Alastar adalah sosok yang terperangkap dalam kisah kelam keluarga yang retak, di mana setiap harinya ia berjuang dengan perasaan hampa dan kecemasan yang datang tanpa bisa dihindari. Kehidupan rumah tangga yang penuh gejolak membuatnya merindukan kedamaian yang jarang datang. Namun, pertemuannya dengan Kayana, seorang gadis yang juga terjerat dalam kebisuan keluarganya yang penuh konflik, mengubah segalanya. Bersama-sama, mereka saling menguatkan, belajar untuk mengatasi luka batin dan trauma yang mengikat mereka, serta mencari cara untuk merangkai kembali harapan dalam hidup yang penuh ketidakpastian. Mereka menyadari bahwa meski keluarga mereka runtuh, mereka berdua masih bisa menciptakan kebahagiaan meski dalam sepi yang menyakitkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bita_Azzhr17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3. Teka-Teki yang Mengganggu
Frasha udah punya cowok, Star.
Kalimat itu terus terngiang di kepala Alastar hingga pagi ini, berputar-putar tanpa henti, seolah tak pernah berhenti menghantui pikirannya. Begitu Alastar melaju cepat dengan motor sportnya, membelah jalanan yang masih sepi dan kosong, angin yang menerpa wajahnya terasa tajam, seolah mencoba mengusir pikiran-pikiran kacau itu.
Frasha sudah punya cowok. Kalimat itu membuat Alastar merasa seperti ada batu besar yang menghimpit dadanya. Sebuah kenyataan yang sulit diterima, namun tetap saja harus dihadapi. Dia mencoba untuk tidak terlalu memperhatikan, tapi perasaan itu tetap muncul, seolah semakin dalam dan semakin kuat.
Sesampainya di sekolah, Alastar memarkirkan motornya di tempat biasa, lalu melangkah masuk ke halaman sekolah dengan langkah yang lebih cepat dari biasanya. Seakan-akan, dengan setiap langkahnya, dia berharap bisa menghapus kalimat itu dari pikirannya.
Namun, belum sempat dia masuk ke dalam gedung sekolah, langkahnya terhenti ketika seseorang menghentikan jalannya. Seorang gadis yang tampaknya ingin berbicara dengannya. Gadis itu adalah Kayana, teman sekelasnya yang juga cukup cerdas dan menarik. Dengan bando hitam di rambutnya yang tergerai rapi, dia menambah kesan manis pada wajah bulatnya. Penampilan Kayana memang sempurna bagi banyak orang, namun bagi Alastar, dia tetap merasa bahwa tidak ada yang bisa mengalahkan pesona Frasha, meskipun Frasha bukanlah tipe gadis yang paling menonjol di luar sana.
"Hai, Star," Kayana mengangkat rendah satu tangannya menyapa Alastar dengan senyum cerah.
Alastar hanya melangkah lebih cepat, berusaha menghindari percakapan lebih lanjut. Namun Kayana tampaknya tidak menyerah begitu saja. Dia menambah kecepatan langkahnya, dan dalam sekejap, posisinya sejajar dengan Alastar.
"Alastar, gue cuma mau kasih ini," kata Kayana sambil menyodorkan kotak bekal ke arah Alastar.
Dengan sedikit ragu, Alastar menghentikan langkahnya. Saat itu, pandangannya tertumbuk pada sosok Frasha yang berdiri beberapa meter dari mereka, menatap mereka dengan ekspresi datar. Entah mengapa, melihat Frasha di sana membuat jantung Alastar berdebar lebih kencang. Dia melihat Frasha sejenak, lalu menoleh ke arah Kayana dan menerima kotak bekal yang ditawarkan.
"Thanks, nanti gue makan," ujar Alastar dengan nada datar, lalu berbalik dan melanjutkan langkahnya tanpa menunggu tanggapan lebih lanjut.
Kayana yang masih berdiri di belakang hanya bisa tersenyum senang, seolah senang bisa memberi sesuatu kepada Alastar, meskipun dia tahu ada sesuatu yang lebih besar yang sedang mengganggu perhatian pria itu.
