seorang wanita muda yang terjebak dalam kehidupan yang penuh rasa sakit dan kehilangan, kisah cinta yang terhalang restu membuat sepasang kekasih harus menyerah dan berakhir pada perpisahan.
namun takdir mempertemukan mereka kembali pada acara reuni SMA tujuh tahun kemudian yang membuat keduanya di tuntun kembali untuk bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 9
Suasana tegang perlahan mengendap setelah pernyataan Biantara di televisi. Devano masih duduk di sofa, memandang layar laptop yang kini tertutup. Ayana berusaha menjauhkan dirinya, menuju dapur dengan alasan membereskan piring. Namun, Devano tak bisa menahan gejolak di dalam hatinya. Wajahnya tetap tenang, tapi pikirannya berputar cepat.
"Jadi dia... Biantara. Orang yang selama ini tak pernah Ayana sebutkan namanya dengan jelas. Aku selalu bertanya-tanya siapa pria yang begitu sulit ia lupakan, dan sekarang semuanya terjawab."monolog devano dalam hatinya
Devano menyandarkan punggungnya ke sofa, tatapannya kosong menatap televisi yang masih menampilkan Biantara. Ada keheningan panjang yang menyesakkan, diselingi suara dari acara tersebut.
"Dari segi manapun, aku kalah telak darinya. Wajah, karier, bahkan pengakuannya yang berani tentang cinta masa lalunya—semua menunjukkan dia adalah sosok yang luar biasa. Tapi memangnya kenapa? Kini Ayana adalah istriku. Aku yang menemaninya selama ini. Aku yang berada di sampingnya saat ia terluka. Tidak ada yang berhak merebutnya dariku, termasuk Biantara." lanjut monolog devano dalam hatinya
Devano meneguk napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya. Tapi egonya perlahan mulai merasuki, menguatkan rasa kepemilikannya terhadap Ayana.
Devano mendesis pelan
"Kau mungkin lebih segalanya, Biantara. Tapi aku memiliki apa yang tidak pernah kau miliki—Ayana sebagai istri."
Sementara itu, di dapur, Ayana berdiri terpaku di depan wastafel. Tangannya memegang piring yang telah kosong, namun pikirannya masih melayang pada wajah Biantara dan kata-katanya tadi. Ia menutup matanya erat, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang.
"Kenapa harus hari ini? Kenapa aku harus melihatmu lagi setelah bertahun-tahun? Bi, aku ingin percaya bahwa aku sudah melupakanmu. Aku ingin percaya bahwa aku sudah mampu menerima takdirku bersama Devano. Tapi... kenapa aku masih merasa kehilangan?"monolog ayana dalam hati
Ayana memegang sisi wastafel dengan erat, tubuhnya gemetar. Sebuah suara langkah berat mendekatinya. Devano muncul dari belakang, menyandarkan dirinya pada kusen pintu dapur. Matanya menatap tajam, mencoba membaca pikiran Ayana yang jelas sedang kalut.
Devano dengan nada tenang, namun tegas
"Biantara. Dia cinta pertamamu, bukan?"
Ayana terkejut, tapi ia tidak berbalik. Ia hanya menunduk, matanya berkaca-kaca.
Ayana berusaha mengendalikan suaranya
"Aku sudah bilang, dia hanya teman SMA."
Devano menatapnya tanpa berkedip
"Jangan bohong, Ayana. Wajahmu, reaksimu, semuanya sudah menjelaskan lebih dari apa yang kau katakan."
Ayana akhirnya berbalik, matanya bertemu dengan tatapan Devano yang tajam. Namun, kali ini, Ayana tidak menjawab. Hanya ada keheningan panjang di antara mereka.
Devano melangkah mendekat, suaranya semakin rendah
"Kau tahu apa yang paling membuatku marah? Bukan karena dia lebih hebat dariku. Aku sudah tahu aku tidak bisa menyainginya. Tapi kau, Ayana. Kau masih memikirkannya, bukan? Bahkan setelah aku memberikan segalanya untukmu."
Ayana menutup matanya, air mata mulai mengalir, tapi ia tetap diam. Devano berdiri di depannya, menunggu jawaban yang tidak pernah keluar.
Devano dengan nada dingin, namun menyiratkan luka
"Kau mungkin tidak mencintaiku, Ayana. Tapi aku adalah suamimu. Ingat itu."
Ayana terisak pelan, tapi ia tidak membantah. Devano menarik napas panjang, mengendalikan emosinya yang hampir meledak. Ia berbalik, meninggalkan Ayana di dapur dengan hati yang penuh kemarahan dan kekecewaan.
Saat Devano kembali ke ruang televisi, ia menatap layar dengan mata kosong. Wajah Biantara yang penuh karisma kembali muncul di layar, seolah menjadi bayangan dari apa yang tak bisa ia miliki—cinta Ayana.
"Ayana, aku tidak peduli berapa lama kau mencintainya. Aku tidak akan melepaskanmu. Kau adalah milikku sekarang, dan aku akan memastikan kau tetap di sisiku, apapun caranya." monolog devano dalam hatinya
Suasana ruang televisi terasa berat, mencerminkan konflik batin yang kini menguasai pernikahan Ayana dan Devano.
