangat terus, ya?"
Sosok itu, Justin, membuat semua orang di koridor tertegun, termasuk Anya yang melihatnya dengan mata berkaca-kaca.
"Justin, aku baru sadar ada murid sepertimu," batin Abigail.