Alastar berjalan melewati Frasha tanpa berkata apa-apa. Tanpa godaan, tanpa sapaan. Hanya langkah cepat yang mengarah ke pintu tangga. Ini membuat Frasha bingung. Dia memutar tubuhnya dengan cepat, menatap punggung Alastar yang semakin menjauh, dan untuk sesaat, dia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam sikap Alastar. Sesuatu yang tak biasa. Sesuatu yang membuatnya merasa terabaikan, meskipun dia tahu seharusnya dia tidak perlu peduli.
Di dalam kelas, Alastar memasuki ruangan dengan langkah santai. Keempat temannya sudah duduk di bangku masing-masing, menunggu kehadirannya. Namun, tatapan mereka yang heran dan penasaran segera mengalihkan perhatian Alastar.
"Nggak salah nih, Star?" ejek Faldo dengan nada bercanda, membuat yang lainnya tertawa. "Badan gede, rahang tegas kayak patung pahlawan, bawa bekal dari rumah." Ujarnya sambil tertawa.
Alastar hanya menatap Faldo dengan tatapan datar, lalu meletakkan tasnya di meja dan menaruh kotak bekal itu di sampingnya. Dalam diam, ia mencoba untuk mengabaikan ejekan dari teman-temannya, meskipun sejujurnya dia merasa agak canggung.
"Ini dari Kayana," ujar Alastar, memberi penjelasan singkat, meskipun tidak ada yang terlalu peduli.
Falleo, yang duduk di sebelah Faldo, langsung beranjak mendekat ke meja Alastar. "Star, yang bener aja lo. Padahal gue yang ngincar Kayana, malah lo yang dapat kotak bekalnya," ucap Falleo sambil tersenyum lebar, membuat suasana semakin riuh.
Alastar hanya mengangkat pandangannya ke arah Falleo yang berdiri di depannya, lalu memberikan kotak bekal itu kepada Falleo. "Lo aja yang makan, perut gue udah kenyang," jawabnya dengan santai, mencoba menghindari perhatian lebih lanjut.
Dengan senang hati, Falleo menerimanya sambil berkata. "Nah, gini dong, harus setia kawan, Star."
Mereka tertawa dan tidak terlalu memikirkan hal itu lagi, tapi di dalam hatinya, Alastar merasa sedikit canggung. Meskipun begitu, dia tetap menyembunyikan perasaan itu dan berusaha tetap terlihat biasa.
****
Saat bel berbunyi tanda waktu istirahat, Alastar dan teman-temannya keluar dari kelas, saling bercanda dan tertawa. Namun, berbeda dengan mereka, Frasha keluar dari kelas dengan langkah tenang, berjalan berdampingan dengan sahabatnya, Ilva. Seperti biasa, Frasha terlihat tidak terlalu peduli dengan keramaian di sekitarnya.
"Tumben banget, si tengil itu nggak gangguin lo," kata Ilva, sambil melirik ke arah Alastar yang berjalan di depan mereka.
Frasha hanya mengangkat bahunya dengan acuh. "Gue nggak tahu, Ilva. Mungkin dia sibuk dengan dunianya sendiri," jawab Frasha, dengan suara datar, namun ada sedikit keheranan di balik kata-katanya.
Ilva mengangkat alisnya, tetapi tidak melanjutkan pembicaraan. Mereka terus berjalan menuju kantin, sementara di belakang mereka, Alastar dan teman-temannya melangkah keluar dengan perasaan yang berbeda-beda.
Alastar merasa sedikit lega, meskipun kalimat yang di ucapkan oleh Alarick terus terngiang di pikirannya. Mungkin, dia memang harus menerima kenyataan itu. Tapi, seiring berjalannya waktu, perasaan itu tidak mudah hilang begitu saja. Dia merasa ada yang harus dia lakukan, entah apa, untuk bisa mengerti lebih jauh tentang Frasha dan hubungannya dengan orang lain.