Ayana duduk di kursi rotan yang menghadap ke hamparan mawar hitam yang tertata sempurna. Ruangan kaca itu dipenuhi aroma khas bunga yang menenangkan, meskipun hati Ayana terasa seperti medan perang. Matahari sore yang menembus kaca memberikan cahaya lembut pada wajahnya, yang dipenuhi ekspresi lelah dan kehilangan.
"Kenapa semua ini terasa begitu berat? Aku tahu Devano punya hak untuk marah. Aku tahu aku salah karena pikiranku terus berlabuh pada Biantara. Tapi, apakah aku salah karena tidak bisa mengendalikan perasaan ini?"monolog ayana dalam hatinya
Ayana meraih salah satu kelopak mawar hitam di hadapannya, mengelusnya dengan hati-hati seolah itu adalah cerminan dirinya sendiri—indah dari luar, namun penuh luka di dalam.
"Aku sudah mencoba mencintai Devano. Aku sudah berusaha menghormati pernikahan ini. Tapi mengapa perasaan terhadap Biantara tidak juga pudar? Apakah aku egois? Apakah aku begitu jahat kepada Devano? Dia yang selalu ada di sampingku saat aku terpuruk..."lanjutnya bermonolog
Ayana memejamkan matanya, mengingat kembali momen ketika Devano memegang tangannya saat ia merasa dunia seolah runtuh. Bagaimana Devano bersabar dengan segala dinginnya, bagaimana dia menunggu Ayana membuka diri. Namun, pikiran itu segera tergantikan dengan senyuman Biantara yang ia lihat di televisi tadi.
Ayana mendesis pelan, dan berkata lirih
"Kenapa harus sekarang, Bi? Kenapa kau muncul lagi saat aku sedang berusaha menerima hidupku seperti ini?"
Ayana menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Namun, rasa sesak di dadanya semakin kuat. Ia merasa terjebak dalam dinding-dinding kaca rumah mawarnya, seolah tidak ada jalan keluar.
"Devano memang berubah. Sikapnya tidak seperti biasanya. Mungkin dia marah, atau mungkin... dia mulai lelah? Aku tahu, tidak mudah mencintaiku yang bahkan tidak pernah memberikan hatiku sepenuhnya untuknya. Tapi apa yang harus kulakukan? Aku tidak ingin menyakiti siapa pun lagi." pikir Ayana
Ayana menunduk, menatap tangannya yang gemetar. Ia merasa semakin tertekan, seolah setiap keputusan yang ia buat salah. Rumah kaca ini, tempat yang biasanya memberinya ketenangan, kini terasa seperti penjara yang memantulkan semua kesalahan dan kelemahannya.
Tiba-tiba, suara langkah pelan terdengar dari luar rumah kaca. Ayana terkejut, tapi ia tidak bergerak dari tempatnya. Pintu kaca terbuka, dan Devano berdiri di sana dengan wajah yang sulit ditebak. Ia membawa secangkir teh hangat, meletakkannya di meja kecil di samping Ayana.
Devano dengan nada lembut, tapi tegas berkata
"Kamu sudah seharian di sini. Kamu tidak makan, Ayana."
Ayana menatap teh itu tanpa menjawab. Ia tahu Devano mencoba mendekatinya, tapi ia merasa canggung setelah kejadian pagi tadi.
Devano melanjutkan, sedikit menunduk untuk mencari tatapan Ayana
"Aku tidak akan marah lagi. Aku hanya ingin kau tahu... aku hanya ingin kau bahagia, Ayana. Tapi kau harus membantuku. Aku tidak tahu bagaimana caranya membahagiakanmu, kalau kau tidak mau mencoba juga."
Ayana akhirnya mendongak, matanya bertemu dengan mata Devano. Ada kesedihan yang sama-sama mereka rasakan, meskipun keduanya mengekspresikannya dengan cara yang berbeda.
Ayana dengan suara pelan, hampir berbisik
"Maafkan aku, Devano. Aku hanya butuh waktu." kini ayana tak memanggilnya dengal embel kakak, dalam hatinya ia harus berusaha mendekatkan dirinya dan mungkin mengubah panggilannya yang semula kak devan kini dengan hanya nama saja. Panggilan kakak untuk hubungan suami istri memanglah terdengar sangat canggung seperti seorang kakak dan seorang adik.
Keputusannya memanggilnya nama adalah bentuk pengakraban diri yang lebih dewasa,ia tak mungkin memanggil sayang dan semacamnya, memanggil mas pun rasanya mulutnya terlalu kaku untuk di ucapkan.
Devano menarik napas panjang, lalu tersenyum tipis
"Waktu? Aku sudah memberimu tujuh tahun, Ayana. Tapi... aku akan menunggu lagi, jika itu yang kau butuhkan. Aku hanya ingin kau tahu, aku tidak akan menyerah. Kau istriku, dan aku tidak akan melepaskanmu."
Suasana hening kembali mengisi ruangan. Devano beranjak pergi, meninggalkan Ayana dengan pikirannya yang semakin berat. Ia menatap hamparan mawar hitamnya sekali lagi, merasa seperti mawar itu adalah simbol hatinya—indah, tapi penuh luka dan duri.